Pov Rafif 1Rizki Anindya Fifliando. Orang-orang biasa memanggilku Rizki. Namun, saat memasuki Sekolah Menengah Atas, aku merasa panggilan Rafif lebih keren.Ada seorang gadis yang sudah lama menarik perhatianku. Dia gadis yang sangat manis, bahkan menurutku cukup cantik. Selain itu, dia juga pintar dan baik. Beberapa kali dia suka membantuku saat sedang mengalami kesulitan dalam hal pelajaran dan lainnya. Dia berasal dari keluarga sederhana. Yah, samalah sepertiku. Ayahnya hanya seorang pemungut sampah yang kini bekerja pada seorang pengacara yang cukup terkenal di negeri ini. Berkat pengacara itulah, Riana, nama gadis itu, bisa melanjutkan sekolah . Riana termasuk gadis yang suka menyendiri. Setiap jam istirahat, ia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada harus pergi ke kantin. Apakah dia sedang tidak punya uang? Entahlah. Ia juga seringkali menolak saat ditawari akan kutraktir. Walaupun aku menyukainya, tapi sampai saat ini aku belum mengatakan apapun pada Riana.
Pov Rafif (2) Sahabatku sendiri, Frans. Sahabat yang sejak ia tergabung dengan komunitas balapan liar mulai mendekati barang haram yang bernama narkoba. Sudah berkali ia kuperingatkan, tapi dengan sikap keras kepalanya malah mengusirku agar tidak lagi ikut campur dalam urusannya. Sejak itu, hubungan kami jadi jauh dan jarang lagi berkomunikasi. Di rumahnya pun, aku jarang bertemu Frans, karena ia lebih sering pulang malam dan menghabiskan waktu bersama teman-teman barunya. Setelah kupikir lagi ga ada salahnya aku membantu Riana untuk memberi sedikit pelajaran pada Frans yang sudah cukup jauh melangkah. Lagi pula aku yakin dengan pengaruh ayahnya, Frans akan bisa dengan mudah dibebaskan. Namun, ternyata aku salah. Keputusanku membantu Riana malah menyebabkan ia mengalami hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Begitu pula dengan Frans. Tepat sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Riana memintaku untuk mengantarnya ke tempat Frans biasa nongkrong bersama teman-temannya. Ia ber
Pov Rafif (3) Gimana cara gue bayar minumannya? Mau kasih jaminan KTP juga ga bisa. Semua kartu Identitas penting ada di dalam dompet! Sial banget gue hari ini! "Mas, sorry, dompet saya hilang. Saya minta waktu sehari ya buat bayar minuman saya tadi. Saya janji besok malam ke sini lagi," pintaku pada pemuda yang kutaksir berusia dua puluhan tahun itu. Ia sedang sibuk meracik bahan minuman untuk disajikan kepada tamu selanjutnya. "Ga bisa, Mas. Harus dibayar sekarang.""Tapi dompet saya hilang, Mas. Semua kartu mulai dari KTP, ATM semua juga ikut hilang.""Itu bukan urusan saya, Mas."Kumendengkus kasar seraya berpikir bagaimana cara agar aku bisa mengganti uang minuman tadi dan segera pergi dari sini."Kalau saya ganti dengan cuci piring aja, gimana?" tawarku. Ia menggeleng. "Nanti saya yang kena tegur bos.""Masukin ke tagihan gue, Boy," ujar gadis yang tadi mengajakku berkenalan. Ia bicara pada sang bartender. "Ga usah, Mba. Makasi."Ia kembali tersenyum. "Kalau lo ga bisa bayar
"Hallo!" jawab suara seseorang yang kukenali sebagai suara Friska di ujung telepon. "Friska? Kok, Lo, yang jawab?"Sambungan seketika langsung dimatikan. Aneh. Sebenarnya ada apa lagi ini? Degup jantung yang kembali melaju cepat seakan menambah keyakinan bahwa Mas Daffi benar-benar sedang dalam keadaan tidak baik. Tanpa berpikir lama, aku berencana segera keluar rumah dan menuju rumah Mama Juwita tempat Mas Daffi berada saat itu. Tak lupa sebelumnya aku pamit dan mencium kening Liana yang sudah terlelap. Ia menggeliat pelan. Namun, matanya tetap terpejam. "Ibu pergi dulu, ya, Nak. Liana hati-hati, ya, di rumah sama Bik Sumi. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali memandangi wajahnya lebih lama lagi, tapi karena waktu sangat terbatas membuatku tidak bisa melakukannya. "Lho, Bu? Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Bik Sumi yang masih asik menonton televisi. "Apa ga bisa ditunda sampai besok pagi, Bu?""Saya ada urusan penting sebentar, Bik. Ga bisa ditunda. Oh iya, Bik, titip Lia
