Tidak. Dia tidak boleh menyerah secepat ini. Anna punya hak untuk membela diri karena ia memang tidak bersalah. Jadi, setelah dua hari terhanyut dalam nasib yang tidak jelas, Anna membersihkan dan merawat diri lagi, kemudian keluar dari kamar dan berkata, "Tolong rapikan kamarku."
Para pembantu di rumah itu mulai bertanya-tanya apa yang hendak Anna lakukan. Apalagi wajah wanita itu berseri-seri. Mungkinkah dia akan pergi ke luar, berbelanja, dan menghirup nafas segara untuk melupakan masalah yang akhir-akhir ini terus berdatangan?
Namun perkiraan mereka ternyata salah. Anna hanya berhenti di ruang keluarga yang sangat luas. Ia duduk di sofa, menyalakan televisi namun dengan volume yang rendah, lalu merogoh ponsel keluar dari sakunya. Setelah itu, dia mulai sibuk sendiri dengan layar tersebut. Tidak lama, layar ponsel didekatkan ke telinganya. Sedang menghubungi seseorang yang ada di beda tempat.
Dalam dering ke lima, orang yang ditelepon mengangkat. Dengan su
Kala matahari terbenam dan digantikan oleh terangnya bulan meski masih kalah dengan cahaya di kota-kota besar. Di salah satu gedung tinggi, ada tiga manusia yang berkumpul dalam satu ruang. "Kalian yakin malam ini kalian tidur di sini?" Salah satu orang yang ditanya masih asik bermain video gim di ponselnya sehingga si bungsu yang mengambil alih jawaban. "Iya." "Memangnya Ayah dan Ibu sudah mengijinkan?" tanya si tertua, Elisa, dengan resah. Sejak hari itu, di mana semua anak-anak Malik dan Masya mengamuk, Ariel dan Erik telah menjadikan apartemen Elisa sebagai rumah kedua mereka. Meski mereka sudah kembali pulang ke rumah dan tidak mungkin terus menerus tinggal di tempat Elisa, setidaknya jika mereka gerah atau ingin bersantai, apartemen Elisa menjadi pilihannya. Selain itu, kedua saudaranya juga tidak memberitahu mengenai nama atau alamat apartemen Elisa agar orang tua mereka tidak bisa membuntuti gerak-gerik ketiga bersaudara. "Iya. Tadi sih Ibu terlihat k
Kala suara tembakan peluru membuat satu lantai menjadi penuh kebisingan, mata Raden yang sedari tadi terus terpaku pada layar komputer langsung bergerak ke jendela, merasa telinganya baru saja mendengar sesuatu yang tidak begitu asing. "Apakah ini hanya perasaanku saja?" Mungkin karena akhir-akhir ini dia berpikir diamnya wanita itu menandakan dia akan berbuat macam-macam lagi, contohnya seperti menembak kepala sendiri, membuat Raden sedikit tidak tenang. Namun pemikiran itu berhasil ia alihkan ke hal lain yang lebih penting. Sebentar lagi mereka akan mengurus penceraian, untuk apa Raden memiliki rasa simpati pada wanita yang telah membohonginya? Tok! Tok! Pintunya terketuk dan seseorang masuk dengan sopan. Seperti biasa, sang sekretaris melaporkan sesuatu yang hendak disampaikan kepada CEO tersebut. "Bu Anna ada di sini dan ingin bertemu dengan Bapak." Raden mengangkat kepala meski wajahnya jelas tidak tertarik dengan itu. "Bukankah aku sudah berkata
"Bagaimana kabar Anna, huh? ... Kenapa? Apakah Anna tak pernah bilang padamu kalau aku dengannya adalah teman?" Sesuai perkiraan, Raden dibuat terbatu dengan ucapan itu. Untuk membuat situasi lebih memanas, Noah menambahkan beberapa hal lagi. “Asal kamu tahu, sebelum kamu mengenal Anna, aku sudah lebih lama mengenal dia. Dan, sejujurnya, aku sudah jatuh hati dengannya. Jadi, kuharap sehabis ini kamu mempertimbangkan ulang apakah masih mau menerima wanita yang telah mengkhianatimu dan mengembalikannya kepadaku. Dengan begitu, tidak ada yang harus sengsara di antara kita.” Mata Raden menegang mendengar pernyataan seperti itu. Apa-apaan ini? Bukankah ini adalah akal-akalan Noah untuk membuat hubungannya dengan Anna menjadi hancur? Karena sudah pernah mengalami situasi seperti ini dari Masya, ini bukan sesuatu yang asing. Alih-alih merasa kesal, justru dia mendecih dan menyeringai. "Tidak perlu membohongiku. Aku tidak akan terpancing dengan trik murahan ini."
