Ini bukan kali pertama dan seharusnya bukan masalah besar jika Panji kembali datang dalam kehidupan Sepia. Bukan hanya datang, melainkan dekat dan terikat oleh pekerjaan. Berkali-kali Sepia berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk berdamai dengan perasaannya, tapi lagi-lagi luka lama malah semakin terbuka lebar.Sepia duduk gelisah di depan jendela kamarnya. Aroma the jahe yang ia buat masih semerbak, meski uapnya sudah tak lagi mengepul dan mulai dingin. Ia menatap jendela yang basah, hujan kembali mengguyur cukup deras. Anehnya ia merasa, setiap ia sedih pasti hujan ikut turun. Entah kebetulan atau bagaimana mungkin perasaannya dan langit memang memiliki cuaca yang sama.Perkataan Panji yang menginginkan mereka bisa berteman baik lagi terus terngiang memenuhi telinga Sepia. Perkataan yang berhasil membuat pikirannya bising, terganggu.[Benarkah? Kok bisa sih?!] Alea.Sepia mendesah kecewa, ia sudah menceritakan perihal pertemuannya dengan Panji pada Alea.“Aku harus bagaimana …,” I
Hari ke hari semuanya tampak sibuk. Peluncuran buku akan semakin dekat, tim marketing juga disibukkan dengan promosi yang semakin gencar. Diksi-diksi indah memenuhi laman sosial media penerbit, postingannya berupa teka-teki penuh misteri tentang buku terbaru dari Panji.“Panji itu sebenarnya udah nerbitin tiga buku, Pi di penerbit kita. Bergabungnya dia itu pas banget sejak kamu baru keluar, tapi dia juga hiatus tiga tahun terakhir dan baru nongol lagi tahun ini. Aku seneng sih, soalnya buku-buku dia itu laku abis. Jadi ya, dia ngasih banyak keuntungan buat kita, aku kan jadi ngerasa enggak harus banting otak buat promosi keras,” jelas Ara.Sepia baru tahu hal itu. Ia tidak tahu bahwa Panji pernah pulang dari Jepang dan bergabung sebagai penulis di kantor tempatnya bekerja. Karena memang selama itu mereka benar-benar tidak saling bertukar kabar.“Oh, aku pikir dia baru. Pantas saja Bu Nawang memberikan naskah dia yang paling prioritas,” Sepia menyahut pendek, seperti tidak terlihat te
“Kali ini pulang denganku saja. Aku sudah bilang pada suamiku, ia tidak keberatan jika kamu ikut,” ajak Ara.“Ah, tidak perlu. Aku akan merepotkanmu Ara, lagipula arah pulang kita tidak sama. Aku tidak apa-apa, sudah kubilang aku terbiasa sendirian. Lagipula banyak ojek dan taksi,” jelas Sepia.“Sungguh tidak akan merepotkan sama sekali. Aku malah senang, jadi aku bisa jalan-jalan sebentar terlebih dekat tempat tinggalmu banyak tempat nongkrong bagus. Ya, biar aku punya alasan merayu suamiku.”Tidak seperti biasanya, entah kenapa Ara sangat memaksa Sepia untuk pulang bersama. Padahal jelas-jelas Sepia tidak akan pernah menerima ajakannya. Selain karena tidak searah, Sepia juga merasa tidak enak jika berada di antara sepasang suami istri.“Sejak aku tahu Yana mengganggumu, aku tidak tega jika membiarkanmu sendirian. Setidaknya jika bersama kami, kamu akan aman. Kamu bisa pulang dengan selamat dan cepat. Aku benar-benar tidak ingin kamu laki-laki hidung belang itu terus mendekatinya. De
Musibah selalu datang pada waktu yang tidak bisa kita duga.Sepia terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar meski kenyataannya matanya sembab karena tangis yang tak henti berlinang dalam pelupuk matanya. Perutnya masih terasa keram, suhu tubuhnya naik demam, dan ia masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi diluar kendali juga tanpa sepengetahuannya. Ia syok, benar-benar terguncang dengan apa yang ia alami.“Maafkan aku … ini semua gara-gara aku, kalau kamu tidak mengejar jambret yang mengambil tasku kamu tidak akan merasakan sakit sedalam ini. Kumohon maafkan aku ….”Gina juga menangis terisak di sampingnya, ia benar-benar merasa bersalah dan malah menyalahkan dirinya atas semua hal yang terjadi. Sepia tetap terbaring lemas, bola matanya perlahan bergerak menatap Gina. Sepia menggelengkan matanya perlahan, ia juga berusaha meraih tangan Gina.“I—ibu tidak bersalah, jangan menyalahkan diri ibu. Ibu tidak boleh sedih berlebihan, ak
