Seusai diperiksa oleh dokter, Raden hanya mendapat pernyataan bahwa dia memerlukan istirahat sampai besok. Setelahnya dia bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Lalu di saat itu juga ponselnya berdering. Laila segera mengambil tanggung jawab untuk mengecek siapa peneleponnya dan untuk beberapa detik matanya menatap ke arah Raden dengan ragu.
Tentu saja itu berhasil membuat Anna penasaran. "Siapa itu? Jika dia orang penting, jangan dibuat menunggu."
"Ini adalah Bu Anna yang menelepon, Pak." Laila sudah memiliki dugaan bahwa sang bos akan menyuruh dia menolak telepon tersebut, hubungan mereka 'kan masih sangat buruk. Maka dari itu dia tertegun ketika justru Raden mengulurkan tangan untuk mengambil alih teleponnya. "Bapak ingin menjawabnya?"
Dengan yakin Anna menjawab, "Iya." Tentu saja itu adalah telepon dari Raden dan dia bisa mendapatkan informasi terkini mengenai tubuhnya dari situ. "Cepat berikan pada saya."
Alhasil benda tipis itu berpindah tempat
Telepon diangkat. Hal pertama yang menyapa gendang telinga Anna adalah suara miliknya sendiri. "Anna." Jawabannya terdengar pelan, masih merasa takut akibat aura intimidasi Raden yang langsung terasa hanya dengan satu panggilan nama, "Ya?" Ketika pria itu hendak mengucapkan sesuatu, mendadak lidahnya seperti tertahan dan membuat dia berpikir ulang untuk jadi bertanya atau tidak. Namun jika tidak dia tanyakan sekarang, dia akan terjebak dalam pikirannya sendiri yang di mana belum tentu itu adalah kebenarannya. "Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?" "Ah itu ... Sepertinya aku keracunan." "Sepertinya?" Raden mendengus. "Kamu bukannya sengaja meracuni dirimu sendiri agar kita bisa bertukar tubuh, kan?" Tuduhan bermasuk negatif itu segera Anna sangkal dengan gelengan kepala keras meski orang yang bertanya tidak akan bisa melihat gerakan tersebut. "Tentu saja tidak. Memangnya aku segila itu sampai-sampai mau melukai diri sendiri?" "Siapa ta
Memang benar bahwa ego di dalam hati Raden telah memutuskan untuk tidak menemui Anna meski dengan alasan untuk kembali ke tubuh masing-masing. Akan tetapi ada hal yang lebih penting dari hal tersebut, yakni semua pekerjaan yang berakitan dengan perusahaan. Beruntung selama seminggu lebih saat tubuh Anna masih dirawat di rumah sakit, wanita itu bisa mengerjakan segalanya dengan baik. Hanya saja tidak ada yang tahu sampai kapan kualitas performa kerja Anna bisa bertahan tanpa ada pengarah. Maka dari itu, setiap pagi Raden selalu menghubungi Anna untuk mendikte apa saja yang wanita itu harus lakukan selama seharian. Lalu, saat malam mereka akan melakukan rapat pribadi secaradaring melalui aplikasi biru putih. Mungkin bagi Raden yang sekarang punya terlalu banyak waktu luang tidak akan merasa itu membebani dirinya, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan pekerjaan sehari-harinya. Berbeda dengan Anna yang merasa tidak ada satu detik pun untuknya beristirahat. Bangu
Semakin dipikirkan justru dibuat semakin pusing. Kini Raden terjebak dalam pikiran dan penyesalannya tersendiri. Setelah berbicara dengan Malik melalui telepon sebagai Anna, Raden merasa dia telah berbuat keputusan yang salah. Di dalam telepon, Malik tanpa yakin dan gigih untuk menyakinkan Raden, yang ia kira adalah Anna, untuk mau menemui Noah untuk kali pertama secara resmi sebagai putri sulung Setiawan, tidak peduli apakah dia sudah menikah dan akan menjadi janda tak lama lagi. Kembali pada percapan telepon, Raden berubah hening untuk beberapa detik sebab butuh waktu untuk berpikir. Sedangkan Malik sudah tak sabaran dari sana hingga mengulang pemanggilan nama sang putri. "Anna? Apakah kamu masih ada di sana?" "Sebentar," pinta Raden berbisik. Beruntung Malik mendengar dan mau menuruti permintaannya. Sadar bahwa dia tak punya waktu banyak untuk merenung, Raden memutuskan untuk mencari cara lain untuk memastikan kenyataan tersebut. "Apakah aku boleh bertanya
