"Permisi, assalamu'alaikum, Dini!" Bu Suci menoleh ke arah asal suara. Ia yang tengah menyapu kamar Dini, mengintip dari jendela kamar anaknya. "Assalamu'alaikum, Dini!" Seru suara itu memanggil nama Dini. Bu Suci bergegas keluar kamar untuk membukakan pintu pagar. "Siapa ya?" tanya Bu Suci sembari menghampiri tamunya. "Maaf, Bu, mm... apa Dini ada di rumah, saya mau bicara sebentar." Desti tergagap. "Gak ada, Dini lagi ke Jakarta ke rumah calon suaminya. Ada apa ya?""Oh, begitu, Dini mau menikah ya, Bu?""Iya, makanya lagi ke Jakarta dulu urusin persiapan pernikahannya. Ada pesan?" tanya Bu Suci masih terus memperhatikan teman Dini. "Sampaikan saja kalau Desti kemari, Bu. Saya permisi." Kening Bu Suci mengerut. Ia masih memperhatikan tamu yang mencari Dini sampai gadis itu naik ke atas motornya kembali, lalu pergi dari hadapannya. Namanya seperti tidak asing, tapi pernah dengar di mana. Apa teman kampus Dini? Bu Suci masuk kembali ke dalam rumah. Robi masih belum diantar sau
“Puspa, kamu mau mahar apa? Mumpung masih sepuluh hari lagi. Kita masih ada waktu untuk mencari mahar untujk kamu. Mau emas, uang, mukena, mm … maksud saya seperangkat alat solat gitu atau mau apa?” tanya Galih pada Puspa saat mereka baru saja kembali dari toko souvenir. Wadah sabun cair dari bahan akrilik berbentuk botol dan diberi nama pasangan pengantin adalah pilohan mereka berdua, walau tetap saja melalui rekomendasi Bu Gina. “Pak, kalau mahar pakaian boleh tidak sih? Kalau boleh, saya mau mahar pakaian bagus, unik, dan limited editon. Pokoknya saya gak mau sampai ada orang, tetangga, Dini, ataupun saudara saya yang lain yang bajunya sama dengan saya.” Ucapan Puspa tentu saja membuat Galih tercengang. Mahar baju? Ia baru saja dengar dan sepertinya tidak ada. “Memangnya kenapa kalau bajunya sama dengan Dini atau saudara kamu yang lain?” tanya Galih masih tidak mengerti. Puspa menghela napas. Sebenarnya ia enggan bercerita tentang masa lalunya dengan
Desti berusaha mengirimkan kembali pesan pada Dini, setelah ia mendapatkan balsan pesan begjtu pedas dari temannya itu. Wajah gadis itu semakin berkeringat banyak; membayangkan papanya akan lama mendekam di penjara. Bagaimana dengannya yang harus kuliah? Makan sehari-hari, uang jajan, uang nongkrong dan biaya hidup lainnya yang harus ia tanggung sendiri. Pasti orang-orang bertanya, apakah kamu tidak punya keluarg lain yang bisa diminta tolong? Jawabannya dalah tidak, karena profesi yang dilakukan papanya, banyak saudara yang mengabaikan, bahkan meninggalkan mereka. Kontak pertemanannya diblokir oleh Dini, hal itu membuat Desti semakin ketakutan. Ia saja tidak bisa masuk ke dalam rumah karena proses penyelidikan masih berlanjut. Rumahnya masih diberi police line dan tidak bolah ada satu orang pun yang masuk kecuali petugas yang berwenang. Gadis itu ngekos karena tidak bisa tidur di dalam rumahnya entah sampai kapan. Ditambah lagi, di dalam rumah ada brangkas berisi tabu
"Halo, assalamu'alaikum, benar ini dengan Teh Puspa?""Wa'alaykumussalam. Iya, benar, ini siapa ya?""Teh, mohon maaf sebelumnya. Saya Desti, Teh. Teman Dini, anak dari Pak Miko.""Oh, iya, ada apa? Mau minta cabut pengaduan? Sorry aja, saya gak mau. Papa kamu harus bisa membusuk di penjara!""Teh, tapi papa saya bersedia menikahi Dini, Teh. Memang awalnya papa saya naksir Dini, tapi sama Dini dicuekin, terus.... ""Terus, karena dicuekin jadi diperkosa, iya, begitu? Tidak ada damai dalam kamus hidup saya apalagi berurusan dengan tindak pidana. Papa kamu cukup mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membusuk di penjara, bukan dengan menikahi adik saya."Napas Puspa naik turun dengan cepat saat baru saja menutup teleponnya. Syukurlah mamanya sudah tidur, jika tidak, suaranya yang terus berteriak seperti tadi bisa didengar oleh sang Mama. Belum, saat ini belum saatnya mamanya tahu perihal musibah yang menimpa Dini. Biarkan ia selesaikan pelan-pelan bersama dengan tim pengacara yang s