“Shabiru, maafkan ibun, ya. Minggu ini ibun tidak bisa pulang lagi. Ibun sangat rindu dengan Shabiru, tapi pekerjaan di kantor sedang sangat padat. Semoga minggu depan ibun bisa pulang.”Sepia meraih selembar kertas, lalu membubuhkan sepenggal kalimat itu di atasnya. Ia tahu Shabiru masih belum lancar membaca, tapi ia akan sangat senang jika menerima sepenggal surat tulisan tangan ibunya secara langsung. Sepia melipat kertas itu dua kali, lalu memasukannya ke dalam kardus berisi mainan, buku dongeng, dan beberapa jenis makanan ringan. Ia kemudian menutup kardus itu dengan lakban bening sampai rapat. Ia akan mengirimkan barang itu ke pihak ekspedisi, ia berharap barang yang ia kirimkan bisa sedikit melipur kerinduan Shabiru.Sepia terdiam sejenak, ia kembali merenungi kesedihan yang ia rasakan akhir-akhir ini. “Apakah Ray akan merasa sedih, jika tahu salah satu calon anaknya gagal terlahir ke dunia ini?”Sempat terpikir untuk memberitahu Ray, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia telah memp
Rumah Ray Mahesa.Semakin hari, semakin banyak perubahan dalam kehidupan Ray. Ia harus terbiasa mengurus banyak hal sendirian di tengah pesatnya perkembangan bisnis yang digelutinya. Restoran miliknya semakin merajalela dan mulai menyebar ke luar Yogyakarta. Karirnya sedang ada dalam posisi cemerlang, berbanding terbalik dengan kehidupan asmaranya yang justru semakin berantakan.Meski sekarang ia tinggal bersama ibunya, tetap saja ia merasa sendirian dan serba berantakan, terlebih perasaannya. Rumah besarnya kini sepi, tanpa teriakan anaknya yang selalu berhasil menghangatkan suasana. Kini hanya tersisa tembok tinggi yang dingin nan membelenggu perasaannya untuk melupakan masa lalu.“Ibu merindukan cucu ibu,” ibu Ray terlihat menghela napas panjang sambil menuangkan air untuk gelas Ray. “Kenapa kamu tidak menjemputnya saja? Dan bawa cucuku untuk tinggal di sini. Aku juga bisa mengurusnya. Aku dengar, Sepia juga pergi ke Jakarta. Sementara cucuku malah ditinggalkan sendirian bersama ne
Panji— laki-laki yang masih mengenakan jaket kanvas berwarna marun begitu memperhatikan Sepia sejak ia memasuki ruangan acara webinar akan dilangsungkan. Dari kerutan kecil pada keningnya, terlihat jelas Panji sangat terkejut dengan penampilan Sepia yang berubah hampir tiga ratus enam puluh derajat. Apalagi ketika perempuan itu tersenyum ke arahnya dengan ramah, benar-benar berbeda. Padahal ia masih ingat betul, beberapa hari lalu Sepia meminta dirinya untuk menjauh.“Apa kabar, Panji? Sudah siap untuk webinarnya?” tanya Sepia basa-basi. Hal itu dilakukannya agar suasana menjadi lebih cair.Setelah apa yang telah terjadi, Sepia akan berusaha melupakan segalanya dan merubah banyak hal. Entah itu soal masa lalunya dengan Panji atau pun kejadian beberapa hari lalu.“Ba—baik. Aku sudah sangat siap … dan Ibu Sepia? Bagaimana keadaanmu, Bu?” ia menyahut dengan canggung. Panji hanya melihat Sepia sekejap, kemudian memalingkan pandangannya ke tempat lain. Ia masih tidak percaya, dengan sikap
Sepia mengikat rambutnya, lalu berjongkok mengambil kotak berisi foto-foto Shabiru dan memindahkannya ke atas meja. Tinggal di Jakarta bukanlah keputusan yang mudah di ambil. Banyak hal yang telah Sepia pertimbangkan matang-matang dengan waktu yang tidak sebentar. Namun,masalah yang menimpanya membuat Sepia akhirnya nekat dan tergesa mengambil keputusan. Selain ingin memulihkan diri dan menjauh dari masa lalunya,ia memang benar-benar ingin menyendiri.Hari baru dimulai setiap matahari kembali terbit, mengakhiri gulitanya malam yang hanya tersinari redup rembulan atau cahaya-cahaya dari energi buatan. Sepia juga memulai hari barunya di tempat tinggal yang berbeda, ia sudah pindah dari rumah Oma Ina dan menempati rumah baru.Rumah bergaya minimalis modern dua lantai dengan cat putih yang dikombinasikan dengan warna krem memberikan kesan yang tenang dan hangat sekaligus. Rumah itu cukup strategis dengan kebutuhan dan kapasitas budgetnya, semuanya telah ia pertimbangkan matang-matang. Kom