Bab 115. Deva Tak Punya Bodyguard Lagi“Maaf, Pak Deva, ini kantor Bu Alisya, bukan kantor Bapak. Bapak bukan Bos di sini,” ucap Wahid, membantu mendudukkan Deva di sofa panjang, di depan meja Alisya.“Pak Wahid? Anda di sini?” tanya Deva terkejut. Pria itu meraba bibirnya yang sedikit bengkak.“Ya, Pak, saya sudah bekerja di sini. Sejak Bu Alina memecat saya waktu itu, saya kehilangan pekerjaan. Untung Bu Alisya mau menerima saya di sini. Putri sulung saya sedang menyelesaikan tugas akhirnya, Pak! Butuh dana besar. Kalau saya tidak bekerja, maka bagaimana studynya akan selesai.”Deva terdiam.“Permisi, Pak, saya kembali ke ruangan saya! Permisi Bu Alisya!” Wahid mengangguk kepada Alisya, lalu berlalu. Kini hanya tinggal Deva dan Alisya di ruangan itu.“Hebat, ya! Semua orang-orang terbaikku sudah kau ambil! Kemarin Deby sekretaris andalanku, sekarang Pak Wahid, manager produksi yang sangat professional itu. Pantas truk angkutan bolak-balik masuk ke pabrikmu. Rupanya begitu maju
Bab 116. Igauan Haga Wibawa BMW putih yang dikemudikan oleh Deva berhenti di areal parkir rumah sakit. Sambil berjalan dia menelpon Raja. “Di mana ruangan papa?” tanyanya dengan nada tinggi.“Mas Deva mau jenguk papa? Syukurlah! Apakah Mas Deva sudah bertemu Dante?” Raja balik bertanya.“Aku tidak menemukan Dante. Alisya tidak memberi tahu di mana dia tinggal sekarang. Ke mana aku harus mencarinya, coba! Anak buahku entah ke mana semua. Tak ada yang memberi laporan padaku! Sial!”“Maksud Mas Deva? Mereka pada enggak masuk kerja?”“Aku tidak tahu pastinya. Saat aku nelpon Joni, malah Intan yang menjawab. Informasi yang diberikan Intan sangat tak masuk akal!”“Intan?”“Ya.”“Kok, bisa, Intan megang hape Joni?”“Aku juga tidak tahu! Sepertinya Intan punya hubungan dengan Joni. Tapi itu tak penting bagiku! Masalahya sekarang adalah info yang diberitahu Intan sangat tak masuk akal. Katanya Mama sudah memecat semua anggotaku! Itu tidak benar, bukan?”“Ha, kenapa Intan mengatakan sepe
Bab 117. Deva Ingin Pulang Ke Rumah Lama“Begitu, ya? Baiklah, Ma. Aku juga sudah semakin yakin, sekarang. Aku akan mendaftarkan gugatan ke pengadilan. Tak ada lagi yang bisa dipertahankan dari Alisya,” ucap Deva membuat Haga Wibawa kembali meracau.“Alisya … Alisya … Deva ….”“Iya, Pa. Deva akan ceraikan Alisya, itu yang Papa mau, kan? Papa tenang saja, ya! Cepat sembuh. Mengenai Adante, Deva pasti akan menemukannya. Deva janji, begitu menemukannya, akan segera Deva bawa ke sini, menjenguk Papa! Pokoknya Papa harus cepat sembuh, ya!” kata Deva mengusap lengan sang Papa berulang-ulang.Kalimat Deva bukan menghibur, namun semakin menambah sesak hati Haga Wibawa. Apa yang dia inginkan tak seperti yang Alina sangkakan. Semua jadi salah paham. Betapa dia ingin bersuara sekarang. Dia ingin mengatakan tentang kehamilan Alisya.Tetapi lidahnya terasa begitu kelu. Tak ada kalimat yang dapat dia ucap selain nama Alisya, Deva dan Dante. Kedua pipinya kini basah air mata. Deva menyekanya
Bab 118. Perusahaan Alina Di Ambang Kehancuran“Kalau bukan Alisya, perempuan siapa maksudmu? Yang jelas kalau memberi laporan!” teriak Deva tak sadar. Dia lupa kalau Joni bukan anak buahnya lagi.“Makanya saya ingin bertemu dengan Bapak. Temui saya café ‘Rumah Kayu’! Posisi saya di sekitar Ring Road sekarang. Kita bertemu di sana!” sahut Joni dari ujung sana.“Wah, mulai berani mengatur aku, kau! Yang hebat kau sekarang, ya!”“Maaf, Pak Deva. Tolong jangan lupa kalau saat ini saya bukan anak buah Anda. Anda tidak lagi menggji saya. Saya sebenarnya tak peduli dengan Anda! Saya melakukan ini murni untuk Bu Alisya. Dia wanita yang sangat baik, tak pantas jika Anda bersikap tidak adil padanya! Itu saja!”“Kalau begitu kau temui Alisya saja! Untuk apa kau ingin bicara denganku!” sergah Deva emosi.“Baik, jadi Anda benr-benar tak mau tahu hal yang sebenarnya? Ok, by! Maaf mengganggu waktu Anda! Selamat pagi!”“Tunggu!” teriak Deva akhirnya keder juga. “Baik, aku temui kau di café itu. Li
