Mobil listrik Tesla Pinto bertatap muka dengan Essence Darmawangsa Apartment. Lalu, mendekati salah satu menara. Pinto dan Caca Yunita berpijak di unit apartemen Caca Yunita beberapa menit sesudahnya.
Baru saja Pinto duduk di sofa ruang tamu. Namun, perintah Caca Yunita telah siap menubruknya.
“Kamu jelasin pernyataan kamu sekarang!”
“Nanti dulu, Ca,” sergah Pinto. “Saya haus. Ingin minum.”
Caca Yunita segera melangkah ke dapur. Dia mengambil dua botol air berkarbonasi, kaleng yang berisi roti, dan plastik yang berisi keripik pedas. Tangannya menyerahkan salah satu botol kepada Pinto.
Pinto menerimanya dan meneguknya. Kesegaran menjalari kerongkongannya.
Setelah kedahagaannya lenyap, Pinto berkata, “Penyebab saya tidak tegas adalah status yang melekat pada diri saya. Status yang melekat pada diri saya menghambat kemajuan hubungan saya dan kamu. Saya nggak mampu melawannya.”
“Jadi, kamu anggap status kamu lebih tinggi ketimbang status aku? Level kamu beda sama level aku? Iya, gitu?” tembak Caca Yunita beruntun.
Pinto meletakkan botol yang ada di genggaman di atas meja. “Level saya dan kamu sama. Yang nggak sama adalah dampak dari status kamu dan dampak dari status aku. Dampak dari status kamu relatif kecil. Sementara dampak dari status saya relatif besar,” jawabnya. “Saya harap, kamu memaklumi masalah ini,” dia mengimbuhkan.
Pinto mengatakannya karena cuma kalangan tertentu yang memahami statusnya. Orang-orang awam sulit memahami penalaran statusnya. Logika mereka cenderung berseberangan dengan penalaran statusnya. Ketika Pinto ingin terbebas dari belenggu statusnya, mereka malah mengidamkan status Pinto.
Menurut Pinto, penalaran statusnya mungkin juga sulit diterima oleh Caca Yunita. Bilamana kemungkinan tersebut benar, Caca Yunita tidak akan menuding statusnya sebagai penyebab. Caca Yunita justru akan menganggap Pinto sebagai pembuat dalih. Pinto bisa memperoleh julukan “penghindar komitmen”.
“Aku nggak bisa maklumin, Mas.”
“Kok kamu nggak bisa memaklumi?”
“Omongan kamu nggak logis.”
“Kamu boleh bilang omongan saya nggak logis. Yang jelas, saya jujur.”
Dalam sanubarinya, Pinto menyayangkan pernyataan Caca Yunita. Pernyataan Caca Yunita menodai harapan Pinto. Andai mengetahui kondisi yang sebenarnya, Caca Yunita akan membinasakan nada ketusnya. Bahkan kedua tangannya akan mendekap erat raga Pinto. Sayang seribu sayang, dugaan Caca Yunita berlebihan.
“Kamu pasti bo’ong. Aku nggak percaya sama kamu,” tutur Caca Yunita yakin. Dia lantas menceplos, “Rakyat aja nggak percaya sama kamu!”
Gelak Pinto berdesakan keluar. Sindiran Caca Yunita terdengar jenaka di kupingnya.
“Andaikata saya berbohong, apakah kamu masih menuntut ketegasan saya?” Pinto menyodorkan pertanyaan serius.
Caca Yunita berpikir agak lama. Otaknya bekerja untuk penemuan kalimat yang cocok. “Kebohongan kamu malah nunjukin kalo kamu nggak tegas. Kamu mestinya malu sama diri kamu sendiri.”
“Ucapan kamu nggak menjawab pertanyaan saya,” secepat kilat Pinto membalas. “Tolong jawab pertanyaan saya. Biar saya tahu apa yang ada pikiran kamu,” mohonnya dengan penuh penekanan.
“O-ke. Aku ja-wab,” balas Caca Yunita terbata. “Aku tetep nuntut ketegasan kamu. Soalnya ketegasan kamu penting buat cinta aku. Tanpa ketegasan kamu, cinta aku kehilangan arah,” bebernya dibarengi pembuangan pandangan ke arah lain.
Terkaan Pinto jitu. Perempuan yang berada di hadapannya memang memendam suatu rasa. Mungkin saja, pemendaman rasa itu berlangsung sejak lama. Rasa itu membesar seiring perputaran waktu. Dan sekarang, jiwa Caca Yunita gagal menahannya.
