"Selamat malam, Ibu Riana." Suara seorang pria yang rasanya tak asing di telinga, tapi siapa? "Malam, dengan siapa saya bicara?""Anda tidak perlu tahu siapa saya. Maksud saya menghubungi anda hanya ingin menyampaikan sesuatu." Terdengar ia sedang menghela napas. "Suamimu dalam bahaya. Kalau anda tidak ingin kehilangan suamimu untuk selamanya, cepat bawa dia pulang." Panggilan terputus. Kucoba untuk menelepon balik tapi tidak tersambung. Sepertinya ia langsung mematikan ponsel setelah selesai bicara denganku tadi. Ah, satu lagi kabar yang membuat gundah mendatangiku. Mas Daffi dalam bahaya? Apa maksudnya? Walaupun mencoba untuk tidak menggubris apa yang dikatakan orang asing tadi, tetap saja jantung ini memberi tanda kalau aku sedang panik. Ponsel yang berada di genggaman kucengkeram kuat. Ingin sekali langsung menelepon Mas Daffi saat itu juga, tapi suamiku bilang kalau dia yang akan menghubungiku. ***"Sayang, makan pakai apa tadi? Maafin ya, harus gangguin kamu tengah malam gini
Pov Author"Daf, sekarang kamu istirahat saja dulu di kamarmu yang lama, ya. Biar nanti Friska bantu kamu," ucap Juwita setibanya menjemput Daffi dari rumah sakit. Ia datang bersama Friska dan segera membawa Daffi ke rumahnya. Tepatnya rumah yang diberikan Asmoro atas namanya. "Iya, Ma. Daffi mau langsung tidur aja."Daffi membiarkan Friska yang dengan sengaja terus menempel padanya agar Juwita dan Friska tidak curiga. Kalau ia menolak terus, mereka akan curiga kalau Daffi hanya berpura-pura amnesia. "Daf, bajunya biar aku bantu masukkan ke dalam lemari, ya."Daffi mengangguk pelan. "Makasi ya, Fris. Maaf jadi ngerepotin kamu," ujar Daffi lalu tersenyum. "Ngerepotin apa, si? Masa sama istri sendiri merasa sungkan gitu? Kamu itu kayak sama orang lain, aja, deh.""Istri apaan? Mimpi kamu, Fris!" batin Daffi. Friska mendekati Daffi lalu mencoba untuk memeluk dengan cara melingkarkan tangannya di leher Daffi. Refleks tubuh Daffi menegang. Ia berpikir bagaimana cara menghindari Friska k
pov Author "Iya, sih. Tapi sikap Daffi yang selalu menolak setiap kali kudekati jadi bikin aku curiga, Tante.""Mungkin aja dia memang lagi butuh waktu sendiri untuk menenangkan dirinya, Fris. Ga ada salahnya kalau kita kasih dia waktu. Mungkin besok-besok ingatannya bisa pulih.""Jangan sampai Daffi inget lagi, dong, Tan. Gimana, sih? Nanti dia balik lagi sama si Riana itu gimana?"Juwita sadar kalau ia tadi salah bicara."Oh iya, jangan-jangan. Tante mau dia di sini aja. Biarpun dia belum berguna apa-apa, tapi setidaknya nanti tante bisa manfaatkan dia untuk membantu mencairkan semua harta warisan Asmoro.""Nah, begitu baru benar, Tan." Friska tersenyum lebar. "Jangan lupa kasih ini sama Daffi. Ga usah banyak-banyak. Setidaknya buat ia merasa enjoy dan keenakan dulu. Doktrin pikirannya tentang 'manfaat' mengenai bubuk putih ini. Nanti kalau dia sudah merasa ketergantungan, baru kita kurangi pelan-pelan. Kita buat dia sakau dan memohon-mohon agar kita mau ngasih dia."Friska tertawa
Pov Rafif 1Rizki Anindya Fifliando. Orang-orang biasa memanggilku Rizki. Namun, saat memasuki Sekolah Menengah Atas, aku merasa panggilan Rafif lebih keren.Ada seorang gadis yang sudah lama menarik perhatianku. Dia gadis yang sangat manis, bahkan menurutku cukup cantik. Selain itu, dia juga pintar dan baik. Beberapa kali dia suka membantuku saat sedang mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan lainnya. Dia berasal dari keluarga sederhana. Yah, samalah sepertiku. Ayahnya hanya seorang pemungut sampah yang kini bekerja pada seorang pengacara yang cukup terkenal di negeri ini. Berkat pengacara itulah, Riana, nama gadis itu, bisa melanjutkan sekolah . Riana termasuk gadis yang suka menyendiri. Setiap jam istirahat, ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada harus pergi ke kantin. Apakah dia sedang tidak punya uang? Entahlah. Ia juga seringkali menolak saat ditawari akan kutraktir. Walaupun aku menyukainya, tapi sampai saat ini aku belum mengatakan apapun pada Riana.
