Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi.
Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan.
Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu.
“Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana.
“Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua di hari libur. Lu biasanya masih pacaran sama tumpukan kertas di meja kerja lu,” kelakarnya.
“Kebetulan, gua lagi gabut,” Ardan merespons. “Nanti malem, gua mau makan di Senopati. Bro Pinto ikut nggak?” tawarnya.
“Nggak,” tolak Pinto singkat. Dia mencetuskan alasan, “Gua mau rebahan.”
“Yang makan bukan gua doang,” Ardan menambahkan ujarannya. Ia menyebutkan nama orang-orang terdekatnya sekaligus kawan-kawan Pinto, “Sis Saroh, Sis Norma, sama Sis Vela juga ikut makan.”
Gemuruh di dada Pinto berdendang. Darahnya serasa mengalir dari ujung kaki ke ujung kepala. Tanpa aba-aba ia melonjak kegirangan.
“Gua ikut aja, Dan. Gua nggak jadi rebahan,” Pinto meralat keputusannya. “Nama restorannya apa?” dengan antusiasme bernyala dia bertanya.
“Nama restorannya bakal gua kirim lewat W*. Sama alamatnya sekalian,” jawab Ardan. “Bro Pinto beneran bisa dateng?” ia meminta penegasan Pinto.
“Gua pasti dateng,” tegas Pinto.
“Sip! Gua tutup teleponnya,” pungkas Ardan.
Pinto membayangkan acara nanti malam. Dalam bayangannya, acara nanti malam berbeda dengan acara tadi malam. Acara nanti malam akan menyamankan keadaannya. Acara nanti malam akan membasuh seisi jiwanya. Tak sabar ia menunggu malam tiba.
*****
Puluhan orang membanjiri ruangan yang arsitekturnya bergaya neoklasik. Dandanan mereka layaknya dandanan kalangan elit. Kemeja lengan panjang, blazer, atau jas adalah pakaian yang menyelimuti badan mereka. Sebagian dari mereka berdiri di dekat pilar marmer gelap dengan semburat keputihan berbingkai panel emas. Sebagian sisanya duduk di atas kursi yang di atasnya terdapat bantalan berbahan beludru. Mereka mengitari sebuah meja yang dilengkapi lampu yang memancarkan cahaya keemasan.
Pinto mengedarkan pandangannya, meneliti wajah-wajah mereka. Matanya berlabuh pada tiga orang yang duduk di bagian tengah. Pinto yakin betul, merekalah kawan-kawannya. Keyakinan Pinto menuntun dirinya menyamperi mereka.
“Ardan! Saroh! Norma!” Pinto memanggil mereka dengan senyum merentang.
Ardan langsung berdiri. Mendekap badan kurus Pinto. Pinto membalas dekapan Ardan secara erat. Cukup lama mereka saling mendekap. Mereka menikmati kehangatan dalam dekapan. Mereka mengakhirinya saat kedua kaki masing-masing lelah berdiri.
Pinto lalu menyalami tangan Saroh dan Norma. Sejurus kemudian dia menatap Saroh dengan wajah cerah. “Tadi pagi, saya baca berita tentang papa kamu di internet. Dia sama kolega-koleganya sedang ada di Bandara Soetta. Mereka sedang mengadakan konferensi pers,” dia menceritakan kejadian mengenai Khalim Mansyur kepada Saroh.
Saroh mengiakan cerita Pinto. Khalim Mansyur memang menyelenggarakan konferensi pers di Bandara Soetta pagi tadi.
Pinto memandangi kondisi di sekitarnya. Keganjilan ditemukannya. “Vela nggak dateng?”
“Vela sakit perut mendadak,” Saroh memberi tahu.
Pinto menempati kursi yang ada di sebelah Ardan. Penglihatannya berkeliling di atas lembaran-lembaran yang berisi daftar menu.
“Mas Pinto dateng ke sini sendirian?” Saroh menanya.
Karena sedang serius membaca buku menu, Pinto menjawab pertanyaan Saroh dengan kode anggukan.
“Sis Saroh jangan tanyain itu ke Bro Pinto. Nanti Bro Pinto terluka,” sahut Ardan.
Dahi Saroh mengernyit. Maksud sahutan Ardan benar-benar tidak dipahami olehnya
“Bro Pinto kalo kemana-mana sendirian. Nggak ada cewek yang nemenin dia,” ejek Ardan kepada Pinto.
Saroh diam saja.
