“Mi.. Mami! Si Jessen ilang!” Vero heboh di pagi hari. Pria yang tenggelam dalam pekerjaan itu memang pantas disebut sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab. Bisa-bisa pria itu kehilangan anak mereka, padahal baru saja bermain bersama di ruang keluarga. “Kok bisa sih, Papi?!” heran Stefany. Mata Stefany mengerjap berulang kali. Jangan-jangan, efek bekerja terlalu menggebu membuat daya ingat Vero melemah.“Papi lupa naroh Jessen kali! Coba diinget-inget anaknya ditaroh mana sama Papi!” Vero terbelalak, ia menyentak Stefany.“Mami kira Jessen barang apa! yang bener dong bahasanya kalau sama anak!” amuk Vero. Menurut Vero, bahasa yang Stefany gunakan salah atau mungkin memang moodnya saja yang sedang tak biasa pagi ini sehingga meributkan hal kecil. Di dalam gendongan Stefany, Mian menatap sang papi dengan sorot tajam. Mata kecilnya membola seolah memarahi laki-laki itu. ‘Ya Tuhan, baru sebulan aja anak gue udah nunjukin keberpihakannya. Gimana kalau udah gede, baru ngajuin protes
Vero membuka matanya dengan satu tangan kram akibat menahan berat beban kepala Stefany. Kamarnya yang temaram membuatnya kembali menguap sesekali sebelum menggerakkan kepalanya ke samping kiri. Kini Vero sepenuhnya terjaga. Ia tersenyum, menemukan wajah Stefany berada tepat di depan miliknya. ‘Wanita cantikku,’ batin Vero mengagumi keindahan pagi yang menyapanya.Setiap pagi, Vero selalu bersyukur karena Stefany tak pernah menghilang sebelum ia terbangun. Jadi ia tak perlu merasa ditinggalkan oleh seseorang— terlebih wanita yang dirinya cintai. Rasa terima kasih itu selalu Vero udarakan agar menembus langit. Sang Pencipta harus tahu betapa ia mensyukuri nikmat yang setiap detiknya selalu diberikan untuknya. Ya, meski terhadap dalam cerita hidupnya sendiri tak jarang ia dijadikan sebagai manusia paling mengenaskan. Setidaknya tak semalang nasib Mischa— maka dari itu, Vero selalu bersyukur atas pencapaiannya.Ciuman Vero jatuhkan pada kedua kelopak Stefany yang masih tertutup. “Mami,”
“Si Sitay bisa-bisanya!”Di sepanjang perjalanan ke kantor, Vero tak henti-hentinya membahas tingkah laku unpredictable asisten rumah tangga mereka. Bersama Mischa, kedua laki-laki tersebut bertukar pikiran– Sharing kalau istilah gaul dunia yang sedang Siti geluti sekarang.Vero dan Mischa mencari dari mana asal muasal Siti– Manusia yang keluarnya saja jarang, bisa salah pergaulan macam tadi. Vero tak habis thinking! Rumahnya sudah macam gua bertapa bagi Siti, mau hangout kemana pembantunya?! Belum lagi dengan siapa?! Tukang kebun mereka?!Kurang logis kan?! "Media sosial bisa sih, Ver." “Damn Mis,” Vero mengerang, “biasanya dia nonton serial dangdut sama India ya, kalau keluar di linimasa sama searchnya dia pasti seputaran itu.” Ia terbiasa berselancar menggunakan aneka sosial media yang ada, dan kebiasaan pencarian kita akan muncul secara terus-menerus dengan tema serupa. Jadi tidak mungkin kan Siti bergelut pada perkembangan zaman, sedangkan kemarin-kemarin tidak. Seharusnya sud
Mellia mendengarkan dengan seksama tema obrolan yang putranya bawa. Dari yang dapat ia tarik, wanita itu menyimpulkan jika putranya berpikir diri pria itulah yang membawa pengaruh buruk pada asisten rumah tangga mereka. Tentu saja kulit-kulit di kening Mellia mengerut. Ia tidak tahu mengapa putranya dapat berpikir demikian. Manum sebagai seorang ibu yang melahirkan Vero, “Kayaknya iya deh.” Mellia satu pemikiran dengan anaknya. Vero langsung menjerit histeris. Dalam waktu yang tak panjang, ia merutuki dirinya yang begitu mudah dalam membuat tren sehingga memiliki pengikut. Rasa-rasanya Vero ingin jadi Presiden saja. Pasti kelak ketika waktunya pemilihan, banyak yang mencoblos gambar wajahnya yang tampan. Ia juga turut menyampaikan impulsivitas otaknya ini kepada sang mommy. Mendengar kepercayaan diri itu, Mellia bahkan sempat mual. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenarsisan anaknya. Hal tersebut valid! Tak bisa di debat dan diganggu gugat. “Terus Vero harus gimana, Mommy?! Sitay h
