Pov Author“Jangan anggap remeh dia, Frans. Kita tetep harus hati-hati.”“Iya. Gue jamin bisa bikin dia percaya sama gue.”“Baguslah kalau gitu. Oh, iya, jangan lupa janji kita ntar siang di tempat biasa."“Sip. Udah, ya, gue tutup dulu, takut nanti si Daffi curiga.”“Kenapa dia nyebut-nyebut nama gue?” gumam Daffi yang hanya dapat terdengar olehnya.Melihat Frans akan memutus panggilan, Daffi segera bergegas menuju ke posisinya semula. “Udah gue duga, dia pasti nyembunyiin sesuatu,” pikirnya lagi.“Sorry, lama. Biasa bokap, suka masih nganggap gue anak kecil.”“Santai. Emang bokap lo sekarang di mana, Frans?” tanya Daffi mencoba bersikap biasa seakan ia tidak mengetahui apa-apa.“Bokap sama Nyokap masih di Jambi,” jawab Frans sambil melihat arloji di pergelangan tangan kanan.Daffi dan Frans akhirnya tidak meneruskan pembicaraan mereka. Frans bilang ada urusan penting yang mendadak harus segera ia selesaikan.“Ok, Frans. Kalau lo ada info soal yang tadi gue tanyain, lo contact gue, ya
"Bung ...." Rafif bicara lagi. "Kalau, lo, ga, ngakuin Riana sebagai istri, gue siap kapan aja menerimanya di hidup gue. Gue, ga, peduli apapun kondisinya, gue cuma mau dia."Wajah Mas Daffi mulai memerah, lalu ia membuka mulutnya, siap untuk berkata sesuatu. Namun, bukannya berkata sesuatu, ia malah tertawa lepas, hingga membuatku merasa heran. "Lo, mau bawa pergi dia dari sisi gue?" Mas Daffi menunjukku dengan dagu. "Masalahnya, keputusannya bukan sama gue, sih. Coba lo tanya Riana, mau ga dia sama, Lo? Orang dari kemaren dia nempelin gue mulu. Padahal udah gue bilang kalau gue ga inget dia," ujar Mas Daffi dengan sombongnya sambil melipat kedua tangan. Refleks, kulepaskan tanganku yang masih berada dalam genggaman tangan Rafif. Lalu perlahan mendekat kepada Mas Daffi. Mas Daffi sontak tertawa lagi. "Tuh, kan, dia ngedeketin gue lagi. So sorry, Bro," ejek Mas Daffi. "Ok, kita buktiin aja. Mungkin ga sekarang, tapi suatu hari nanti, gue akan bawa dia pergi jauh dari, Lo!" Raut waj
Selamat membaca, Terima kasih yang masih setia mengikuti cerita ini. **Cerutu yang sedari tadi berada di tangan kanannya hanya ia mainkan dengan jari, tanpa ia nyalakan sama sekali. Mungkin karena ia tahu asap rokok tidak baik untuk ibu hamil sepertiku. "Kenapa tidak biarkan polisi saja yang menyelesaikan, sih. Bagaimana kalau mereka curiga?" tanya Om Sahid. Sepertinya Mas Daffi sudah menceritakan mengenai rencananya pada Om Sahid. "Menurut, Om, itu terlalu beresiko, Ri. Apa dia tidak belajar dari pengalamanmu dulu itu?" "Riana juga keberatan, Om, tapi Om kan tau sendiri gimana sikap keras Mas Daffi.""Hah, kalian berdua itu sama saja. Sama-sama keras kepala. Cocoklah sudah."Om Sahid lalu meminum sajian kopi hitam di depannya. "Daffi juga bilang agar Om waspada sama si Rafif, tapi dia belum bilang apa alasannya," bisik Om Sahid. Walaupun saat ini Rafif sedang diperintahkan Om Sahid untuk mengantar berkas ke pengadilan, Om Sahid bilang tidak ada salahnya waspada. Kita tidak akan pe
"Selamat malam, Ibu Riana." Suara seorang pria yang rasanya tak asing di telinga, tapi siapa? "Malam, dengan siapa saya bicara?""Anda tidak perlu tahu siapa saya. Maksud saya menghubungi anda hanya ingin menyampaikan sesuatu." Terdengar ia sedang menghela napas. "Suamimu dalam bahaya. Kalau anda tidak ingin kehilangan suamimu untuk selamanya, cepat bawa dia pulang." Panggilan terputus. Kucoba untuk menelepon balik tapi tidak tersambung. Sepertinya ia langsung mematikan ponsel setelah selesai bicara denganku tadi. Ah, satu lagi kabar yang membuat gundah mendatangiku. Mas Daffi dalam bahaya? Apa maksudnya? Walaupun mencoba untuk tidak menggubris apa yang dikatakan orang asing tadi, tetap saja jantung ini memberi tanda kalau aku sedang panik. Ponsel yang berada di genggaman kucengkeram kuat. Ingin sekali langsung menelepon Mas Daffi saat itu juga, tapi suamiku bilang kalau dia yang akan menghubungiku. ***"Sayang, makan pakai apa tadi? Maafin ya, harus gangguin kamu tengah malam gini