Hanya dalam waktu kurang lebih dua jam aku tiba di rumah Mama Juwita. Sengaja kuminta supir untuk berhenti lebih menepi ke arah rumah yang berada di seberangnya. Melalui pagar besi hitamnya yang cukup berjarak, dari sini aku bisa melihat kalau tidak ada siapapun yang terlihat bertamu. Suasananya tampak biasa. Namun, mobil Mama Juwita masih terlihat di garasi. Apa mereka ada di dalam? Atau sedang pergi tapi menggunakan mobil Friska? "Maaf, Bu. Kita sudah sampai."Suara supir taksi online yang kunaiki menyadarkanku dari lamunan. "Eh iya, Pak, maaf. Ini ongkosnya." Setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna merah aku segera turun. Untungnya di sepanjang pinggir jalan dekat rumah Mama Juwita banyak berdiri pohon besar. Sehingga memudahkanku untuk menyembunyikan tubuh. Tak lama kemudian mobil jeep hijau lumut berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Dari dalamnya keluar seseorang yang menggunakan jaket hitam. Ia menghampiriku yang masih berdiri di posisi semula. Sedangkan satu orang pe
Mama Juwita menatapku nanar. Napasnya naik turun cukup cepat. Nampaknya ia sedang berusaha menahan emosi yang mulai datang. "Kamu, jangan sembarangan ngomong, ya! Perbuatan kriminal apa yang kamu maksud?" Friska ikut bicara. "Jangan pura-pura gak tau, Fris! Kamu sebaiknya hati-hati. Nanti setelah menemukan cukup bukti, aku sendiri yang akan menjebloskanmu ke penjara." Wajah putih Friska mulai memerah. Sepertinya kata-kataku tadi berhasil memancing amarahnya. "Buktikan! Buktikan aja kalau kamu bisa. Tapi sebaliknya, kalau kamu ga bisa ngasih bukti atas ucapanmu tadi. Kamu akan aku tuntut balik!" ancam wanita yang malam ini kembali tampil memukau dengan dress hijau lumutnya. "Pak Gitooo! Siapa yang izinkan wanita kampungan ini masuk? Kan, sudah saya perintahkan kalau dia dilarang keras masuk ke rumah ini! Kamu berani melanggar perintah saya? Mau saya pecat, hah!"Pak Gito yang mendengar teriakan Mama Juwita tergopoh-gopoh masuk. "Maafkan saya, Nyonya. Tadinya saya juga tidak mengizin
Tanpa menunggu lama segera kutelepon nomor itu. Tersambung tapi tidak diangkat. Mungkin ia belum sempat mematikan ponselnya. Kucoba lagi beberapa kali tapi hasilnya tetap sama. ***Tepat pukul tujuh malam aku sudah bersiap untuk kembali keluar rumah. Alasanku pada Bik Sumi masih sama seperti kemarin. Begitu pun pada Liana yang mengajukan banyak sekali pertanyaan. Ia juga mengeluh karena malam ini ia kembali harus makan malam berdua saja dengan Bik Sumi. Untung saja ia bisa mengerti setelah kuyakinkan kalau aku hanya akan pergi sebentar. Maafin ibu, Sayang. Ibu hanya ingin menolong papamu.Kali ini kuputuskan untuk pergi seorang diri menuju lokasi, tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Persiapan yang kulakukan juga lebih matang. Alat perekam dan kamera super mini sudah berada di genggaman. Restoran Malabar yang dimaksud oleh si pengirim pesan malam ini tampak ramai. Banyak orang datang berkunjung di jam makan malam seperti sekarang. Aku memesan meja di sudut resto
"Ri, Om dapat informasi dari Rafif kalau kau datang ke sana untuk mengintai Daffi. Iya?"Rafif? Refleks mataku melihat ke arahnya yang ternyata juga tengah memandang ke arahku. Untunglah Frans sepertinya tidak mengenaliku yang tengah hamil besar seperti ini. Terlebih penampilanku yang sudah jauh berbeda dibanding dulu. Tiba-tiba jantungku melaju cepat. Udara di sekitarku terasa menipis. Jadi sejak tadi Rafif tau kalau aku ada di sini? Tapi, kenapa dia tidak menghampiriku seperti biasa? Kenapa dia malah menghubungi Om Sahid?"Hallo!" Om Sahid menyadarkanku dari lamunan. "Iya, Om. Riana ...." Ah, panggilan terputus. Kucoba lagi untuk menghubungi Om Sahid, tapi pandangan mataku menangkap sosok Mas Daffi yang sudah keluar dari toilet dan kini tengah membayar makanannya. Fokusku terbagi, antara ingin menjelaskan pada Om Sahid, memperhatikan Mas Daffi serta dua orang di sisi barat yang kucurigai anggota BNN, dan menghubungi Rafif untuk meminta penjelasannya. Kulihat Mas Daffi dan pria yan