"Oke, Sayang. Aku akan urus perceraianku secepatnya," jawab Daffi pada akhirnya. Friska langsung tersenyum puas. ***"Liana, kok, belum bobo?" tanya Daffi pada putrinya sepulangnya ia dari bekerja, dia pergi ke kamar putrinya untuk melihat keadaan Liana. Rupanya anak itu masih belum tertidur padahal ini sudah cukup larut. "Kenapa? Lagi ada yang dipikirin?"Daffi mengusap lembut kepala Liana. Liana tidak langsung menjawab, kepalanya tertunduk. "Kira-kira ibu kemana ya, Pa?" Daffi sedikit memicingkan matanya, "Kenapa? Kok tumben nanyain ibu? Liana mau ketemu ibu? Bukannya Liana sendiri yang mau ibu pergi?""Iya sih, soalnya, kan, malu. Muka ibu nyeremin," jawabnya polos. "Liana cuma belum biasa aja kalau ibu ga ada. Oh ya, Pa, tadi Tante Friska bilang, dia bisa jadi mamanya Liana kalau ibu udah pergi, apa sekarang Tante Friska udah bisa jadi mamanya Liana, Pa?" "Kamu yakin mau Tante Friska jadi pengganti ibu?" "Liana sayang sama Tante Friska, Pa. Liana pengen banget punya mama kayak
Sepulangnya dari bekerja, Daffi mengunjungi kantor pengacara keluarga mereka, Sahid Anwar, yang juga merupakan sahabat baik Asmoro. Ia sudah menyatakan segala maksud dan tujuannya pada Sahid tentang keinginannya untuk menceraikan Riana yang sudah pergi tanpa kabar berita."Jadi kamu ingin menceraikan Riana karena dia pergi dari rumah?" tanya Sahid yang sudah menganggap Daffi seperti anaknya sendiri. Daffi hanya menunduk diam. Sahid memperhatikan pemuda itu dengan seksama lalu dia menghela napas berat. "Om tanya sekali lagi, kamu yakin ingin menceraikan Riana?"Akhirnya Daffi mengangguk ragu. Membuat Sahid menggeleng heran karena jelas sekali jika anak muda di depannya itu tidak yakin dengan keputusannya sendiri."Kamu tau kan syarat dari Asmoro jika mau mendapatkan seluruh hak waris atas namamu?""Iya, Om, tapi kan Riana yang pergi meninggalkanku. Bukan salahku, dong. Lagi pula kata Riana, dia yang akan menggugat cerai duluan, bukan aku.""Daffi, Daffi." Sahid hanya geleng-geleng ke
Hari itu Juwita memaksa Daffi untuk datang ke rumah Friska. Ia sengaja mengajak putra dan cucunya itu ke sana untuk menekan Daffi agar mau segera meresmikan hubungan putra suaminya itu dengan Friska. Indra dan Santi, kedua orang tua Friska bersikap sangat ramah pada Juwita karena memang mereka sudah saling mengenal cukup lama. Senyum di wajah Juwita tidak pernah pudar. Ia semakin yakin jika Friska memang wanita yang tepat untuk Daffi. Nampak pada sikap Santi dan Indra yang begitu menyayangi Liana seperti cucu mereka sendiri. "Jadi kapan rencana kamu mau melamar anak saya, Daf?" tanya Indra.Daffi yang ditanya mendadak salah tingkah. Ia bingung harus menjawab apa. Ia tidak menyangka bahwa kunjungannya ke sini akan langsung ditanya mengenai waktu lamarannya kepada Friska. "Semoga secepatnya ya, Om. Sekarang saya masih mengurus proses perceraian dengan Riana," jawab Daffi sekenanya. Dalam hatinya ia sebenarnya tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat itu. Beberapa hari kemarin ia
Liana yang sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi, awalnya bermaksud ingin mengejutkan Friska dan Santi saat melihat mereka sedang berada di ruang makan, tapi sebelum Liana mendekati mereka, dia tidak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan anak itu.Wajah Liana sudah terlihat pucat dan basah oleh air mata, dia berlari ke depan dan langsung menghambur ke pelukan Daffi. Liana pikir, selama ini Friska benar-benar sayang padanya, tapi ternyata dia salah. Friska baik hanya karena ingin segera menikah dengan papanya. Bahkan dia juga sudah berencana untuk mengirim Liana ke asrama, membuatnya tinggal terpisah dari Daffi. Liana juga tidak menyangka kalau saat itu Friska sedang hamil. "Liana, Liana kenapa sayang? Kok, tiba-tiba nangis begini? Perutnya masih sakit?" tanya Daffi lembut sambil mengucap pelan rambut anak perempuannya itu. Bukannya menjawab, Liana malah semakin membenamkan kepalanya ke pelukan Daffi hingga membuat lelaki itu bingung. "Liana kenapa, Sayang?" tanya Juwita yang ikut
