Vero menyipitkan matanya melihat sepasang suami istri yang berjalan memasuki ruang keluarga. Matanya ternodai dengan aktivitas sok romantis mereka. Sepertinya disini ia yang salah. Ia merasa mereka sedang menampakkan kemesraan itu secara sengaja dengan cara menghampirinya. Padahal bisa saja bukan ruangan yang sofanya ia duduki tempat yang mereka tuju, melainkan kamar keduanya yang memang harus melewati titik dimana ia berada. Sial sekali! Mengapa arsitek yang menciptakan rumahnya harus meletakkan ujung tangga tepat di ruang keluarga?! Bukan hanya rumahnya, tapi seluruh bangunan yang ditinggali setiap keluarga yang ia kenal berdesain serupa. Belum lagi tidak adanya sekat antara ruang berkumpulnya keluarga dengan meja makan. Vero heran, siapa yang mengawali style itu mulanya. Kenapa dipraktekkan ke semua klien?! Jadilah sekarang ia memiliki persepsi-persepsi negatif pada Mischa dan adiknya. Nggak habis thinking deh Vero jadinya. "Kalian bisa nggak jangan dempet-dempetan gitu?!" teg
Sejauh ini belum ada tindakan mencurigakan yang Stefany lakukan. Wanita itu masih dalam pantauan yang normal– Mengurus anak-anaknya seperti biasa, sehingga tak menimbulkan kecurigaan mendalam dalam diri sang suami. Semua masih aman terkendali sampai Vero menangkap hilangnya sang istri dari ruang keluarga ketika makan malam akan berlangsung. Hal yang menjadi sangat janggal adalah, wanita itu meminta bantuan Mommy mereka untuk memanggil Vallery dan Mischa di atas. Mengapa bukan Siti?! Jelas-jelas asisten mereka menganggur. Dan, kenapa bukan dirinya?! Ada Daddy yang siap menjaga cucu-cucunya karena memang laki-laki itu berada di ruang keluarga. Menonton variety show kesukaannya. Janggal sekali bukan?! Vero tak dapat lagi menahan kecurigaannya. Ia mengikuti langkah sang istri menuju dapur. Mengendap layaknya penguntit sejati wanita itu. Bukan hal yang sulit, selama beberapa tahun, Vero telah melakukannya dengan sangat apik meski secara terang-terangan. Ia hanya perlu memelankan ketuka
Teriakan Vero dan aduhan pria itu memenuhi seluruh ruangan kamarnya. Akibat dari suaranya yang menggelegar Stefany terjaga. “Ver, kamu dimana?!” tanya Stefany karena tak menemukan Vero di atas ranjang mereka.“Papi..” Kepala Vero menyembul dan tangannya meraih ujung ranjang yang tinggi, “Mamiii! Kamu lupa kunci kamar kita kan semalem?!” serang Vero membuat Stefany melebarkan matanya. Jangan katakan jika,Stefany ikut berteriak setelah melihat keadaan Vero di lantai. Kaki-Kaki pria itu diikat menggunakan tali dan pelakunya pasti, “Jessen, Miaaaan!” teriak mereka berdua menyebut pelaku-pelaku yang setiap harinya selalu meresahkan pagi mereka.Lebih dari lima tahun waktu telah berlalu, dan malaikat-malaikat keduanya benar-benar tumbuh menjelma menjadi setan cilik. Keduanya selalu berhasil memasang jebakan batman yang membuat Vero teraniaya setiap kali mereka lupa mengunci pintu pada malam harinya. Entah bagaimana cara keduanya menyusup ke kamar mereka. Sama sekali tak ada perg
"Mbak Siti, box lunch kita yang warna biru kan?!" "Bukannya blue Mas Jessen?!" tanya Siti sembari mengeluarkan kotak makan yang ada di dalam tas perbekalannya. "yang ini bener kan Mas Jessen Mas Mian?!" Pengasuh kedua anak itu tersenyum, menanti jawaban para pemuda yang duduk disamping kanannya.Siti naik kasta?! Benar sekali pemirsah. Wanita yang mengawali karirnya sebagai asisten rumah tangga itu kini melepaskan pakaiannya dan berubah menjadi suster dua bocil-bocil saiton. Bukan tanpa alasan Siti dinaikkan pangkatnya.Sudah sebanyak enam kali pergantian suster dan para wanita-wanita itu tak sanggup menghadapi tingkah luar biasa Jessen dan Mian. Sejauh ini hanyalah Siti yang tahan banting. Belum ada manusia yang bisa menandingi kekuatan Siti dalam menghadapi kedua bocah itu. Tidak sekalipun itu Omanya– Merlliana Husodo. "Blue is biru Mbak Siti." Siti ber-loh, "not kuning Mas Jess?!" ia bertanya kembali, mengoreksi perkataan Jessen. Kontan saja hal ini membuat Jessen, Mian dan Ver
