Minggu-minggu ini aku disibukkan dengan urusan perceraian. Mulai dari dipanggil atasan, mediasi sampai ke BKD. Semua aku jalani dengan senang karena aku ingin segera bercerai dengan Mas Fandi. Ingin memulai hidup sendiri dan mendampingi anak-anak sampai mereka mandiri.
Tapi memang proses ini memakan waktu yang sangat lama. Harus siap mental. Pada saat mediasi, Mas Fandi tidak mau bercerai. Jadi berjalan lumayan alot. Tapi aku sodorkan bukti-bukti perbuatannya, Mas Fandi tidak berkutik sama sekali.
Sudah dua hari aku tidak ke rumah Ibu. Ibu masih tergolek lemah di rumah. Beliau tetap tidak mau di bawa ke rumah sakit. Tiba-tiba aku kangen dengan Ibu. Besok pagi sebelum ke kantor aku mau ke rumah ibu, sambil membawakan makanan kesukaan Ibu. Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku.
Drtt...drtt hpku berbunyi, kulihat jam menunjukkan angka sebelas. Perasaan aku sudah lama tidurnya tapi kok masih jam sebelas juga. Wajar saja, s
Pagi ini rumah Ibu tampak sangat ramai, tetangga, saudara dan handai taulan berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Ibu dikenal sebagai orang yang baik dan ramah pada tetangga. Tetangga ikut membantu segala sesuatu disini. Tetangga adalah saudara terdekat kita.Beberapa tetangga menceritakan kepadaku kebaikan-kebaikan yang sering Ibu lakukan. Aku menjadi sangat terharu, betapa Ibu sangat baik dengan semua orang. Ibu, aku akan selalu mengenang kebaikan Ibu.Drtt… ponselku berbunyi."Mbak, aku sudah diluar bersama Bapak dan Ibu," Terdengar suara Resti di telpon.Aku berjalan keluar untuk menemui mereka dan mengajak mereka masuk ke rumah untuk bertemu dengan Mas Hendra dan yang lainnya."Turut berduka cita ya, Nak Hendra. Ibumu orang baik, insyaallah mendapatkan surga," kata ibuku."Iya Bu, mohon dimaafkan segala salah dan khilaf Ibu saya," jaw
"Kamu jangan pulang dulu, Nis, ada yang ingin kami bicarakan!" kata Mas Hendra selesai acara yasinan hari terakhir di rumah Ibu. Setiap malam aku dan Anggi datang kesini, untuk ikut mendoakan Ibu. Sekalian berkumpul bersama keluarga besar Mas Fandi. Karena setelah ini, belum tentu kami bisa berkumpul seperti ini.Aku tidak masalah bertemu dengan Mas Fandi, tapi aku malas kalau bertemu dengan Winda. Bukannya aku cemburu, sudah tidak ada lagi rasa cemburuku. Tapi aku muak dengan sikapnya yang seolah-olah ia paling berhak atas Mas Fandi. Ternyata ada perempuan seperti Winda, muka tembok dan urat malunya sudah putus.Semua sudah berkumpul, anak-anak Ibu beserta pasangannya. Aku masih menjadi istri sah Mas Fandi, jadi aku diikutsertakan. Winda yang dari tadi disuruh pulang sama Mas Hendra, tetap ngeyel nggak mau pulang. Ia ingin ikut musyawarah karena merasa calon istri Mas Fandi. Akhirnya Mas Hendra mengalah, percuma berdebat dengan orang
Hari ini aku dan Anggi berkunjung ke rumah Uti Ros. Setelah hampir satu Minggu disibukkan dengan takziah di tempat Ibu. Aku sudah menyiapkan makanan yang akan kami bawa ke rumah Uti Ros.Aku dan Anggi melangkah menuju rumah Uti Ros yang tampak sepi. Semoga saja beliau ada di rumah."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Terdengar suara khas Uti Ros menjawab salamku. Kemudian terdengar suara pintu rumah dibuka."Eh Mbak Anis, ayo masuk! Ini yang namanya Anggi ya?" kata uti Ros."Terima kasih Uti Ros, iya ini Anggi. Ini ada sedikit makanan untuk uti Ros," kataku sambil menyodorkan makanan yang aku bawa."Waduh kok repot-repot sih. Mbak Anis main kesini saja Uti udah senang kok! Silahkan duduk," kata Uti Ros sambil menerima bingkisan dariku."Sebenarnya sudah lama pengen main ke sini, tapi kok ya belum sempat-sempat. Mak
