"Halo, assalamu'alaikum, benar ini dengan Teh Puspa?""Wa'alaykumussalam. Iya, benar, ini siapa ya?""Teh, mohon maaf sebelumnya. Saya Desti, Teh. Teman Dini, anak dari Pak Miko.""Oh, iya, ada apa? Mau minta cabut pengaduan? Sorry aja, saya gak mau. Papa kamu harus bisa membusuk di penjara!""Teh, tapi papa saya bersedia menikahi Dini, Teh. Memang awalnya papa saya naksir Dini, tapi sama Dini dicuekin, terus.... ""Terus, karena dicuekin jadi diperkosa, iya, begitu? Tidak ada damai dalam kamus hidup saya apalagi berurusan dengan tindak pidana. Papa kamu cukup mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membusuk di penjara, bukan dengan menikahi adik saya."Napas Puspa naik turun dengan cepat saat baru saja menutup teleponnya. Syukurlah mamanya sudah tidur, jika tidak, suaranya yang terus berteriak seperti tadi bisa didengar oleh sang Mama. Belum, saat ini belum saatnya mamanya tahu perihal musibah yang menimpa Dini. Biarkan ia selesaikan pelan-pelan bersama dengan tim pengacara yang s
Setelah mengurung diri dua hari, Rian akhirnya membuka pintu kamarnya. Aroma apek langsung tercium saat ia melewati meja makan keluarga dan saat itu Galih baru saja menghabiskan kopinya. Mama dan papa mereka pergi ke Bali menggantikan Rian dan Sonya yang tidak jadi honeymoon. Galih menahan mual, tetapi ia tidak berani berkomentar. Ia hanya memperhatikan Rian sekilas. Mood Rian sedang tidak baik, maka menegurnya di saat genting seperti ini bukanlah pilihan tepat. "Bik, saya mau makan!" Teriak Rian dari meja makan. Dengan tergopoh, Bik Anin; ART baru di rumah kelurga Bu Gina menghampiri Rian. "Di dapur masih ada sambal goreng kentang dengan hati sapi dan nasi saja, Tuan, apa mau saya tambahkan ceplok telur?" tanya Anin. "Boleh, tambahkan ceplok telur. Nasinya yang banyak." "Baik, Tuan, saya buatkan dulu!" Dengan bergegas, ART itu berlari menuju dapur. Galih masih tidak bersuara, tetapi dalam hatinya tengah menertawakan Rian yang merajuk, tapi lapar. Rian itu adalah tipe pria manja
Bukan Sonya namanya jika sudah menyerah sebelum berjuang. Bukan hanya keluarga Rian saja yang malu, tetapi juga keluarga besarnya, terutama sang Papa yang habis-habisan membentak dan juga sempat menampar wajahnya. Pria itu adalah satu-satunya orang yang melarang sang putri untuk terjun di dunia modelling walaupun tetap kuliah, karena ia tahu, pasti akan ada kejadian seperti ini yang menimpa keluarganya. Sonya berencana pergi ke rumah Rian hari ini untuk meminta maaf dan mau tetap membina hubungan dengannya. Wanita itu sudah mencintai Rian, tetapi keadaannya berbadan dua dan ia pingsan saat acara resepsi membuat kebahagiaan yang seharusnya ia bisa dapatkan bersama Rian, gagal total. "Kamu mau ke mana, Sonya?" tanya mamanya yang baru saja keluar dari kamar dan mendapati Sonya yang juga sama-sama keluar dari kamarnya. "Mau ketemu Rian, Ma, kami harus bicara!" Kata Sonya penuh percaya diri. "Apa kamu yakin Rian akan memaafkan kamu? Apa juga yang mau kamu bicarakan dengan pria itu, kam
"Oh, jadi kamu seperti ini di belakang saya? Heh!? Berani rumpi dengan sesama karyawan seolah-olah kamu masternya?" Galih memutari Puspa yang menunduk sambil memejamkan matanya. Bukan malu lagi, seandainya ia bisa menghilang saat ini, maka sudah ia lakukan. Ia tidak tahu kalau Galih adalah pemilik tempat yang bisa kapan saja berkeliling mengawasi pekerjaan bawahannya. "Hanya bercanda saja, Mas," kata Puspa membela diri, tetapi matanya masih tetap terpejam. "Masa sih!" Galih sudah memeluk Puspa dari belakang hingga wanita itu berjengkit kaget. "M-mas mau apa?" Puspa mulai gugup. "Mau peluk, kenapa, gak boleh?""Belum dah, Mas, n-nanti saja," jawab Puspa sambil mencoba melepaskan diri dari Galih, tetapi percuma karena usahanya sia-sia. Semakin ia mencoba melepaskan diri, maka semakin erat pelukan Galih di pinggangnya. "Mas, gak enak sama karyawan lain," ujar Puspa lagi saat merasakan geli di telinganya. Galih mencoba menggoda area sensitifnya. Bulu tangan dan kaki wanita itu pun m