Bab 119. Affair Sang BabysitterSonya segera mengemasi peratan kerjanya. Mematikan komputer, menyusun file, lalu meraih ponsel di atas meja. Segera dia menyalakan benda itu lalu menekan sebuah nomor.“Mas Fajar di mana sekarang?” sapanya begitu panggilannya tersambung.“Biasa, Mbak. Di rumah Mbaklah. Kan, melaksanakan tugas. Sebagai supir pribadi yang baik, saya harus siap siaga selama jam kerja, kan? Siapa tahu mama Mbak, butuh tenaga saya untuk keluar?” Fajar menjawab dari seberang sana.“Tapi saat ini mama sepertinya lagi enggak butuh sama Mas Fajar, kan? Mama enggak mungkin keluar-keluar karena dia harus jagain, papa, kan, Mas?”“I-iya, sih. Papa Mbak enggak bisa lagi membuat Bu Mawar keluar.”“Maksudnya? Keluar apa, ini maksudnya, hayo? Jangan-jangan, sejak papa saya sakit, Mas Fajar, nih yang menggantikan tugas Papa membantu mama saya supaya bisa keluar?”“Lho, kan, Mbak Sonya yang menunjuk saya bekerja sebagai supir pribadi Bu mawar. Tugas saya ya, membuat Bu Mawar s
Bab 120. Jerat Cinta Sandiwara Fajar “Bawa saja Adante sekalian, biar enggak ada yang curiga! Di tempat biasa, ya, Sayang!”“Baik, Mas.”“Ok, aku tunggu, love you!”“Makasih, Mas. Love you, too!”Fajar menutup telponnya. Menoleh ke samping, mendapati Sonya yang tengah melotot tajam ke arahnya. “Kenapa? Cemburu, hem?” godanya seraya mengelus pipi wanita itu.“Mas Fajar kok, bisa, ya di depan aku, lho? Berani gitu, ya?” Apa lagi di belakang aku, kan? Parah!” ketus Sonya masih melotot tajam.“Sayang! Kamu mau mendapatkan Adante, kan?” Fajar meletakkan kedua tangannya di kedua bahu Sonya. Kini dia memanggil sang majikan tanpa embel-embel ‘Mbak’ lagi. “Kamu bilang tadi mau cepat-cepat menemui Deva, kan? Mau taklukin Deva? Caranya harus menemukan Adante, begitu, kan?”“Iya, tapi tidak mesti mesra-mesraan di hadapan aku, kan?” sergah Sonya dengan suara bergetar. Cemburu begitu membakar.“Namanya Ayu, dia babysitter Alisya. Sengaja aku mendekati dia. Awalnya untuk memasang mata-mata saja
Bab 121. Deva Balas Menculik AdanteDeva menepikan mobilnya di depan café ‘Rumah Kayu’ tempat yang dijanjikan oleh Joni untuk bertemu. Baru saja kaki kanan melangkah turun, ponselnya tiba-tiba berdering. Dengan kesal dia raih benda itu dari atas dashboard mobil.“Iya, aku sudah di depan café!” teriaknya setelah mengusap layar tanpa meneliti si penelepon.“Mas Deva di depan café? Café mana?” Terdengar jawaban dari ujung sana.“Sonya, kamu?” Deva tercekat, buru-buru hendak mengakhiri panggilan.“Tunggu, Mas! Mas! Ini penting banget, Mas! Ini tentang Adante!”Telunjuk Deva yang hendak menggeser panel merah di layar sontak terhenti. “Kamu bilang apa? Tentang Adante? Kenapa dengan Adante? Tau apa kamu tentang anakku?”“Mas Deva lagi nyari Adante, kan?”“Mama yang bilang? Dasar perempuan! Bukannya nyari solusi malan ngegosip! Aku sedang stress banget, jadi kumohon jangan telpon aku dulu, ok! Kamu urus saja kantor dengan baik!!”“Tunggu, Mas! Justru aku begitu peduli dengan kekalutan
Bab 122. Ancaman Deva Pada AlisyaAyu berlarian ke sana ke mari di taman kota itu sambil memanggil nama Adante. Wajah pucatnya berkeringat. Ketakutan melanda. Adante benar-benar telah hilang. Pengunjung lain mulai membantu ikut mencari.“Makanya kalau jadi babysitter itu kerja yang benar! Tugas kamu menjaga anak orang, kan? Kenapa malah sibuk telponan!” sungut salah satu pengunjung terlihat sangat kesal.“Iya, Mbaknya saya lihat dari tadi sibuk telponan, acuh sama momongan! Kalau itu anak saya yang Mbaknya jaga, sudah saya bejek-bejek Mbaknya! Bagaimana kalau ndak ketemu lagi anaknya, Ya Allah, parahnya babysitter jaman sekarang!” rutuk yang lain.Aku hanya bisa diam, pasrah dengan semua sumpah serapah mereka.Setengah jam berlalu, Adante tak ditemukan juga. Ayu terduduk lemas di atas paving blok taman, pipinya basah air mata. Entah bagaimana cara dia melaporkan hal ini kepada Alisya. Wanita yang selama ini telah begitu baik kepadanya. Majikan yang bisa menerimanya meskipun Deva t