"Kamu pantas untuk melampiaskan amarahmu. Justru ... akulah yang tidak pantas untuk berada di dekatmu." "Kumohon jangan berkata seperti itu," gumam Anna berbisik. Padahal bukan dia yang harus meminta maaf, tapi wanita itu tetap menundukkan kepala. Mungkinkah dia tidak ingin melihat wajah Raden? Begitu pikir laki-laki tersebut. Tapi kenyataan tak seperti itu. Justru Anna menundukkan kepala agar tak menunjukkan matanya yang perlahan diselaputi air mata. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku juga akan melakukan apa pun yang kamu inginkan jika itu bisa menebus kesalahanku ini," ucapnya dengan putus asa. Apakah sebentar lagi Anna akan mau bertemu dengannya lagi? Pasti perempuan itu akan meminta untuk menjauh karena muak melihat mukanya. Betul, tidak? Kedua tangan yang terlipat dan sedaritadi memeluk kedua sikunya sendiri perlahan mencengkram lebih keras. Tanpa sadar bahwa tindakan itu dapat membuat bekas kemerahan di kulit nanti. Kembali Anna mengumpulkan kekuatan untu
Apa? Kakaknya pulang? Ariel dan Erik merasakan hal yang sama ketika mendengar pernyataan itu. Mengapa Kakak mereka pulang? Bukankah Anna sudah bertekad untuk tidak lagi kembali dan memulai hidup baru di tempat lain? Terlebih si sulung bukannya kembali ke rumah sang suami, justru kembali ke rumah orang tuanya. Bukannya Ariel dan Erik tidak menyukai itu, justru mereka merasa lebih baik Anna tinggal di hotel saja daripada bersama dua orang tua yang selama ini membawa mimpi buruk kepadanya. Akan tetapi karena mereka baru diberitahu saat Anna sudah tiba di bandara, tidak banyak waktu yang ditawarkan untuk mereka berpikir. Mereka berdua buru-buru pergi ke bandara untuk menjemput Anna. Ketika mereka tiba, mereka sudah melihat bagaimana Anna bersikukuh untuk diam di satu tempat dan terus menerus menolak tawaran taksi yang datang. "Kak!" teriak Erik. Anna menoleh dan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ia biarkan kedua adiknya berlari terengah-engah ke ara
"Bagaimana?" tanya Raden langsung setelah panggilan telepon diterima. "Apa kata mereka?" Wajah Anna berubah datar sesudah ia menyadari bahwa Raden menelepon bukan karena merindukan dirinya, melainkan karena penasaran akan hal lain. "Orang yang kamu diam-diam masukkan ke Setiawan berkata bahwa dia sudah mengecek semua tempat yang kemungkinan akan menjadi ruangan penyimpanan dokumen. Tapi sama sekali dia tidak mendapatkan apa pun." Raut muka Raden seketika menjadi lesu. Bagaimana ini? Apakah hal yang dia lakukan ini akan menjadi kesia-siaan? Padahal sudah seminggu lewat sejak dia menginap di rumah orang tua Anna. Tanpa melihat, Anna seakan tahu apa yang dirasakan suaminya saat ini. Jadi, dengan sedikit aura keceriaan, Anna berusaha menenangkan Raden, "Tidak apa-apa. Mungkin memang Ayah punya tempat lain untuk menyembunyikan dokumen itu. Masih ada tempat lain yang bisa kamu telusuri." "Tapi di mana? Semua orangku yang tersebar di semua kantor Setiawan sa
"Kak? Kenapa Kakak ada di depan pintu kamar Ayah dan Ibu?" Saking fokusnya Raden dalam mencari jalan mendapatkan kunci, dia tersentak dengan kehadiran Ariel yang sudah berada di situ selama satu menit untuk memperhatikan sang Kakak. "Apa Kakak ada keperluan sama kamar Ayah dan Ibu?" Alih-alih menjawab, justru Raden melihat dari ujung kepala Ariel sampai ke bawah. Apakah dia bisa benar-benar mempercayai saudara-saudaranya Anna? Hm, mengingat bahwa gadis itu pernah berkata kapanpun Anna butuh bantuan, mereka akan membantu, mungkin Raden tak perlu meningkatkan kewaspadaannya. "Iya. Aku mau mencari sesuatu. Tapi sepertinya aku tidak bisa membukanya." "Kenapa? Kuncinya pasti dipegang Bibi An. Kalau Kakak meminta, akan dikasih, kok." Ariel merasa itu sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. "Tapi Bibi An pasti melapor kepada mereka." Sangat jelas raut wajah khawatir pada tampang Anna. Hal itu membuat Ariel memiringkan kepala dan bertanya-tanya. Tentu akan se
Memang benar bahwa mencari dan merekrut orang-orang profesional adalah hal yang mudah untuk Raden lakukan. Laila akan melakukan perintahnya dengan cepat dan hanya perlu satu malam saja. Tapi, ada hal lain yang harus diperhatikan juga. Tidak mungkin mereka akan mendobrak masuk ke ruangan kerja Malik secara terang-terangan. Dibutuhkannya strategi dan perhitungan yang tepat agar semua berjalan secara lancar, tak diketahui. Jadi, butuh dua hari penuh untuk Raden merancangkan semua. "Dengarkan aku baik-baik," ucap Raden serius setelah menyuruh Ariel dan Erik berkumpul di kamar Anna. "Di rumah ini ada enam pembantu, dua petugas taman, dua cctv yang menghadap ke teras dan ruang keluarga, dan dua belas penjaga." "Apa?" sela Ariel tak percaya. "Dua belas penjaga? Apa Kakak yakin? Bukankah hanya ada tiga penjaga di pagar utama?" Ah, tentu saja kedua remaja itu tidak tahu apa-apa. "Lebih tepatnya hanya tiga penjaga saja yang tampak di mata kalian. Sisanya bersembunyi me