Norma hampir tersedak karena sedang meminum Fresh Lemon Juice.
Pinto mesem.
“Emang Mas Pinto udah jomblo berapa lama?” Saroh menanya lagi.
Pinto mengangkat bahu ringan. Ia menggeleng-geleng.
“Mas Pinto kan lagi deket sama artis … Jadian sama dia aja. Siapa tahu jodoh,” Norma menyarankan.
Pinto memikir-mikir. Mencerna kalimat pada saran Norma. “Artis yang mana? Soalnya artis yang lagi dekat sama saya nggak cuma satu.”
“Wow, Mas Pinto ngeri banget! There are many female celebrities approach!" Norma takjub dengan pernyataan Pinto.
“Ya iya lah! Mas Pinto punya sesuatu yang bikin mereka bertekuk lutut. Mereka pasti mau. Wajar banget kalo mereka deketin Mas Pinto,” Saroh mengomentari ketakjuban Norma.
Komentar Saroh tidak ditanggapi oleh Pinto. Dia hanya tersenyum kecil.
“Artis-artis yang lagi deketin Mas Pinto pasti lebih cantik dari aku,” ucap Saroh. Tangannya menancapkan garpu ke potongan Beef Carpaccio.
Pinto sedikit tersentak. Ucapan Saroh bertentangan dengan opininya. Ia menolak ucapan Saroh. Namun, dia memendam dalam-dalam penolakannya.
“Jadian sama dia aja, Mas,” Norma mengulang sarannya.
Pinto langsung memasang tampang serius. “Bisa aja saya jadian. Tapi, saya belum siap ….” Kepalanya menunduk lesu.
“Belum siap apa?” Saroh menyela karena penasaran.
“Belum siap dijadikan mesin pencetak uang,” sambung Pinto dengan suara bergetar.
Saroh tertegun. Dipandanginya Pinto dengan sinar matanya yang padam, kegetiran dalam nada bicaranya, seolah-olah Pinto tengah mencurahkan keadaannya ke dalam kemalangan.
“Sabar ya, Mas. Itu namanya ujian hidup. Mas Pinto nggak akan jadi orang kuat kalo nggak pernah dapet ujian hidup,” Saroh menaruh simpati kepada Pinto.
Semburan tawa keluar dari mulut Pinto. “Mana ada saya dijadikan mesin pencetak uang.”
Raut muka Saroh berubah. Mengekspresikan kebingungan.
“Bro Pinto bercanda, Sis,” kata Ardan mewakili jawaban Pinto. “Candaan Bro Pinto nggak bisa diilangin,” Ardan menyertakan keterangan tambahan.
Saroh mengeluarkan napas panjang. “Mas Pinto ini gimana, sih! Kalo ngomong selalu nggak serius. Bikin candaan mulu. Padahal, kondisinya lagi serius. Bikin aku jengkel aja!” gerundelnya.
“Gua juga ngira Mas Pinto serius. Ternyata, Mas Pinto ngelaba,” tutur Norma usai memakan secuil Chicken Basket.
Pinto meringkuk terkikik mendengar omelan Saroh dan tuturan Norma. Dia merasa berhasil menjahili keduanya.
Suasana hening. Pinto, Saroh, Norma, dan Ardan asyik dengan hidangan utama
masing-masing. Mereka seolah-olah ingin bebas gangguan. Kepala mereka menunduk khidmat. Sepasang tangan mereka memberikan pelayanan maksimal demi kepuasan perut mereka. Dalam waktu sekejap, ukuran hidangan utamamereka berkurang drastis.“Sekarang, giliran Saroh yang bercerita,” Pinto memecah keheningan.
Saroh mendongak. “Cerita apa?”
“Cerita kisah asmara kamu,” jelas Pinto pendek.
Bukannya menceritakan perihal yang diminta Pinto. Saroh malah bergerak dari tempat duduknya. Berjalan menjauhi Pinto, Norma, dan Ardan.
Pinto dibuat menganga. Kaget bercampur bingung.