Sekarang sudah hari selasa, Rian terpaksa menginap di salah satu hotel bintang tiga di Jakarta karena ia sedang mencari Dini. Kemarin, ia nekat pergi ke Dufan; area rekreasi sangat terkenal di Jakarta juga Asia. Karena ja mendengar Dini ada di sana, tetapi hingga malam hari, ia hanya berkeliling saja, setelah naik satu permainan rollercoaster yang membuat jantungnya mau copot. Ia bisa berteriak sepuasnya melampiaskan kekesalan dan kemarahannya pada Sonya, begitu jantungnya dibuat berdetak cepat saat menaiki wahana menyeramkan itu. Ia berharap bisa menemukan Dini di wahana itu, tetapi sungguh sayang, tidak ada gadis yang ia cari, melainkan perutnya saja yang bergolak menahan mual dan ingin muntah. Selasa pagi ia tidak bisa bangun karena seluruh tubuh dan kepalanya sakit. Rasa mual juga belum reda. Untunglah office boy hotel mau menolongnya untuk membelikan obat masuk angin dan juga sakit kepala. Rian juga minta dibelikan obat maaf karena ia merasa ini masalah lambungnya. Mengurung di
Dini hanya menyeringai saja saat Ramon bertanya. Justru ia bingung mau menjawab apa. Dirinya sudah bukan wanita baik-baik dan juga kotor. Apakah ia pantas mendapatkan kebahagiaan layaknya tetehnya?"Tuh, kalau diamnya wanita itu sama dengan iya, maka berarti kamu bersedia," tukas Ramon lagi sambil menatap Dini. Gadis itu tertawa sumbang dengan hati yang berdebar. "Ish, katanya gak jadi, gimana sih?" komentar Dini membuat Ramon tertawa pendek. "Kalau diterusin aja gimana, Din? Kamu mau tidak? Tapi kalau udah jadi istri jangan kebanyakan main loh!" kali ini Dini tertawa terpingkal-pingkal mendengar kalimat Ramon. "Lah, malah ketawa. Begini, saya bukanlah pria baik-baik yang memiliki masa lalu lurus, saya juga punya dosa dan khilaf. Kamu pun sama. Posisi kita sama, saya harap, kita bisa saling menguatkan. Tidak perlu cinta untuk menikah, karena banyak diluaran sana menikah dijodohkan, akhirnya mereka langgeng sampai punya anak. Saya menerima kamu apa adanya karena saya berharap Tuhan
Dini membuktikan ucapannya dengan menyiapkan makan malam untuknya dan juga Ramon. Hera dan putrinya pun ada di rumah untuk memantau tamu Ramon yang tidak lain adalah Dini. Tentu saja tidak baik membiarkan lelaki dan perempuan berduaan saja di rumah. Apalagi keduanya belum sah. Dini membuat dapur Ramon sangat berantakan. Maklum saja, ia memang bisa memasak, tetapi jarang ia lakukan karena mamanya selalu melarang. Sehingga semua perabotan keluar dari rak, bila ia sedang memasak. "Waduh, masak apa, Dini?" tanya Hera pada calon adik iparnya. Matanya berselancar memperhatikan dapur rumah yang sangat berantakan layaknya orang tengah masak untuk hajatan. "Nasi goreng telor ceplok, Teh. Teteh mau? Saya masak lebih kok. Ayo, makan sama-sama!" Dini membawa mangkuk keramik besar motif ayam jago untuk ia letakan di ruang makan. Hera hanya bisa menggelengkan kepala melihat kekacauan yang dibuat Dini. Namun, ia tetap membantu Dini membawakan piring berisi tiga potong ceplok telur. Dini kembali
"Papa, Desti gak bisa bujuk Dini. Dini tidak mau bertemu dengan Desti dan keluarganya juga melarang Desti untuk ketemu Dini. Udahlah, mau gimana lagi, semua juga karena ulah Papa. Makanya kalau gak mau kebakar, jangan main api. Dini juga mau menikah, Pa," ujar Desti saat dia itu menjenguk Miko di tahanan. "Nah, kalau gitu, kamu kasih tau aja calon suami Dini, biar gak jadi nikah, terus mau nikah sama Papa. Ayolah, Desti, kamu harus bantu Papa. Papa gak mau di sini lama-lama. Nih, kamu gak. Lihat badan Papa pada lebam, digebukin tahanan lain." Miko terus saja berusaha membujuk putrinya agar mau membantu bagaimana caranya agar ia bisa segera keluar dari penjara. "Ish, Papa ribet nih! Desti kuliah, Pa. Udah, Pa, pasrah aja sama nasib. Apalagi Papa emang salah. Papa jangan kebanyakan baca novel. Mana ada di kehidupan nyata pemerkosa menikahi korbannya, kalau pun ada itu sangat jarang. Yang ada nanti tambah trauma. Udah, ah, Desti mau ke kampus dulu! Papa renungkan kenapa Papa bisa terbe