Setelah mengurung diri dua hari, Rian akhirnya membuka pintu kamarnya. Aroma apek langsung tercium saat ia melewati meja makan keluarga dan saat itu Galih baru saja menghabiskan kopinya. Mama dan papa mereka pergi ke Bali menggantikan Rian dan Sonya yang tidak jadi honeymoon. Galih menahan mual, tetapi ia tidak berani berkomentar. Ia hanya memperhatikan Rian sekilas. Mood Rian sedang tidak baik, maka menegurnya di saat genting seperti ini bukanlah pilihan tepat. "Bik, saya mau makan!" Teriak Rian dari meja makan. Dengan tergopoh, Bik Anin; ART baru di rumah kelurga Bu Gina menghampiri Rian. "Di dapur masih ada sambal goreng kentang dengan hati sapi dan nasi saja, Tuan, apa mau saya tambahkan ceplok telur?" tanya Anin. "Boleh, tambahkan ceplok telur. Nasinya yang banyak." "Baik, Tuan, saya buatkan dulu!" Dengan bergegas, ART itu berlari menuju dapur. Galih masih tidak bersuara, tetapi dalam hatinya tengah menertawakan Rian yang merajuk, tapi lapar. Rian itu adalah tipe pria manja
Bukan Sonya namanya jika sudah menyerah sebelum berjuang. Bukan hanya keluarga Rian saja yang malu, tetapi juga keluarga besarnya, terutama sang Papa yang habis-habisan membentak dan juga sempat menampar wajahnya. Pria itu adalah satu-satunya orang yang melarang sang putri untuk terjun di dunia modelling walaupun tetap kuliah, karena ia tahu, pasti akan ada kejadian seperti ini yang menimpa keluarganya. Sonya berencana pergi ke rumah Rian hari ini untuk meminta maaf dan mau tetap membina hubungan dengannya. Wanita itu sudah mencintai Rian, tetapi keadaannya berbadan dua dan ia pingsan saat acara resepsi membuat kebahagiaan yang seharusnya ia bisa dapatkan bersama Rian, gagal total. "Kamu mau ke mana, Sonya?" tanya mamanya yang baru saja keluar dari kamar dan mendapati Sonya yang juga sama-sama keluar dari kamarnya. "Mau ketemu Rian, Ma, kami harus bicara!" Kata Sonya penuh percaya diri. "Apa kamu yakin Rian akan memaafkan kamu? Apa juga yang mau kamu bicarakan dengan pria itu, kam
"Oh, jadi kamu seperti ini di belakang saya? Heh!? Berani rumpi dengan sesama karyawan seolah-olah kamu masternya?" Galih memutari Puspa yang menunduk sambil memejamkan matanya. Bukan malu lagi, seandainya ia bisa menghilang saat ini, maka sudah ia lakukan. Ia tidak tahu kalau Galih adalah pemilik tempat yang bisa kapan saja berkeliling mengawasi pekerjaan bawahannya. "Hanya bercanda saja, Mas," kata Puspa membela diri, tetapi matanya masih tetap terpejam. "Masa sih!" Galih sudah memeluk Puspa dari belakang hingga wanita itu berjengkit kaget. "M-mas mau apa?" Puspa mulai gugup. "Mau peluk, kenapa, gak boleh?""Belum dah, Mas, n-nanti saja," jawab Puspa sambil mencoba melepaskan diri dari Galih, tetapi percuma karena usahanya sia-sia. Semakin ia mencoba melepaskan diri, maka semakin erat pelukan Galih di pinggangnya. "Mas, gak enak sama karyawan lain," ujar Puspa lagi saat merasakan geli di telinganya. Galih mencoba menggoda area sensitifnya. Bulu tangan dan kaki wanita itu pun m
Sekarang sudah hari selasa, Rian terpaksa menginap di salah satu hotel bintang tiga di Jakarta karena ia sedang mencari Dini. Kemarin, ia nekat pergi ke Dufan; area rekreasi sangat terkenal di Jakarta juga Asia. Karena ja mendengar Dini ada di sana, tetapi hingga malam hari, ia hanya berkeliling saja, setelah naik satu permainan rollercoaster yang membuat jantungnya mau copot. Ia bisa berteriak sepuasnya melampiaskan kekesalan dan kemarahannya pada Sonya, begitu jantungnya dibuat berdetak cepat saat menaiki wahana menyeramkan itu. Ia berharap bisa menemukan Dini di wahana itu, tetapi sungguh sayang, tidak ada gadis yang ia cari, melainkan perutnya saja yang bergolak menahan mual dan ingin muntah. Selasa pagi ia tidak bisa bangun karena seluruh tubuh dan kepalanya sakit. Rasa mual juga belum reda. Untunglah office boy hotel mau menolongnya untuk membelikan obat masuk angin dan juga sakit kepala. Rian juga minta dibelikan obat maaf karena ia merasa ini masalah lambungnya. Mengurung di