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebu
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinan
Perjalanan untuk pengerjaan pekerjaan Pinto dimulai. Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto bersambang ke provinsi satu pulau. Ketiganya meninggalkan Jakarta yang masih terbungkus pagi buta. Melalui kaca jendela, Pinto mengamati perputaran empat roda di tol Cikampek. Cepat nian. Saat Pinto sedang bersandar, dia memandang pertokoan, kios, dan warung di jalur Pantura Kabupaten Cirebon. Amat menawan. Mata Pinto beristirahat. Terpejam. Ketika kondisi Pinto terjaga, indera penglihatannya menjumpai penjual-penjual bawang merah. Hamparan telur asin ada di pinggir jalan berikutnya. Pinto terlalu mengerti. Kabupaten Brebes tengah menyuguhkan keelokan. Mobil terus melaju. Tak terasa, Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto sudah berada di simpang Maya, Kota Tegal. Mereka bertiga singgah di gerai McDonald’s. Pengusiran kelelahan sekaligus penumpasan rasa lapar adalah tujuannya. Sewaktu mengganjal perut, Pinto dilirik oleh sejumlah pengunjung. Pinto menyadari tindakan mere
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bi
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Berdasarkan pesan W* yang Pinto baca, Mas Ondi dan Mas Gagan tengah bercengkerama di lobi Hotel Ritz Carlton. Mas Ondi mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Mas Gagan menutupi tubuh bagian atasnya dengan kemeja batik berwarna cokelat tua. Di hotel yang sama, Pinto menebar pandangannya ke tiap sudut lobi. Ia menyapu para wanita. Memusatkan pria-pria berkemeja. Perhatiannya tertumbuk pada dua lelaki yang sedang berbincang lepas. Pinto yakin betul, merekalah manusia yang bersiap menyambut kedatangannya. Tanpa komando, Pinto berjalan menuju mereka. “Permisi … Nama Mas berdua, Mas Ondi sama Mas Gagan?” tanya Pinto hati-hati. Perbincangan mereka berdua terhenti. Kemudian, mengangguk bersamaan. Salah satu dari keduanya menyahut, “Anda pasti Pak Pinto.” Mulut Pinto melongo. Tidak mengira bahwa laki-laki itu mengetahui namanya. Pinto lantas menanyakan penyebab orang tersebut tahu namanya. “Seluruh warga Indonesia juga tahu nama Anda Pinto!” ceplos orang kedua.
Klausul kerja yang dirancang Staf Administrasi Pinto telah dipelajari oleh Mas Ondi dan Mas Gagan. Tiada satupun poin yang memberatkan. Semuanya adil bagi penerima kerja. Mereka menempelkan tanda tangan pada kontrak kerja yang dibuat Staf Adminstrasi Pinto. Duo sosiolog resmi berstatus TA tambahan Pinto. Sekarang, pukul delapan pagi hadir di sekitar Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua bersiap siaga. Bercokol di ruang kerja Pinto. Keduanya tengah menanti Pinto. Hendak menjabarkan salah satu rencana pekerjaan kepada tuan bos baru. Saat sedang bertukar lisan, Mas Ondi dan Mas Gagan menangkap bunyi derap kaki. Semakin lama semakin terdengar jelas suara tersebut. Pandangan mereka serta-merta beralih ke luar ruangan. Dan mereka melihat Pinto berdiri di samping pintu. “Lho, Mas Ondi sama Mas Gagan ada di sini?” Pinto menanya. Terperanjat dia menatap keberadaan Mas Ondi dan Mas Gagan. Pinto lalu menyalami kedua TA tambahannya. “Kami ada keperluan penting yang harus di
Celotehan Monik Okky memuat kerinduannya terhadap Pinto. Ingin sekali ia menemui Pinto. Saling berbagi buah tutur. Bertukar cerita menarik. Namun sayang, Monik Okky tersandera oleh jadwal padat. Kerinduan Monik Okky simetris dengan hasrat Pinto. Pinto terlalu ingin berada di sisi Monik Okky. Menikmati laku agung Monik Okky tanpa penghalang. Secara langsung merasakan kilau aura Monik Okky. Pinto enggan mengungkapkan hasratnya. Apabila Pinto mengungkapkan hasratnya, niscaya sangkaan keliru Monik Okky muncul. Dijamin, Pinto dilanda oleh kerepotan. Dia wajib mencurahkan isi perasaan sejatinya. Sudah tentu merembesi penawar kepahitan di sanubari Monik Okky. "Aku ada schedule di lokasi biasa hari Sabtu sore," Monik Okky mengabarkan rutinitasnya. "Kalau Kak Pinto pengin dateng, dateng aja." Pinto memahami kalimat terakhir Monik Okky. Monik Okky mengirimkan kode tersirat kepadanya. Jari tengah Pinto menggosok jidat. "Di situ ada wartawan, nggak? Kalau ada, wartawa