Pov Author"Daf, sekarang kamu istirahat saja dulu di kamarmu yang lama, ya. Biar nanti Friska bantu kamu," ucap Juwita setibanya menjemput Daffi dari rumah sakit. Ia datang bersama Friska dan segera membawa Daffi ke rumahnya. Tepatnya rumah yang diberikan Asmoro atas namanya. "Iya, Ma. Daffi mau langsung tidur aja."Daffi membiarkan Friska yang dengan sengaja terus menempel padanya agar Juwita dan Friska tidak curiga. Kalau ia menolak terus, mereka akan curiga kalau Daffi hanya berpura-pura amnesia. "Daf, bajunya biar aku bantu masukkan ke dalam lemari, ya."Daffi mengangguk pelan. "Makasi ya, Fris. Maaf jadi ngerepotin kamu," ujar Daffi lalu tersenyum. "Ngerepotin apa, si? Masa sama istri sendiri merasa sungkan gitu? Kamu itu kayak sama orang lain, aja, deh.""Istri apaan? Mimpi kamu, Fris!" batin Daffi. Friska mendekati Daffi lalu mencoba untuk memeluk dengan cara melingkarkan tangannya di leher Daffi. Refleks tubuh Daffi menegang. Ia berpikir bagaimana cara menghindari Friska k
pov Author "Iya, sih. Tapi sikap Daffi yang selalu menolak setiap kali kudekati jadi bikin aku curiga, Tante.""Mungkin aja dia memang lagi butuh waktu sendiri untuk menenangkan dirinya, Fris. Ga ada salahnya kalau kita kasih dia waktu. Mungkin besok-besok ingatannya bisa pulih.""Jangan sampai Daffi inget lagi, dong, Tan. Gimana, sih? Nanti dia balik lagi sama si Riana itu gimana?"Juwita sadar kalau ia tadi salah bicara."Oh iya, jangan-jangan. Tante mau dia di sini aja. Biarpun dia belum berguna apa-apa, tapi setidaknya nanti tante bisa manfaatkan dia untuk membantu mencairkan semua harta warisan Asmoro.""Nah, begitu baru benar, Tan." Friska tersenyum lebar. "Jangan lupa kasih ini sama Daffi. Ga usah banyak-banyak. Setidaknya buat ia merasa enjoy dan keenakan dulu. Doktrin pikirannya tentang 'manfaat' mengenai bubuk putih ini. Nanti kalau dia sudah merasa ketergantungan, baru kita kurangi pelan-pelan. Kita buat dia sakau dan memohon-mohon agar kita mau ngasih dia."Friska tertawa
Pov Rafif 1Rizki Anindya Fifliando. Orang-orang biasa memanggilku Rizki. Namun, saat memasuki Sekolah Menengah Atas, aku merasa panggilan Rafif lebih keren.Ada seorang gadis yang sudah lama menarik perhatianku. Dia gadis yang sangat manis, bahkan menurutku cukup cantik. Selain itu, dia juga pintar dan baik. Beberapa kali dia suka membantuku saat sedang mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan lainnya. Dia berasal dari keluarga sederhana. Yah, samalah sepertiku. Ayahnya hanya seorang pemungut sampah yang kini bekerja pada seorang pengacara yang cukup terkenal di negeri ini. Berkat pengacara itulah, Riana, nama gadis itu, bisa melanjutkan sekolah . Riana termasuk gadis yang suka menyendiri. Setiap jam istirahat, ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada harus pergi ke kantin. Apakah dia sedang tidak punya uang? Entahlah. Ia juga seringkali menolak saat ditawari akan kutraktir. Walaupun aku menyukainya, tapi sampai saat ini aku belum mengatakan apapun pada Riana.
Pov Rafif (2) Sahabatku sendiri, Frans. Sahabat yang sejak ia tergabung dengan komunitas balapan liar mulai mendekati barang haram yang bernama narkoba. Sudah berkali ia kuperingatkan, tapi dengan sikap keras kepalanya malah mengusirku agar tidak lagi ikut campur dalam urusannya. Sejak itu, hubungan kami jadi jauh dan jarang lagi berkomunikasi. Di rumahnya pun, aku jarang bertemu Frans, karena ia lebih sering pulang malam dan menghabiskan waktu bersama teman-teman barunya. Setelah kupikir lagi ga ada salahnya aku membantu Riana untuk memberi sedikit pelajaran pada Frans yang sudah cukup jauh melangkah. Lagi pula aku yakin dengan pengaruh ayahnya, Frans akan bisa dengan mudah dibebaskan. Namun, ternyata aku salah. Keputusanku membantu Riana malah menyebabkan ia mengalami hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Begitu pula dengan Frans. Tepat sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Riana memintaku untuk mengantarnya ke tempat Frans biasa nongkrong bersama teman-temannya. Ia ber