Dokter itu mengerutkan dahinya lagi. "Jadi, kalian berdua adalah istri Pak Daffi?""Bukan, Dok, istri Mas Daffi itu cuma saya. Jangan ngaku-ngaku kamu, Fris!""Heh, kamu, tuh, yang jangan kege-eran. Memangnya pantas wanita sepertimu jadi istri Daffi?""Sudah, sudah, begini saja. Kalian berdua ikut ke ruangan saya. Ada yang mau saya sampaikan mengenai kondisi dari Pak Daffi."Dokter itu mengajakku dan Friska ke sebuah ruangan yang di pintunya tercantum tulisan, dr. Sandi Prabowo, Sp. N. Ruangan berukuran sekitar 2 x 2 m2, yang didominasi warna putih. Di dalamnya banyak terdapat properti yang berkaitan dengan sistem saraf manusia, seperti poster bergambarkan saraf tepi dan saraf pada otak, miniatur bentuk otak dan tulang belakang, dan berbagai buku dengan judul berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris. "Silakan duduk, Bu," ujar dokter itu mempersilakan. "Jadi begini, Bu. Sepertinya Pak Daffi mengalami kondisi yang dinamakan dengan amnesia atau hilang ingatan, yaitu gangguan yang me
Selamat Membaca, semoga suka yaa.... ***Mas Daffi mengangguk yakin. "Mas capek dengan masalah yang ga ada habisnya, Run. Mas mau segera hidup tenang bersamamu dan anak-anak kita kelak.""Sejak kapan, Mas, curiga sama mereka?""Sebenarnya sudah cukup lama. Sejak almarhum papa meninggal dunia, tapi waktu itu mas terlalu sibuk memupuk rasa benci mas padamu dan masih terperdaya pada Friska, jadi Mas mengabaikan apa yang hati mas rasa janggal," jelasnya. Aku berpikir sesaat, menurutku rencana Mas Daffi cukup beresiko. Aku bahkan berat untuk memberikan persetujuan. Namun, akhirnya aku setuju. Keesokan harinya, Friska datang lagi ke rumah sakit, kali ini ia datang bersama Mama Juwita. Terdengar dari dua buah suara yang berasal dari dalam kamar Mas Daffi. Aku yang baru saja tiba di sana dan ingin menemui Mas Daffi urung masuk dan menghentikan langkah tepat di depan pintu. "Daffi, kamu ingat mama?" terdengar suara Mama Juwita dari dalam ruangan. "Ingat, Ma.""Syukurlah, kamu ingat. Mama
Pov Author"Om, turut berduka cita ya, Daf." Sahid menepuk pelan bahu Daffi dan hanya dibalas Daffi dengan anggukan pelan. Asmoro, ayah Daffi baru saja meninggal dunia. Daffi tampak begitu terpukul dan berduka dengan kepergian Asmoro yang cukup mendadak. Sahid bermaksud untuk menyapa Juwita juga, tapi urung, karena Juwita masih menangis di pelukan Friska yang juga baru saja datang bersama keluarganya. "Iya, Om, makasi udah datang. Maafin papa selama ini kalau banyak menyusahkan dan banyak berhutang budi sama, Om.""Kau itu bicara apa? Asmoro itu sudah kuanggap sebagai saudaraku. Sesama saudara tentu saja harus saling bantu. Oh, ya, di mana Riana?"Mendengar nama Riana disebut, Juwita langsung menjauh dari Friska. Ia beringsut mendekati Sahid. "Dia tadi di belakang, Om. Daffi minta dia mengurus hidangan untuk tamu saja.""Sahid, buat apa, si, kau repot-repot bertanya tentang perempuan itu? Biar saja dia di belakang. Di sana memang tempat yang pantas untuknya."Sahid menggeleng pelan m
Pov Author**Beberapa minggu setelah pemakaman Asmoro, Daffi berkunjung ke restoran milik Friska. Ia memang rutin datang ke sana untuk makan siang di sela waktu istirahat kantor. Namun, di sana ia melihat ada mamanya dan seorang pria muda sedang berbicara serius pada Friska. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. "Ma, udah lama?" Daffi muncul dari arah yang membelakangi Juwita dan Friska, hingga membuat sebagian air mineral di dalam mulut Juwita tersembur keluar. "Eh, Daf. Gak kok, mama tadi abis belanja, trus kebetulan lewat sini. Ya udah mama mampir aja." Juwita tampak salah tingkah seperti baru saja tertangkap basah karena melakukan sesuatu yang buruk. "Daf, udah lama? Kok, ga, nelpon dulu kalau mau ke sini?" Friska berdiri dan berusaha mengalihkan perhatian Daffi. Ia lalu mencium pipi pria yang dicintainya itu. "Baru sampe. Biasa, aku mau makan siang di sini, kangen sama masakan kamu," ujar Daffi sambil tersenyum hangat. "Kalau gitu, mama pulang
