Dini yang malang. Miko membuat gadis itu seperti budak ranjang, apalagi pria dewasa itu mengetahui Dini sudah tidak perawan lagi. Maka semakin semena-mena dirinya. Saat pingsan pun, Miko terus membabi buta menikmati tubuh Dini. Saat gadis itu sadar, maka ia akan berikan minum dan makan roti saja, lalu ia gagahi kembali. Miko bisa dibilang memperkosan Dini berkali-kali hingga suara gadis itu habis. Pukul sebelas malam, disaat Miko sudah tertidur bagaikan mayat. Dini berusaha bangun dan memakai pakaiannya. Dengan menyeret tubuhnya, ia keluar dari rumah Miko. Memesan ojek online. Ia tidak sanggup berdiri karena semua tubuhnya sakit. Terutama bagian intimnya yang mungkin terluka. "Pak, tolong saya. Bawa saya ke kantor polisi, saya diperkosa lelaki di rumah itu," rengek Dini di depan pagar. "Oh, iya, Mbak, saya bantu. " Untunglah Dini bertemu dengan ojek online baik. Bapak-bapak yang memapahnya untuk naik ke atas motor. "Aduh, sakit, Pa, hua!" Dini menjerit kesakitan saat pengemudi oje
Puspa tidak bisa berkata-kata setelah mendengarkan semua laporan dari perawat dan juga dokter yang memeriksa dan melakukan tindakan kuret pada adiknya. Adiknya diperkosa hingga keguguran; tentulah hal itu membuat Pusa merasa terpukul. Napasnya tersendat-sendat. Ia tidak sanggup menanggung semua berita ini sendiri. Puspa meminta Galih datang menemaninya. Ia akan mengajak Galih berbicara dane berdiskusi apa yang harus ia lakukan untuk Dini. "Puspa, suara kamu kenapa gemetar? Apa Mama drop?""B-bukan, Mama, Pak, tapi Dini, tolong saya... " Puspa tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia tersedu menahan tangis di ruang tunggu depan klinik. "Oke, sekarang sharelock ya, aku segera ke sana. Tunggu, semua akan baik-baik saja." "Cepat ya." Puspa pun menutup ponselnya. Ia masih menangis, belum tega dan belum sanggup melihat keadaan Dini yang pasti sangat menyedihkan. Apa yah harus ia katakan pada mamanya? Jantung mamanya pasti kembali kambuh, padahal mamanya baru mau keluar rumah sakit hari in
“Hari ini mama keluar dari rumah sakit, Teteh gak bisa lama nemenin kamu di sini ya, tapi nanti Teteh balik lagi. Paling tidak, urusan mama biar Teteh bereskan dulu. Kamu gak papa’kan?” Puspa baru saja selesai menyuapi Dini bubur nasi yang dibelikan oleh Galih. Pria itu juga membawakan pizza, makanan kesukaan Dini untuk camilan gadis itu. “Iya, Teh,” jawab Dini serak. Wajahnya sudah sedikit lebih berseri, berbeda saat pertama kali Puspa melihat adiknya terbaring lemas di ranjang rumah sakit. “Sabar ya, Dini, semoga setelah pria itu ditangkap, ia dapat hukuman yang pantas,” sambung Galih menambahkan. Dini tidak menjawab, hanya saja kepalanya mengangguk. “Teh, tapi mama jangan tahu ya. Saya sedang ada tugas kampus beberapa hari di Subang, begitu saja bilang mama,” ujar Dini mengingatkan Puspa lagi. Wanita itu mengangguk paham. Ia memeluk Dini sebelum keluar dari kamar perawatan itu. Galih mengantar Puspa ke rumah sakit untu
Galih sedang menikmati makan malam bersama keluarganya. Sudah mulai banyak saudara berdatnagan karena tiga hari lagi, Rain dan Sonya akan menikah. Rumah ramai dengan ponakan, om, tante, baik dari pihak mama ataupun papanya. Galih yang memang jarang sekali bertemu dengan anggota keluarga yang lain, tentu saja diminta dengan sangat oleh sang Mama untuk berada di rumah sebelum makan malam. Semua berkumpul dengan penuh suka cita menyambut pesta pernikahan Rian. Seharusnya Galih yang lebih dulu, tetapi karena Rian yang pertama kali dijodohkan dan cocok, maka Rian-lah yang lebih dahulu menikah.Rian pun sudah sejak kemarin tidak boleh keluar rumah oleh mamanya. Rian dipingit tidak bekerja dan pergi ke mana pun. Berolah raga juga hanya boleh di halaman rumah atau olah raga memnggunakan alat fitness yang sudah tersedia di rumah. Galih masuk ke kamar adiknya setelah semua anggota keluarga beristirahat. Rian nampak asik dengan ponselnya, seperti tengah berbalas pesan. Sesekali pria itu menyungg