Drtt...drttHpku berbunyi, ternyata Anggi yang menelpon. Aku masih berada di kantor, disibukkan dengan tumpukan kertas yang harus segera diselesaikan"Assalamualaikum, Ma!" Terdengar suara Anggi di seberang."Waalaikumsalam," jawabku."Ma, Anggi pulang sekolah mau pergi ke mall!" kata Anggi."Sama siapa?" tanyaku."Sama Key!""Key siapa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi, mengingat-ingat teman Anggi yang bernama Key. Kayaknya nggak ada. Tapi aku pernah mendengar nama itu, dimana ya?"Keyla anak Pak Rayhan itu lho, Ma?" sahut Anggi. Oalah, ternyata aku sudah tua, pelupa. Hihi"Emangnya kalian berteman?" tanyaku dengan heran."Ih Mama, ya iya lah! Kalau nggak berteman nggak mungkin Anggi mau jalan sama Key.""Kok Mama nggak tahu ya kalau Anggi b
Aku masuk ke dalam mobil, menumpahkan semua perasaanku dengan menangis. Entahlah ini tangis sedih atau bahagia. Aku masih berada di pelataran parkir pengadilan agama. Hari ini selesai putusan sidang yang menyatakan bahwa aku memiliki status baru yaitu janda.Status yang sering dipandang sebelah mata, apalagi karena perceraian. Tapi aku sudah siap mental.Aku sengaja izin tidak masuk ke kantor karena menghadiri sidang putusan perceraian. Hasilnya sesuai dengan yang aku harapkan.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju ke rumah. Aku ingin istirahat dengan bermalas-malasan. Sampai dirumah aku segera merebahkan diri di tempat tidur. Dengan pikiran yang berkelana. Apakah aku bahagia dengan semua ini? Entahlah, yang jelas sekarang aku akan menjalani semua ini de
"Cie... cie...yang punya status baru!" bisik Sandra padaku ketika aku baru keluar dari mobil."Stt! Jangan keras-keras, nanti dikira orang ngasih pengumuman," kataku sambil berjalan masuk ke kantor."Pengumuman ada lowongan ya?" ledek Sandra."Lowongan?" tanyaku heran."Lowongan posisi jadi suami, ha..ha!"Aku dan Sandra tertawa. Bahagia rasanya bisa tertawa lepas seperti ini."Sepertinya ada yang bahagia. Pagi-pagi tertawanya renyah sekali!" Ada suara yang mengagetkan kami.Ternyata suara Pak Rayhan yang berjalan di belakang kami."Eh Pak Rayhan. Iya Pak, Anis bahagia punya status baru!" kata Sandra.Aku mendelik ke arah Sandra, Sandra pura-pura tidak melihat."Oh, selamat ya? Semoga Bu Anis bahagia!" kata Pak Rayhan basa-basi. Padahal ia sudah tahu dari kemarin. 
Keluar dari ruangan Pak Rayhan, Sandra sudah melirikku kemudian mendekatiku. Aku duduk di kursiku dan Sandra menarik kursi untuk duduk di depanku. Aku pura-pura tidak tahu apa maksudnya, aku pun melanjutkan pekerjaanku."Kayaknya aku nggak dianggap teman lagi, deh," gumam Sandra pura-pura kesal."Memangnya kenapa?" tanyaku."Ketika sedih, aku selalu menjadi orang yang pertama dikasih tahu. Giliran bahagia, tidak mau berbagi cerita.""Cie…cie… marah ya? Apa yang ingin kamu tahu?" godaku."Kamu dengan Pak Rayhan," bisik Sandra."Aku nggak ada apa-apa dengannya.""Terus tadi ngapain saja di ruangannya berdua? Apa hanya saling memandang?""Hanya makan dan ngobrol.""Bener?" tanya Sandra seolah-olah meragukan ucapanku."Memangnya mau ngapain? Ini kan di kantor."
Bangun tidur, kepalaku terasa sangat berat. Mungkin efek aku menangis tadi malam. Kulihat jam menunjukkan pukul empat pagi. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Aku merasa sangat haus dan ingin minum, kulihat Anggi sedang ada di dapur minum air putih."Kok sudah bangun, Nggi?" tanyaku."Tadi kebelet, Ma. Makanya terbangun kemudian merasa haus.""Ooo! Anggi, kok tadi malam Mama ingin sekali pulang ke rumah Eyang. Kangen sekali," kataku sambil duduk di kursi."Kenapa kita nggak kesana saja, Ma? Sudah lama tidak ke rumah Eyang. Berangkat sekarang saja, yuk?" ajak Anggi."Kamu kan harus sekolah?""Nggak apa-apa, Ma. Mama yang mintain izin dengan wali kelas Anggi. Izin dua hari saja, Jumat dan Sabtu. Hari Minggu kita pulang. Oke, Ma?" rayu Anggi."Oke, deh. Ayo kita siap-siap." Aku berkata penuh dengan semang