Pov Author**Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans
Pov AuthorMata Friska yang semula redup sudah berbinar kembali. "Makasi, ya, Ma," ujar Friska seraya menghambur ke pelukan Santi. ***Keesokan harinya Santi menghubungi Juwita untuk membicarakan masalah Friska. "Aduh, gila, kamu, San! Mana mungkin Daffi mau menikah dengan Friska kalau dia tau Friska lagi hamil?""Terserah. Pokoknya aku ga mau tau, tugas kamulah selanjutnya untuk meyakinkan anakmu itu, apapun caranya! " Santi menatap Juwita dengan sorot mata mengancam. "Aku mau Friska dan Daffi segera menikah."Juwita bingung tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin menjadikan Friska, anak yang dulu pernah diasuhnya saat kecil, sebagai menantunya, tapi ia juga tidak mau menipu Daffi.Santi dan Juwita adalah sahabat baik yang sama-sama berasal dari daerah Karawang. Santi lebih dulu berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta, lah, ia bertemu dengan Indra dan kemudian menikah. Beberapa tahun kemudian, Juwita yang juga ingin mengubah nasib di Jakarta, mengikuti
Setelah mendapat informasi dari Sahid dan Rafif kalau Frans, musuh lamanya dulu, sudah bebas, Daffi berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu. Ia mencari tahu nomor terbaru Frans dari lembaga pemasyarakatan tempat Frans pernah ditahan dulu. Untungnya petugas di sana mau bekerja sama sesuai dengan harapan Daffi. "Frans, bisa kita ketemu? Dari Daffi anak SMA Budi Luhur. Mantan anak motor yang dulu sering ngadu balapan sama lo."Centang dua dan beberapa detik kemudian berubah warna menjadi centang biru. "Ok. Di mana?"Balasan dari Frans datang sesaat kemudian.***Daffi nampak terkejut melihat penampilan Frans saat ini. Ia terlihat lebih .... religius. Tidak ada lagi jambang di kedua pipinya. Rambutnya yang dulu selalu klimis sudah dipangkas habis. Sangat berbeda dengan Frans yang dulu ia kenal saat masih SMA. "Masih inget, gue?" tanya Daffi dengan sikap yang waspada sejak tadi. Biar bagaimanapun di antara mereka ada masalah yang belum terselesaikan hingga kini. Frans masuk penjara
Pov Author"Oh, jadi dulu dia emang berniat nyelamatin lo karena dia pacar lo? Salut gue ama tu cewek. Hebat. Ga ada takutnya.""Ya, bukan gitu. Dulu gue ga kenal siapa dia. Gue juga baru tau kalau dia yang udah nolongin gue waktu itu beberapa bulan belakangan ini. Bokap cuma nyuruh gue nikah sama dia tanpa ngasi tau apapun, dan lo bener, Frans, dia emang cewek hebat.""Gimana kondisi mukanya? Masih rusak atau sudah dioperasi? "Masih kayak dulu. Gue sengaja minta dia untuk ga operasi biar gue bisa inget terus peristiwa waktu dia nyelamatin gue dulu, yang bikin gue makin cinta sama dia.""Mau muntah gue jadinya." Frans tertawa lagi, begitu pula Daffi. Daffi lalu menceritakan pada Frans kalau bertepatan dengan bebasnya Frans dari penjara, Riana diculik. Daffi bermaksud mencari tahu ada hubungan apa antara Frans dengan peristiwa penculikan Riana. "Gue ga tau apa-apa soal itu, Bro. Sumpah! Abis keluar dari penjara, gue langsung ke masjid dan balik ke rumah om gue. Hmm, ada yang aneh. Ken