"Bagaimanapun juga kamu harus memberitahu Habib masalah ini, karena ia tetap Ayah dari anak ini. Perihal kalian ingin rujuk atau tidak itu terserah kalian," ucap Abi memberi nasihat, beliau memang selalu bijak dalam mengambil keputusan dan selalu mengesampingkan egonya."Iya, apa yang di bilang Abi benar. Bagaimana kalau kita ke rumah Habib sekarang, bicarakan masalah ini baik-baik," celetuk Umi menyambung ucapan Abi. Sementara aku hanya bisa menganggukan kepala pelan sembari mengulas senyuman tipis."Bang Habib saja tidak ada datang kesini dengan itikad rujuk, rasanya sangat berat ingin memberitahu masalah ini," gumamku dalam hati, tetapi aku hanya bisa menahan kata-kata itu di ujung lidah, karena aku tidak mau membantah kata-kata kedua orang tua angkatku. "Baiklah Umi dan Abi, ayo kita kerumah Bang Habib untuk membicarakan masalah ini." Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk mengajak mereka, sementara Aisyah terus menatapku sambil mengacungkan ibu jarinya ke udara untuk membe
Kami memutar arah untuk kembali ke rumah, masih terngiang-ngiang di kepalaku ucapan Bu Nurmi yang terasa sangat menyakitkan. Bagaimana bisa Bang Habib setega ini padaku, padahal belum lama ini ia berusaha meyakinkan ku bahwa ia sudah tidak ada hubungan dengan wanita itu, tetapi mengapa sekarang aku malah mendapatkan kabar buruk yang sangat menyayat hati. Inikah caramu Bang Habib untuk melukaiku, segitu niatnya dirimu memberiku harapan lalu menjatuhkan ku ke jurang. Arghhhhh, rasanya aku ingin berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan rasa sakit ini.Keesokan harinya aku mengurung diri dikamar, tidak ada hasrat untuk keluar dan makan. Hari ini rasanya aku hanya ingin duduk di balkon rumah sembari menatap langit yang cerah. Berkali-kali Aisyah mengetuk pintu kamar, ia membujukku untuk keluar, tetapi aku enggan rasanya untuk membuka pintu. Aku terus saja memintanya untuk tidak menggangguku hari ini, tetapi ia sangat keras kepala dan terus saja membujukku. Alhasil aku hanya bisa mengabaika
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN…Kini kandunganku genap tujuh bulan, dalam adat jawa ada istilah tingkepan atau nujuh bulan untuk anak pertama. Aisyah adalah orang yang paling antusias menyambut acara tujuh bulanan anakku, kami banyak berbelanja kebutuhan yang diperlukan untuk membuat nasi urap yang akan dibagikan kepada para tetangga. Dengan perut yang mulai membesar aku berbelanja di pasar bersama Aisyah, walau sudah mulai susah berjalan, aku tetap saja berusaha untuk kuat berbelanja dengan dituntun oleh Aisyah."Bang kelapanya sepuluh gandeng diparut ya," pintaku pada langganan kelapa di pasar yang memang menjadi langgananku."Banyak banget Neng? Pasti mau buat nasi urap untuk tujuh bulanan ya?" tanya Abang tukang kelapa dengan ramah."Hehehe, iya Bang.""Wah, nanti Abang di kasih nasi urapnya ya Neng," candanya sembari cengengesan."Iya, tenang aja Bang. Nanti dianterin nasi urapnya kerumah Abang kalau uda mateng, tapi kelapanya kasih diskon ya," ucapku membalas candaannya."Tenang aja, A
Mataku melotot menatap bocah itu, tetapi ia malah tersenyum manis mengisyaratkan semuanya akan baik-baik saja. Bocah tengil itu memang suka sekali menggangguku selama ia tinggal disini, entah memang tingkahnya yang usil terhadap semua orang, atau hanya usil terhadapku saja. Aku pun tidak mengerti dengan sikapnya yang sulit ditebak, ia sering sok bijak dalam penuturannya, tetapi sikap kekanak-kanakannya tetap ada seperti bocah SMA pada umumnya."Hahaha, kamu yakin Shel mau menikah dengan bocah ingusan seperti ini?" tanya Bang Habib bergelak tawa merendahkan bocah itu, memang benar kehadiran bocah itu menjatuhkan harga diri yang sudah kujunjung tinggi."Apakah umur menjamin rumah tangga akan harmonis ya Om? Buktinya Mbak Sheila tidak bahagia menjalani rumah tangga dengan Om, dan kandas begitu saja. Saya memang masih bocah, tetapi saya memiliki sikap yang jauh lebih dewasa daripada Om yang sudah tua!" balas bocah tersebut."Kamu panggil saya Om! Kamu kira saya setua itu, lagian gak usah