Kata demi kata yang diucapkan secara terburu-buru, penuh emosi, dan tidak bisa dikendalikan telah melukai hati kecil Raden tanpa disadari. Kini mata wanita itu dipenuhi dengan rasa amarah yang sama besarnya. "Kenapa kamu tidak menyerah saja? Apa kamu tahu, jika kamu terus seperti ini, kamu justru melukai semua orang di sekitarmu karena keegoisan itu?" Kala hati Raden semakin lama membeku dengan kepalan tangan yang semakin mengeras, justru mata Anna mulai diselaputi oleh air mata dan berusaha membendung sebaik mungkin. Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Hanya ada tatapan mata yang saling beradu, udara yang panas meski pendingin sama sekali tidak rusak, dan dua manusia yang saling memikirkan pendapatnya sendiri di dalam otak. Raden menjadi orang pertama yang menghembuskan nafas bersamaan dengan tangan yang terkulai lemas, namun itu tidak menandakan pendiriannya goyah. Sama sekali keliru. "Seandainya semua memang bisa semudah itu. Tapi, kamu salah Anna. Perus
Kini, setelah bertahun-tahun hanya melihat perusahaan Kusuma Jaya dari jauh, Noah resmi diangkat sebagai salah satuchief di sini. Yakni, CFO. Memang mustahil jika langsung menggoyahkan Raden dari kursinya saat ini meski sempat dilanda skandal, penurunan performa, dan kedatangannya sebagai pewaris resmi. Tapi tidak apa-apa. "Segini saja sudah cukup baik untuk sekarang." Tanpa sadar Noah menyampaikan isi pikirannya dengan suara rendah sembari memandang langit bersih tanpa awan. Ketika Noah terus tersenyum penuh kemenangan atas hal ini, di lain ruangan ada orang yang tidak bisa tenang memikirkanchiefbaru. Para dewan komisaris telah setuju untuk memberi jabatan itu pada Noah dengan mudah, apakah kelak mereka akan berbuat hal yang sama kepadanya? Tentu saja ada kemungkinan atas hal itu. "Apakah dia akan bertindak lanjut dengan cepat?" Selain itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang masih berkaitan dengan masa lalu dan sama sekali tid
"Lalu, bagaimana kehidupan Kakak setelahnya dan bagaimana cara Kakak bisa bertemu dengan Malik Dwi Setiawan?" ***** Padahal baru sehari berlalu, tapi anak laki-laki itu sudah merasa melewati seminggu lamanya. Ingatan akan tubuh-tubuh Ayah, Ibu, dan dua saudara lainnya yang terbujur kaku dengan peluru yang tersemayam, darah merah gelap mengalir di mana-mana tidak bisa lepas dari ingatannya. Kini kondisinya sama sekali tidak bagus meski matahari telah menampakkan cahaya. Dengan kaki yang terluka akibat bergesekan dengan aspal, tidak ada makanan atau minuman yang dikonsumsi padahal sudah berjalan sejauh ini, seperti ingin meninggal saja. Namun, di sela-sela kepayahan dalam berjalan, Noah masih memikirkan satu saudara yang tersisa. "Apakah Raden baik-baik saja?" Saudaranya yang paling terasingkan itu sengaja ditempat di kamar pembantu, kamar belakang dan kecil di rumah itu. Meski selama ini Raden adalah anak yang paling ditinggalkan dan kelihatann
Waktu mengalir secara cepat, tak terasa sudah tiba makan malam di mana keluarga Setiawan akan menyambut kedatangan Noah. Untuk kali pertama bagi Ariel melihat sosok pria itu secara langsung. Sedangkan Elisa, meski telah diberitahu dan turut diundang, dia memutuskan untuk tidak datang. "Sama sekali dia tidak akan datang, ya?" tanya Masya masih dengan harapan. Anak-anaknya menggeleng yakin. Tentu saja sebagai seorang ibu, Masya berharap dapat berkumpul dengan sang anak lagi sejak pertengkaran hari itu. Tapi karena Elisa sudah menjadi wanita dewasa, ia tak bisa memaksa. Terdengar suara pagar dibuka dari belakang. Malik beranjak dari kursi dan berkata, "Mungkin itu Noah. Aku akan keluar untuk menyambutnya." "Aku ikut," ucap Masya ikut menyusul sang suami. Sedangkan Ariel dan Erik mencoba mengintip dari balik jendela. Mobil hitam dengan tipe yang baru saja dikeluarkan akhir-akhir ini, muncul seseorang dengan jas formal, rambut yang tersisir rapi ke belakang, dan s
Di saat Malik dan Noah masih berduaan di belakang untuk membicarakan sesuatu, Ariel dan Erik masuk ke dalam kamar yang sama. Tinggal Masya sendiri lah di ruang makan selain para pembantu yang sibuk membersihkan piring kosong dan bolak-balik ke dapur. "Kenapa Erik juga masuk ke kamar Ariel?" heran Masya sembari menatap lurus pintu kamar Ariel di lantai dua. Padahal Ariel adalah tipe orang yang paling tidak suka jika seseorang masuk ke kamarnya, apalagi jika itu adalah Erik, si anak bontot yang jahil. Tidak mungkin mendadak Ariel berbaik hati. Atas dasar rasa penasaran, Masya berjalan menaiki tangga untuk menguping sebentar. Hanya sekedar memeriksa apa yang kedua anaknya perbuat bukan hal yang salah, kan? Saat berada di depan pintu kayu dengan sebuah stiker hitam besar bertuliskan 'ketuk pintu kalau masih punya tangan', tangan Masya memiringkan gagang pintu dan berusaha membuka tanpa membuat suara. Bukannya dia mengaku dia tak punya tangan jika berpatok pada st