Dengan berakting sesak napas. Rian berhasil keluar dari rumahnya untuk dibawa ke rumah sakit yang terdekat. Tidak ada yang tahu bahwa itu hanya akal-akalan Rian saja agar ia bisa menyelinap keluar untuk menemui Dini. Ya, sebelum ia berumah tangga, ia harus menyelesaikan urusannya dengan Dini terlebih dahulu. Apalagi mendengar Dini hamil dan diperkosa, pastilah ia juga khawatir. Khawatir bukan berarti ia mau membatalkan pernikahannya lalu bersama Dini, tetapi ia hanya ingin minta maaf saja. "Kamu beneran gak papa sendirian di rumah sakit? Napas kamu masih sesak gitu?" Bu Gina begitu khawatir melihat napas putranya yang sesak. "Gak papa, Ma, besok palingan juga udah bisa pulang. Saya cuma stres saja mau menikah, jadinya sesek. Udah lama banget gak sesek napas, terakhir pas SMA kan?" Bu Gina mengangguk mengiyakan. Rian memang memiliki penyakit asma sejak kecil, tetapi sudah belasan tahun tidak pernah kambuh. Bu Gina pun membenarkan dalam hati, bahwa anaknya sakit karena memikirkan pe
Sabtu yang dinantikan semua orang tiba. Terutama keluarga Rian. Semua bersuka cita karena anak saudara mereka akhirnya akan menikah juga. Pesta meriah pun sudah disiapkan dengan sebaik-baiknya karena yang menikah adalah sesama anak pengusaha. Puspa pun hadir di sana untuk menemani Galih, sekaligus pria itu mengenalkan dirinya pada keluarga besar calon suaminya. Sebenarnya Puspa sempat menolak, tetapi ia tidak tega dengan wajah memohon Galih. "Dini bagaimana?" tanya Galih berbisik. Mereka tengah duduk berdampingan; menunggu keluarga calon mempelai wanita yang sudah berada di jalan dan sebentar lagi akan sampai. "Sudah lebih baik dan mau makan. Hanya jalannya saja sulit." Puspa mendesah sedih. "Sudah saya bilang, kamu gak perlu khawatir, Pak Edison akan mengurus semuanya. Dini akan mendapat pendampingan dari pengacara saya." Galih tersenyum bijak. "Bapak terlalu baik. Semua keluarga saya jadi menyusahkan saja. Coba dari dulu saya ketemunya Pak Galih, bukan Rian." Puspa tertawa memb
"Sonya kenapa? Masih lemes ya?" Bu Gina bertanya pada putra bungsunya itu. Karena setelah melihat istrinya yang pingsan dan dibawa ke ruangan istirahat, Rian hanya kembali sendiri dan duduk di pelaminan megah itu sendirian. Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya mengeras, menahan marah. "Biar saya lihat putri saya dulu, Mbakyu," kata Bu Lena; mama dari Sonya. Bukan hanya Bu Lena, suaminya pun Pak Jaksa ikut turun dari pelaminan untuk melihat putri mereka. Tinggal Rian dan kedua orang tuanya di pelaminan. Tamu yang datang bertanya-tanya ke mana pengantin wanita. Namun, Rian hanya bisa menjawab bahwa Sonya sedang istirahat sebentar karena kelelahan. "Sonya mana? Itu kenapa tamu hanya salamam sama Rian saja?" tanya Galih pada Puspa. Pria itu baru saja dari luar mengantarkan relasi papanya dan sempat berbincang lima belas menit di parkiran. Galih tidak tahu kalau Sonya pingsan. "Sonya kecapean, Pak, jadinya pingsan.""Waduh, kamu nanti gak boleh pingsan, Puspa. Bisa repot saya." Wajah pri
Rian terus mengunci dirinya di kamar. Tidak ada satu pun orang yang berhasil membujuknya untuk membukakan pintu. Bu Gina, Galih, papanya, serta saudara yang lain tidak bisa membuat Rian membuka pintu kamar. Belum lagi suara benda dilempar begitu jelas terdengar sampai keluar kamar. "Sial! Penipu! Bajingan! Sia-sia semua ini. Sia-sia lelah mengurus pernikahan, semuanya hancur. Sonya, kamu keterlaluan! Sial! Sial!" Teriak Rian dari dalam kamar. Pria itu sangat frustasi dengan masalah yang menimpanya. Ponselnya berkelap-kelip sejak tadi, tetapi tidak ia gubris. Apalagi nama Sonya yang tertera di sana. Ia sudah tidak mau berurusan dengan Sonya, maupun keluarganya. Bugh! Bugh! Kembali suara benda di lempar ke tembok terdengar begitu keras, hingga Bu Gina berjengkit kaget. Bu Gina hanya bisa menghela napas sambil menatap kamar anaknya yang tertutup. Ia bisa membayangkan betapa kecewanya Rian atas pernikahan ini. Semuanya sia-sia karena memang tidak akan sah. Memang menurut sebagian ula