Vero menyelonong masuk tanpa sebuah ketukan. Sudah biasa. Jadi orang-orang Dirgantara juga tak akan heran dengan muncul dan hilangnya pemimpin perusahaan saingan milik bosnya tersebut. "Selamat pagi Pak, Bu." sapa sekretaris Justine yang diabaikan oleh Vero."Pagi.. Terima kasih sudah menyapa, suami saya lagi tegangan tinggi. Bos kamu sudah sampai kan?!" Seharusnya Stefany tidak perlu bertanya. Vero yakin Justine pasti sudah sampai terlebih dulu ketimbang dirinya yang harus memutar arah tadi. "Bapak menunggu kopi, Bu. Silahkan masuk." Ujarnya mempersilahkan."TIN-TIINTIIN!!!" Seruan penuh energi yang dikeluarkan membuat tubuh Justine tersentak. Pria itu sampai memegangi dadanya sebab jantung yang terus berdetak akibat ulah sang sahabat. "Ngetok pintu dulu nggak bisa?! Jangan bilang sekertaris gue di depan juga sampe loncat gara-gara kemunculan, lo, Ver?!" Persetan! Vero tidak mau menjawab pertanyaan remeh itu. Iya datang bertujuan untuk memberitahukan Justine mengenai pesona Pr
Siapa yang bilang melihat wajah anak-anak sepulang kerja adalah obat mujarab untuk menghilangkan penat setelah seharian bergelut dengan tumpukan berkas?! Si Sinting itu, kasih dia pada Vero– dan Vero akan mengulitinya secara hidup-hidup karena telah menyebarkan rumor palsu. Hal itu jelas-jelas hoaks belaka. Nyatanya ia justru merasakan kelelahan yang semakin tinggi levelnya. Andai diberikan kuesioner angket penghitung stres, mungkin persentase yang Vero dapatkan mencapai angka sempurna. Seratus persen! “Papi boleh mandi dulu nggak sih, Boys?” Piyik-piyik milik Vero menengadahkan wajah, mereka menatap sang papi sebelum menggelengkan kepala, “no Papi! PR Jess sama Mian masih banyak!” ucap si vocal menjawab kemelasan papi mereka. Vero menggeleparkan tubuhnya ke karpet. Kaki dan tangannya menghentak-hentak. Ingin mengumpat tapi yang diumpat anak sendiri. Rasanya begitu melelahkan memiliki anak, apalagi langsung dua. Mendadak Vero iri pada Mischa yang langsung dapat indehoyan bersama
“Papi.. Itu gimana anaknya.” Stefany menggoyangkan lengan Vero.“Ver, kamu harus lakuin sesuatu!” pungkas Ray yang khawatir pada kondisi cucu-cucunya di dalam kamar.“Cucu Mommy, Abang. Abang harus keluarin mereka,” tidak ketinggalan, Mellia juga menyuarakan rasa khawatirnya. Mendesak Vero agar segera mengeluarkan mereka.“Bang..” baru satu kata, dan Vero sudah mengamuk, “kamu nggak usah ikut-ikutan, Valley! Kepala Abang udah mau pecah ini rasanya.” Sepertinya baru semalam seluruh isi kepalanya ia keluarkan untuk menggapai puncak bersama sang istri. Pagi ini kerangka-kerangka yang memuat otak dan sebagainya itu kembali dipenuhi tingkah-tingkah tak manusiawi Mian dan Jessen.Ya Tuhan, bagaimana bisa anak kelas TK Besar menyandera susternya sendiri. Nggak habis thinking Vero— dari mana mereka mendapatkan ide seperti itu? Pantas saja para suster mengundurkan diri, orang kelakuannya setingkat kenakalan anak remaja yang tak lagi membutuhkan peran pembantu pendamping.“Coba lewat jendela aj
“Mas Vero help Siti!”Rumah keluarga Husodo sekarang sudah mirip seperti tenda rumah hantu di salah satu wahana tempat bermain. Jeritan dan teriakan sejak tadi selalu menggema, tak berhenti meski para orang telah membubarkan diri masing-masing.Jenis gangguan akut yang diderita kedua anak yang sialnya kembar itu sudah tak lagi bisa tertolong. Semua orang menyerah, lalu melimpahkan semuanya ke tangan Vero. Biarlah ayah anak-anak itu yang mengurus. Semua orang dewasa tak lagi memiliki daya atas calon-calon buciners masa depan tersebut.“Papi transfer kami or Jessen cubitin Mbak Siti!”Vero dan Stefany langsung kalang kabut. Anak-anaknya ekstrim sekali— menjadikan Siti sebagai alat penyiksaan mereka. Kecilnya saja begini, bagaimana nanti besarnya mereka?!Vero melirik perut Stefany. Benaknya langsung kembali melengsot, mencari jalan keluar terampuh untuk menempuh hidup yang damai dan sentosa. ‘Bisa nggak ya mereka dimasukin balik ke perut Maminya?’ sang cendekiawan abal-abal mulai mengop