POV HABIB…Sepanjang perjalanan pulang aku melamun penuh tanda tanya, sejak kapan Sheila hamil? Apakah hasil perbuatanku yang terakhir itu? Apakah aku yang tulus menginginkan nya baru bisa membuatnya hamil, tapi lalu mengapa sampai saat ini Fanny belum hamil padahal selama ini selalu aku yang meminta untuk seperti itu, dan bahkan ia juga sering menolakku dengan alasan lelah.Aku benar-benar menyesal sekarang, kalau taunya jadi begini aku pasti akan minta rujuk oleh Sheila daripada menikahi Fanny. Aku menghela napas dengan kasar, rasanya hidupku benar-benar penuh penyesalan."Kamu kenapa Mas?" tanya Fanny di boncengan."Gak apa-apa," sahutku."Gak usah dipikiran banget deh Mas, nikmati aja dulu masa-masa kita berdua. Lagipula punya anak itu repot, aku belum bisa ngurusnya.""Mulutmu dijaga ya Fan, aku menikahimu karena ingin punya anak. Sejak dulu aku memang menginginkan anak, jangan-jangan kamu belum hamil juga ini gara-gara ucapanmu!" bentakku kesal."Apaan sih Mas, memang belum dika
POV Orang Ketiga"Aku turut prihatin dengan masalah yang menimpa keluargamu," tutur Sheila kepada Darwis sembari menundukkan kepalanya. Sementara Darwis sendiri tampak canggung dan diam seketika saat mendengar ucapan Sheila."Emm maaf kalau aku salah bicara," ucap Sheila lagi."Gapapa kok Mbak, aku malah senang liat Mbak perhatian kepadaku," goda Darwis cengengesan."Apaan sih kamu!" seru Sheila dengan ketus.Suasana tampak canggung beberapa menit, tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua tampak dari gelagat Sheila yang memainkan jari-jarinya."Mbak tau dari mana masalah keluargaku?" tanya Darwis memecahkan keheningan."Oh itu aku tau dari cerita Umi, masalah kakakmu yang memiliki nasib sepertiku. Kamu tidak perlu khawatir ya walaupun aku memiliki nasib seperti kakakmu, tapi aku tidak akan mengambil jalan pintas kok." Spontan saja Sheila bicara secara terang-terangan kepada Darwis, lalu ia pun berkata lagi "kamu tidak perlu perhatiin aku lagi karena memiliki nasib yang sama denga
Sejak saat itu Habib berubah menjadi orang yang lebih pendiam dan dewasa, ia tidak banyak bicara dan lebih sering tersenyum. Pernikahannya dengan Fanny kandas begitu saja, saat Habib mengetahui penghianatan Fanny yang diam-diam meminum pil KB di belakangnya. Tidak sedikit wanita yang mencoba mendekatinya selama ia sendiri, tidak heran karena Habib memang tampan dan juga mapan. Akan tetapi, Habib selalu menolak wanita yang mendekatinya dengan alasan ia sudah beristri. Tidak dipungkiri Habib masih sangat berharap Sheila mau menerimanya kembali di kemudian hari.Tidak jarang Habib sering lewat dari depan rumah Umi, bukan karena kebetulan. Akan tetapi, ia sengaja untuk melihat apakah Sheila sudah kembali. Namun usahanya sia-sia ia tidak pernah menemukan tanda-tanda kepulangan sheila, bahkan ia malah sering terkena omelan dan cacian dari Aisyah yang kesal melihat Habib selalu mondar-mandir di depan rumahnya."Sudah empat bulan lebih aku menunggu mu kembali, tetapi mengapa kamu masih belum
"Dari lubuk hati terdalam, Habib ingin rujuk dengan Sheila. Akan tetapi, aku sadar bahwa kesalahanku terlalu besar pada Sheila. Sekarang aku hanya bisa pasrah dan menerima apapun keputusan yang nanti akan diambil," sahutku penuh keyakinan."Baiklah, kalau begitu kita tunggu jawaban Sheila nanti. Abi tidak dapat berbuat apa-apa, semua keputusan ada di tangan kalian. Kami sebagai orang tua hanya bisa membimbing dan mendoakan yang terbaik saja untuk kalian berdua," ujar Abi lagi. Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi ucapannya. Beliau memang sungguh bijaksana bagiku, tidak pernah mau ikut campur dalam mengambil keputusan dan selalu memasrahkan kepada kami berdua. Beliau sungguh orang tua yang luar biasa, walaupun ia bukan orang tua kandung Sheila dan Aisyah. Akan tetapi, kasih sayangnya sungguh tanpa batas untuk kedua anak angkatnya.Tidak lama setelah kami berbincang-bincang, kedua orang tuaku datang dengan senyuman sumringah. Ibu langsung memeluk Sheila dengan erat, dan bahkan berk