Sejatinya, Pinto membebaskan segala rasa Caca Yunita. Hatinya membuka beribu kemauan Caca Yunita. Namun, Caca Yunita mesti memahami keterbatasan Pinto. Meski menggenggam status eksklusif, Pinto bukan manusia yang bebas bertindak. Kendala kadang merintangi upayanya.
“Menuntut ketegasan berbeda dengan memaksakan kehendak. Jangan sampai tuntutan kita melampaui kehendak orang lain. Karena setiap orang punya pilihan sendiri-sendiri,” Pinto mengutarakan sudut pandangnya.
“Aku rasa tuntutan aku masih wajar. Kamu juga bilang tuntutan aku itu hak aku,” Caca Yunita mempertahankan pendapatnya.
“Tuntutan kamu memang hak kamu,” Pinto mengiakan. Sejurus kemudian dia menampik, “Tapi, tuntutan kamu memaksa saya untuk memberikan ketegasan yang berujung pada pemuasan keinginan kamu. Kamu bakal marah kalau ketegasan saya gagal memuaskan keinginan kamu.”
Tiba-tiba terasa getaran pada paha kaki Pinto. Pinto refleks mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana jinsnya. Tubuhnya beringsut dan menjauhi Caca Yunita. Di depan pintu ruang tamu, Pinto berbincang riang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Cukup lama, sekitar lima belas menit.
“Dari siapa?” tanya Caca Yunita saat Pinto telah kembali berada di ruang tamu.
“Dari teman perempuan saya.”
Sekonyong-konyong wajah Caca Yunita menampakkan kerisauan. “Kamu sama dia ngobrolin apa?” selidiknya.
“Ngobrolin—Kita lanjutkan pembicaraan tadi aja, ya?”
Meskipun kecewa dengan respons Pinto, Caca Yunita mengangguk mantap.
“Benar, kan? Kamu bakal marah kalau ketegasan saya gagal memuaskan keinginan kamu?” Pinto mengulang kalimat yang terucap disertai sedikit penambahan.
“Nggak bakal!” tepisan lantang dilayangkan oleh Caca Yunita. “Aku bukan orang yang mentingin keinginan aku,” tandasnya.
Terlalu sukar Pinto memercayai pengakuan yang baru saja didengar. Sanggahan hendak terbang dari mulutnya. Namun, akal Pinto melarangnya. Polemik yang ada dapat bertambah pelik bila hal tersebut terjadi.
“Lagian, aku sadar. Aku bukan orang yang bisa nglakuin semua yang aku suka ke kamu. Aku nggak ada apa-apanya dibandingin kamu. Aku cuma gelang mainan, sementara kamu gelang emas,” Caca Yunita membentangkan pengakuannya.
Sekali lagi, kepercayaan Pinto terhadap pengakuan Caca Yunita sulit timbul. Harga kepercayaan Pinto untuk pengakuan Caca Yunita terlampau mahal.
“Kamu jangan minder,” ucap Pinto. “Pekerjaan kamu bagus. Penghasilan kamu besar. Pencapaian kamu mengagumkan. Jarang ada perempuan sehebat kamu,” ia pura-pura menyemangati Caca Yunita dengan sanjungan.
Bibir Caca Yunita mengibarkan senyum.
Senyuman lebar Pinto membalasnya.
“Jadi, kamu udah puas dengan pernyataan aku tadi?”
Caca Yunita menggelengkan kepala berulang kali.
Pinto meraih sejumput keripik pedas yang ada di dekatnya. Mengunyahnya pelan-pelan. “Apa alasannya?”
Tatapan Caca Yunita terhadap Pinto menajam. “Kamu cuma jelasin status kamu sama pemikiran bapak kamu. Kamu belum jelasin hati sama perasaan kamu.”
Tertegun Pinto di tempat. Kunyahan di mulutnya seketika berhenti.
“Kenapa kamu belum jelasin hati sama perasaan kamu? Kamu takut? Malu? Khawatir?” cecar Caca Yunita.
“Saya nggak—”
“Bilang aja kamu takut,” tuduh Caca Yunita. “Cowok itu kudu berani nyatain isi hati sama perasaan. Nyalinya harus gede,” ia setengah menasihati.
Pinto tertohok. Ia merasakan kebenaran dalam penuturan Caca Yunita. Namun, ia menyangkal tuduhan Caca Yunita, “Sekalipun nyali saya kecil, belum tentu saya takut menyatakan isi hati dan perasaan saya. Bisa aja saya berani menyatakan isi hati dan perasaan, tapi saya memilih diam.”
“Kamu milih diam karena kamu malu,” dengan kesinisan Caca Yunita menyimpulkan.
“Saya memilih diam karena saya punya pertimbangan khusus,” sanggah Pinto tajam seraya melirik dua jarum jam pada arlojinya.