Vero menyipitkan matanya melihat sepasang suami istri yang berjalan memasuki ruang keluarga. Matanya ternodai dengan aktivitas sok romantis mereka. Sepertinya disini ia yang salah. Ia merasa mereka sedang menampakkan kemesraan itu secara sengaja dengan cara menghampirinya. Padahal bisa saja bukan ruangan yang sofanya ia duduki tempat yang mereka tuju, melainkan kamar keduanya yang memang harus melewati titik dimana ia berada. Sial sekali! Mengapa arsitek yang menciptakan rumahnya harus meletakkan ujung tangga tepat di ruang keluarga?! Bukan hanya rumahnya, tapi seluruh bangunan yang ditinggali setiap keluarga yang ia kenal berdesain serupa. Belum lagi tidak adanya sekat antara ruang berkumpulnya keluarga dengan meja makan. Vero heran, siapa yang mengawali style itu mulanya. Kenapa dipraktekkan ke semua klien?! Jadilah sekarang ia memiliki persepsi-persepsi negatif pada Mischa dan adiknya. Nggak habis thinking deh Vero jadinya. "Kalian bisa nggak jangan dempet-dempetan gitu?!" teg
Sejauh ini belum ada tindakan mencurigakan yang Stefany lakukan. Wanita itu masih dalam pantauan yang normal– Mengurus anak-anaknya seperti biasa, sehingga tak menimbulkan kecurigaan mendalam dalam diri sang suami. Semua masih aman terkendali sampai Vero menangkap hilangnya sang istri dari ruang keluarga ketika makan malam akan berlangsung. Hal yang menjadi sangat janggal adalah, wanita itu meminta bantuan Mommy mereka untuk memanggil Vallery dan Mischa di atas. Mengapa bukan Siti?! Jelas-jelas asisten mereka menganggur. Dan, kenapa bukan dirinya?! Ada Daddy yang siap menjaga cucu-cucunya karena memang laki-laki itu berada di ruang keluarga. Menonton variety show kesukaannya. Janggal sekali bukan?! Vero tak dapat lagi menahan kecurigaannya. Ia mengikuti langkah sang istri menuju dapur. Mengendap layaknya penguntit sejati wanita itu. Bukan hal yang sulit, selama beberapa tahun, Vero telah melakukannya dengan sangat apik meski secara terang-terangan. Ia hanya perlu memelankan ketuka
Teriakan Vero dan aduhan pria itu memenuhi seluruh ruangan kamarnya. Akibat dari suaranya yang menggelegar Stefany terjaga. “Ver, kamu dimana?!” tanya Stefany karena tak menemukan Vero di atas ranjang mereka.“Papi..” Kepala Vero menyembul dan tangannya meraih ujung ranjang yang tinggi, “Mamiii! Kamu lupa kunci kamar kita kan semalem?!” serang Vero membuat Stefany melebarkan matanya. Jangan katakan jika,Stefany ikut berteriak setelah melihat keadaan Vero di lantai. Kaki-Kaki pria itu diikat menggunakan tali dan pelakunya pasti, “Jessen, Miaaaan!” teriak mereka berdua menyebut pelaku-pelaku yang setiap harinya selalu meresahkan pagi mereka.Lebih dari lima tahun waktu telah berlalu, dan malaikat-malaikat keduanya benar-benar tumbuh menjelma menjadi setan cilik. Keduanya selalu berhasil memasang jebakan batman yang membuat Vero teraniaya setiap kali mereka lupa mengunci pintu pada malam harinya. Entah bagaimana cara keduanya menyusup ke kamar mereka. Sama sekali tak ada perg
"Mbak Siti, box lunch kita yang warna biru kan?!" "Bukannya blue Mas Jessen?!" tanya Siti sembari mengeluarkan kotak makan yang ada di dalam tas perbekalannya. "yang ini bener kan Mas Jessen Mas Mian?!" Pengasuh kedua anak itu tersenyum, menanti jawaban para pemuda yang duduk disamping kanannya.Siti naik kasta?! Benar sekali pemirsah. Wanita yang mengawali karirnya sebagai asisten rumah tangga itu kini melepaskan pakaiannya dan berubah menjadi suster dua bocil-bocil saiton. Bukan tanpa alasan Siti dinaikkan pangkatnya.Sudah sebanyak enam kali pergantian suster dan para wanita-wanita itu tak sanggup menghadapi tingkah luar biasa Jessen dan Mian. Sejauh ini hanyalah Siti yang tahan banting. Belum ada manusia yang bisa menandingi kekuatan Siti dalam menghadapi kedua bocah itu. Tidak sekalipun itu Omanya– Merlliana Husodo. "Blue is biru Mbak Siti." Siti ber-loh, "not kuning Mas Jess?!" ia bertanya kembali, mengoreksi perkataan Jessen. Kontan saja hal ini membuat Jessen, Mian dan Ver