Pov Rafif (2) Sahabatku sendiri, Frans. Sahabat yang sejak ia tergabung dengan komunitas balapan liar mulai mendekati barang haram yang bernama narkoba. Sudah berkali ia kuperingatkan, tapi dengan sikap keras kepalanya malah mengusirku agar tidak lagi ikut campur dalam urusannya. Sejak itu, hubungan kami jadi jauh dan jarang lagi berkomunikasi. Di rumahnya pun, aku jarang bertemu Frans, karena ia lebih sering pulang malam dan menghabiskan waktu bersama teman-teman barunya. Setelah kupikir lagi ga ada salahnya aku membantu Riana untuk memberi sedikit pelajaran pada Frans yang sudah cukup jauh melangkah. Lagi pula aku yakin dengan pengaruh ayahnya, Frans akan bisa dengan mudah dibebaskan. Namun, ternyata aku salah. Keputusanku membantu Riana malah menyebabkan ia mengalami hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Begitu pula dengan Frans. Tepat sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Riana memintaku untuk mengantarnya ke tempat Frans biasa nongkrong bersama teman-temannya. Ia ber
Pov Rafif (3) Gimana cara gue bayar minumannya? Mau kasih jaminan KTP juga ga bisa. Semua kartu Identitas penting ada di dalam dompet! Sial banget gue hari ini! "Mas, sorry, dompet saya hilang. Saya minta waktu sehari ya buat bayar minuman saya tadi. Saya janji besok malam ke sini lagi," pintaku pada pemuda yang kutaksir berusia dua puluhan tahun itu. Ia sedang sibuk meracik bahan minuman untuk disajikan kepada tamu selanjutnya. "Ga bisa, Mas. Harus dibayar sekarang.""Tapi dompet saya hilang, Mas. Semua kartu mulai dari KTP, ATM semua juga ikut hilang.""Itu bukan urusan saya, Mas."Kumendengkus kasar seraya berpikir bagaimana cara agar aku bisa mengganti uang minuman tadi dan segera pergi dari sini."Kalau saya ganti dengan cuci piring aja, gimana?" tawarku. Ia menggeleng. "Nanti saya yang kena tegur bos.""Masukin ke tagihan gue, Boy," ujar gadis yang tadi mengajakku berkenalan. Ia bicara pada sang bartender. "Ga usah, Mba. Makasi."Ia kembali tersenyum. "Kalau lo ga bisa bayar
"Hallo!" jawab suara seseorang yang kukenali sebagai suara Friska di ujung telepon. "Friska? Kok, Lo, yang jawab?"Sambungan seketika langsung dimatikan. Aneh. Sebenarnya ada apa lagi ini? Degup jantung yang kembali melaju cepat seakan menambah keyakinan bahwa Mas Daffi benar-benar sedang dalam keadaan tidak baik. Tanpa berpikir lama, aku berencana segera keluar rumah dan menuju rumah Mama Juwita tempat Mas Daffi berada saat itu. Tak lupa sebelumnya aku pamit dan mencium kening Liana yang sudah terlelap. Ia menggeliat pelan. Namun, matanya tetap terpejam. "Ibu pergi dulu, ya, Nak. Liana hati-hati, ya, di rumah sama Bik Sumi. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali memandangi wajahnya lebih lama lagi, tapi karena waktu sangat terbatas membuatku tidak bisa melakukannya. "Lho, Bu? Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Sumi yang masih asik menonton televisi. "Apa ga bisa ditunda sampai besok pagi, Bu?""Saya ada urusan penting sebentar, Bik. Ga bisa ditunda. Oh iya, Bik, titip Lia
Hanya dalam waktu kurang lebih dua jam aku tiba di rumah Mama Juwita. Sengaja kuminta supir untuk berhenti lebih menepi ke arah rumah yang berada di seberangnya. Melalui pagar besi hitamnya yang cukup berjarak, dari sini aku bisa melihat kalau tidak ada siapapun yang terlihat bertamu. Suasananya tampak biasa. Namun, mobil Mama Juwita masih terlihat di garasi. Apa mereka ada di dalam? Atau sedang pergi tapi menggunakan mobil Friska? "Maaf, Bu. Kita sudah sampai."Suara supir taksi online yang kunaiki menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya, Pak, maaf. Ini ongkosnya." Setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna merah aku segera turun. Untungnya di sepanjang pinggir jalan dekat rumah Mama Juwita banyak berdiri pohon besar. Sehingga memudahkanku untuk menyembunyikan tubuh. Tak lama kemudian mobil jeep hijau lumut berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Dari dalamnya keluar seseorang yang menggunakan jaket hitam. Ia menghampiriku yang masih berdiri di posisi semula. Sedangkan satu orang pe