"Papa, Desti gak bisa bujuk Dini. Dini tidak mau bertemu dengan Desti dan keluarganya juga melarang Desti untuk ketemu Dini. Udahlah, mau gimana lagi, semua juga karena ulah Papa. Makanya kalau gak mau kebakar, jangan main api. Dini juga mau menikah, Pa," ujar Desti saat dia itu menjenguk Miko di tahanan. "Nah, kalau gitu, kamu kasih tau aja calon suami Dini, biar gak jadi nikah, terus mau nikah sama Papa. Ayolah, Desti, kamu harus bantu Papa. Papa gak mau di sini lama-lama. Nih, kamu gak. Lihat badan Papa pada lebam, digebukin tahanan lain." Miko terus saja berusaha membujuk putrinya agar mau membantu bagaimana caranya agar ia bisa segera keluar dari penjara. "Ish, Papa ribet nih! Desti kuliah, Pa. Udah, Pa, pasrah aja sama nasib. Apalagi Papa emang salah. Papa jangan kebanyakan baca novel. Mana ada di kehidupan nyata pemerkosa menikahi korbannya, kalau pun ada itu sangat jarang. Yang ada nanti tambah trauma. Udah, ah, Desti mau ke kampus dulu! Papa renungkan kenapa Papa bisa terbe
"Rian, aku percaya sama kamu ya. Tolong jangan bikin kekacauan apapun!" Puspa memperingatkan lelaki itu saat ia terus memohon untuk bicara dengan Dini. Sampai saat ini, gadis itu belum tahu bahwa pernikahan Rian batal. Tidak ada satu orang pun yang mengatakan padanya perihal itu. Ditambah ponsel yang sudah ganti baru, berikut nomornya. "Iya, Puspa, aku juga tahu, aku hanya ingin bicara dengan Dini. Gak akan jauh-jauh, warung baso depan perumahan ini saja," ujar Rian sungguh-sungguh. Meskipun ragu, Dini akhirnya ikut naik ke atas motor besar Rian dengan duduk menyamping. Ia masih trauma jika duduk mengangkang karena lukanya belum benar-benar sembuh. Motor itu melaju amat pelan, seperti bukan digerakkan mesin, tetapi seperti sedang didorong oleh manusia. "Ini mau kapan sampainya, Pak? Saya gak bisa lama-lama di luar. Teh Puspa lagi repot," tegur Dini saat laju motor Rian semakin pelan. Gadis itu tentu saja terheran-heran melihat kelakuan Rian yang absurd. Ponsel yang ada di tangannya
Saya terima nikah dan kawinnya Medina Puspa Ningrum binti Ujang Kadarusman dengan mas kawin seperangkat alat solat dan logam mulia sebesar lima puluh gram, dibayar tunai. Kedua tangan semua orang yang ada di sana terangkat, ikut mendoakan segala kebaikan untuk pernikahan Puspa dan Galih. Wanita itu menunduk dengan sembari menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Saat suara semua orang di sana mengatakan sah, maka disaat itu pula hatinya berdebar kencang. "Silakan dicium punggung tangan suaminya," kata pembawa acara mengarahkan Puspa. Wanita itu dengan penuh khidmat, meraih tangan Galih, lalu menciumnya pelan, sembari menanti jepretan dari fotografer. Acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin pernikahan yang disiapkan sepasang oleh Galih. Lalu ditutup dengan prosesi sungkeman. Rian hanya bisa memandang senyum kebahagian Puspa dan Galih dari kejauhan. Ia juga melihat dengan jelas, sosok Ramon yang datang dan duduk tidak pernah jauh dari Dini, sehingga ia tidak mungkin untuk
Puspa sudah berada di dalam kamar hotel yang sudah disulap menjadi kamar pengantin yang super bagus. Kamar yang didesain apik, hingga membuat pengantin merasa nyaman berlama-lama di sana. Tentu saja kesal romantis sangat kental karena banyaknya taburan bunga di sepanjang jalan, mulai dari membuka pintu, sampai ke ranjang. Aroma mawar merah juga sangat disukai oleh Puspa. Ia benar-benar terhipnotis dengan suasana kamar yang membuatnya sangat nyaman dan tidak ingin segera masuk ke kamar mandi. Karena terlalu takut hiasan di ranjang rusak, maka Puspa memutuskan untuk duduk di kursi yang juga dihias cantik. Galih memberikan waktu padanya untuk bersiap. Puspa merasa suaminya sangat baik dan memahami dirinya. Ini memang bukan pernikahan pertama baginya, tetapi pernikahan kedua ini melebihi apa yang pernah ia lewati dulu saat bersama Ramon. Puas menatap kamar dengan dominasi bunga merah dan putih. Ia pun mulai membuka gaun pengantin mewah itu dengan susah payah. Sesuai arahan, gaun itu su