Selamat membaca. Semoga suka. ***"Tolonglah aku, Sahid, aku ga tau lagi harus minta tolong kepada siapa selain sama kamu. Anakku hampir mati."Lelaki paruh baya itu terlihat begitu rapuh, wajahnya pias dan gurat halus di dahinya semakin terlihat jelas. Ia berjalan mondar-mandir hingga sol sepatunya yang beradu dengan lantai keramik membuat sebuah irama yang teratur. "Tenang lah, Asmoro. Aku akan melakukan usaha semaksimal mungkin untuk menolongmu. Sekarang kita harus menemukan saksi utama yang Kahfi sebutkan tadi." Lelaki yang dipanggil Sahid itu berusaha menenangkan sosok pria di hadapan. Cerutu di tangan pengacara berusia 30 tahunan itu sudah hampir habis, tapi ia masih terus berusaha membuat bulatan asap dari mulut. "Iya tapi gimana? Tadi, kan, kau dengar sendiri Daffi bilang kalau temannya yang tau kenyataan sebenarnya itu sudah menghilang. Daffi udah ga ada harapan lagi, Hid!""Hei, kau itu kayak Tuhan saja bicara begitu. Harapan itu akan selalu ada selagi kita masih punya Tuh
"Riana, kenapa, lo? Kayak lagi mikir negara, lecek banget tu, muka." Rafif teman sekolahku, menghampiri saat aku sedang duduk sendiri di perpustakaan siang itu. "Lo ga ke kantin?"Aku menggeleng pelan. "Ga laper.""Ngantin, yuk, gue traktir.""Ga usah, Fif, makasi. Gue beneran ga laper.""Ya udah, gue juga ga laper, deh."Bukannya pergi, Rafif malah ikut duduk di sebelahku. "Kasian ni bocah, baru tujuh belas tahun udah kena vonis mati."Mataku langsung mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca ke arah surat kabar yang Rafif pegang. Lalu merebutnya dari tangan Rafif. Berita yang menampilkan sebuah foto tentang kasus narkoba seorang anak pengusaha ternama bernama Asmoro Wicaksana. Ini, kan, orang yang kemarin datang ke kantor Om Sahid. "Yeh, main rebut aja, belum juga beres baca.""Dia ini anak temennya Om Sahid. Kasian ya? Padahal dia masih seumuran kita.""Yoi, tapi yang gue denger, si, dia dijebak, Ri.""Kok, lo, tau?""Gue ini kan pergaulannya luas. Jadi ya wajarlah kalau
"Parah tuh, si, Dito, kebanyakan dia makenya ampe oleng gitu motornya," pekik salah satu pemuda berjaket hitam di tengah bisingnya suasana balapan. Hosh. Untung saja aku salah sangka. Dia ternyata mendekati ketiga temannya yang sudah berada di arena balap lebih dulumIa sedikit berteriak mungkin karena tidak mengira kalau ada orang lain di dekat mereka. "Ah, biarin aja. Noh, buktinya dia masih bisa unggul di depan. Yah, kalau lagi apes, palingan dia mati," jawab pemuda bersuara berat."Yoih, setidaknya dia mau beli punya gue, ga sok suci macam si Daffi itu. Sukurin tu anak, gue bikin m**pus!" Kalimat pemuda itu disambut tawa oleh pemuda lain yang berdiri di sekitar mereka. Daffi? Daffi siapa? Apa yang mereka maksud itu anak temannya Om Sahid? Dan barang yang mereka maksud tadi apakah itu narkoba? Aku terus menajamkan telinga sambil terus melihat ke arah balapan yang semakin malam semakin berlangsung ramai. "Malam ini, lo, bawa berapa? Gue minta secuil, ya, ntar." Suara berat itu t
"Kenapa ga gabung ke sana aja?" Ia adalah pemuda yang semalam juga ada di lokasi balapan. Suaranya mendadak mengagetkanku hingga membuat sebagian cokelat dalam mulut tersembur ke luar. Entah kapan dia tiba-tiba sudah ada di belakangku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berteriak. "Frans, ada yang mau gabung, ni," pekiknya sambil menunjukku. Pemuda yang bernama Frans mendadak bangkit dan berjalan ke arahku. Dia memindaiku dengan sorot mata dinginnya. "Cantik juga, lo nemu di mana?""Dia dari tadi ngeliatin ke arah lo mulu."Aku berusaha tersenyum seraya meredam degup jantung yang semakin bertalu. "Ha-hai," ucapku sambil melambaikan tangan ke arah Frans. Dia langsung duduk di depanku, masih sambil menatapku lekat. "Kayaknya gue pernah ngeliat lo, tapi di mana, ya?""Alah, Frans. Basi, tau! Setiap baru ketemu cewek kalimat lo begitu mulu."Frans tertawa. "Heh, kenapa jam segini lo baru dateng? Abis ngapain, lo?" tanya Frans pada temannya yang masih berdiri di belakangku. "Biasa lah