Posisi duduk Caca Yunita bergerak maju, tanda antusias. “Pertimbangan khusus?”
Anggukan kepala Pinto menjawabnya.
“Pertimbangan khusus kamu apa?”
“Saya nggak bisa kasih tahu. Rahasia.”
Lagi-lagi emosi Caca Yunita disentuh oleh kesebalan. Untungnya, kesabarannya sudah membaik. Omelannya pun urung menghentak.
Badan Pinto bangkit berdiri. “Saya mau pulang, Ca. Udah jam satu malam. Saya udah ngantuk.” Dia mengambil tangan Caca Yunita dan menjabatnya. “Tolong antar saya turun ke bawah. Saya nggak bisa pulang tanpa kamu.”
Caca Yunita memberikan pertolongan yang dibutuhkan Pinto. Mengantar Pinto ke lobi sambil mengantongi access card.
Selepas kepulangan Pinto, Caca Yunita kembali ke ruang tamu. Masih terusik dan penasaran dengan “pertimbangan khusus”.
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon g
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebu
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinan
Perjalanan untuk pengerjaan pekerjaan Pinto dimulai. Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto bersambang ke provinsi satu pulau. Ketiganya meninggalkan Jakarta yang masih terbungkus pagi buta. Melalui kaca jendela, Pinto mengamati perputaran empat roda di tol Cikampek. Cepat nian. Saat Pinto sedang bersandar, dia memandang pertokoan, kios, dan warung di jalur Pantura Kabupaten Cirebon. Amat menawan. Mata Pinto beristirahat. Terpejam. Ketika kondisi Pinto terjaga, indera penglihatannya menjumpai penjual-penjual bawang merah. Hamparan telur asin ada di pinggir jalan berikutnya. Pinto terlalu mengerti. Kabupaten Brebes tengah menyuguhkan keelokan. Mobil terus melaju. Tak terasa, Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto sudah berada di simpang Maya, Kota Tegal. Mereka bertiga singgah di gerai McDonald’s. Pengusiran kelelahan sekaligus penumpasan rasa lapar adalah tujuannya. Sewaktu mengganjal perut, Pinto dilirik oleh sejumlah pengunjung. Pinto menyadari tindakan mere
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bi
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Berdasarkan pesan W* yang Pinto baca, Mas Ondi dan Mas Gagan tengah bercengkerama di lobi Hotel Ritz Carlton. Mas Ondi mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Mas Gagan menutupi tubuh bagian atasnya dengan kemeja batik berwarna cokelat tua. Di hotel yang sama, Pinto menebar pandangannya ke tiap sudut lobi. Ia menyapu para wanita. Memusatkan pria-pria berkemeja. Perhatiannya tertumbuk pada dua lelaki yang sedang berbincang lepas. Pinto yakin betul, merekalah manusia yang bersiap menyambut kedatangannya. Tanpa komando, Pinto berjalan menuju mereka. “Permisi … Nama Mas berdua, Mas Ondi sama Mas Gagan?” tanya Pinto hati-hati. Perbincangan mereka berdua terhenti. Kemudian, mengangguk bersamaan. Salah satu dari keduanya menyahut, “Anda pasti Pak Pinto.” Mulut Pinto melongo. Tidak mengira bahwa laki-laki itu mengetahui namanya. Pinto lantas menanyakan penyebab orang tersebut tahu namanya. “Seluruh warga Indonesia juga tahu nama Anda Pinto!” ceplos orang kedua.
Klausul kerja yang dirancang Staf Administrasi Pinto telah dipelajari oleh Mas Ondi dan Mas Gagan. Tiada satupun poin yang memberatkan. Semuanya adil bagi penerima kerja. Mereka menempelkan tanda tangan pada kontrak kerja yang dibuat Staf Adminstrasi Pinto. Duo sosiolog resmi berstatus TA tambahan Pinto. Sekarang, pukul delapan pagi hadir di sekitar Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua bersiap siaga. Bercokol di ruang kerja Pinto. Keduanya tengah menanti Pinto. Hendak menjabarkan salah satu rencana pekerjaan kepada tuan bos baru. Saat sedang bertukar lisan, Mas Ondi dan Mas Gagan menangkap bunyi derap kaki. Semakin lama semakin terdengar jelas suara tersebut. Pandangan mereka serta-merta beralih ke luar ruangan. Dan mereka melihat Pinto berdiri di samping pintu. “Lho, Mas Ondi sama Mas Gagan ada di sini?” Pinto menanya. Terperanjat dia menatap keberadaan Mas Ondi dan Mas Gagan. Pinto lalu menyalami kedua TA tambahannya. “Kami ada keperluan penting yang harus di