Malam ini, Ramon menginap di rumah Bu Suci. Menemani Robi yang sejak tadi menanyakan ke mana bunda dan ayah Galih. Ya, panggilan untuk Galih dari Robi adalah ayah, sedangkan untuknya adalah papa. Pria itu sama sekali tidak keberatan karena memang sudah seharusnya Robi memanggil dengan sebutan itu agar kedekatan mereka semakin kuat. Robi tidur di kamar Dini bersama Robi, sedangkan Dini meminjam kamar Puspa untuk beristirahat bersama satu orang sepupunya. Lalu saudara yang lain memilih tidur di depan TV. Saling berbincang hangat. Sudah lama sekali Bu Suci tidak mengumpulkan saudara di rumahnya, sehingga ia begitu senang dan sanggup begadang demi untuk bertukar kisah dengan para saudara. Keesokan paginya, satu per satu tamu Bu Suci dari kampung pun pulang. Mereka membawa bekal makan daging semur dan juga sambal goreng kentang, serta bihun. Bu Suci memabg sengaja memasak untuk oleh-oleh yang akan dibawa para sanak family-nya dari kampung. "Ramon, mau langsung makan?" tanya. bu Suci saa
Puspa lapar. Ia ingin makan karena terus-terusan digempur Galih. Ini sudah tiga ronde dari sejak pagi dan mereka baru satu kali makan dan satu kali ngemil. Tentu saja bagi Puspa sangat berat karena pada dasarnya ia hobi makan dan ngemil. Galih masih memeluk tubuh istrinya dengan mata terpejam, meskipun lelaki itu tidak benar-benar tidur. Ia hanya melepas lelah seteleh tiga ronde terlewati. "Mas, laper," rengek Puspa. "Ya udah nih, makan saya aja!" Puspa yang gemas dengan jawaban suaminya, langsung beringsut hendak melepaskan diri dari pelukan, tetapi tidak semudah itu karena Galih mengeluarkan seluruh tenaganya agar Puspa tetap berada di dalam pelukannya. "Ish, lapar beneran, Mas. Nanti kalau maag-nya kambuh gimana? Masa pengantin baru sakit maag?" Galih membuka matanya begitu mendengar kata sakit. Tangannya ia panjangkan agar bisa meraih gagang telepon yang ada di samping ranjang. "Mau makan apa, hem?" tanya Galih sembari mencoba menghubungi bagian dapur. "Bosan makan di kamar,
["Apa? Mama kena serangan jantung?"]["Iya, Teh Dini, cepat pulang ya. Ibu sudah menelepon Teh Puspa, tetapi nomornya tidak tersambung. Mungkin karena pengantin baru, jadinya tidak aktif ponselnya."]["Baik, Bu Menik, terima kasih informasinya, saya segera pulang sekarang. Titip Robi dan mama dulu."]Dini menelepon Ramon, tetapi tidak diangkat. Pria itu sedang berbincang dengan dua orang pria berpakaian rapi dan terlihat sangat serius. Ia tidak mungkin menganggu pekerjaan lelaki itu karena sudah lebih dari sepekan ia merepotkan Ramon.Gadis itu berlari keluar dari tempat acara pameran untuk memesan taksi yang akan membawanya pulang ke Bandung. Terpaksa ia mengeluarkan uang yang tempo hari pernah diberikan Ramon padanya untuk uang jajan, sebagai ongkos pulang. Bang, mama kena serangan jantung lagi. Saya pulang duluan naik taksi online. Nanti saya kabari kalau sudah sampai di Bandung. SendDini mengirimkan pesan pada Ramon., berikut screenshot perjalanannya di aplikasi. Setengah jam
Puspa dan Galih langsung menuju rumah sakit saat Bu Gina memberitahu keduanya dengan mendatangi hotel. Sepanjang jalan Puspa menangis karena merasa kesal kenapa ponsel lupa ia charger, sehingga ia tidak bisa cepat mendapatkan kabar soal mamanya. Bagaimana jika sesuatu hal buruk terjadi pada mamanya? Maka ia akan menjadi orang yang paling bersalah. "Sudah, Sayang, jangan nangis. Mama pasti baik-baik saja." Galih mencoba menenangkan Puspa dengan menyentuh pipi basah wanita itu. "Mama gak pernah sampai ke ICU, Mas." Isak Puspa dengan suara tertahan. "Iya, mungkin ini mama kelelahan juga karena baru saja hajatan. Saudara pada ngumpul di rumah sejak tiga hari lalu, jadinya pasti capek. Sudah, tenangkan diri kamu. Minta sama Allah untuk menjaga mama ya. Saya yakin mama kuat." Puspa mengangguk; menerima tisu yang diberikan Galih untuk menghapus air matanya. Kini mereka sudah tiba di rumah sakit. Puspa ingin sekali bisa berlari ke ruang ICU, agar bisa segera melihat keadaan mamanya, tetap