"Apa maksud kamu Adit? Kamu mau menikahi wanita miskin itu?" Tanya Pak Tomi dengan penuh emosi.
Tangan lelaki itu sudah terkepal menahan amarah. Bagaimana bisa Adit memilih Rani di antara sekian banyak wanita yang ada?
"Iya Pak, aku mau menikah dengan Rani," jawab Adit dengan tenang.
"Tidak!"
"Ingat baik-baik perkataan Bapak, jika kamu nekat menikahi wanita miskin itu ... sampai kapan pun Bapak tidak akan pernah merestui pernikahan kalian berdua!" Ancam Pak Tomi.
Lelaki separuh baya itu berharap dengan ancaman, Adit akan menuruti kemauannya. Ia tidak mungkin berani hidup tanpa fasilitas apa pun.
"Maaf Pak. Tapi, aku nggak bisa lepas tanggung jawab seperti itu. Rani sedang hamil anakku, jadi aku harus bertanggung jawab," jawab Adit.
Pemuda itu masih berharap jika sang ayah akan luluh dan memberikan restunya. Tetapi, Pak Tomi adalah seorang lelaki yang keras. Sifat itulah yang kini menurun kepada Adit- keras kepala.
“Kamu yakin anak itu adalah anakmu?” tanya bu Ana.
Wanita itu memang tahu kebiasaan jelek Adit yang suka bergonta ganti pacar. Jadi ... ia tidak mau sampai Adit terjebak. Tetapi, Adit menatap ibunya dengan yakin.
“Pada saat pertama melakukannya denganku, Rani masih perawan, Bu,” kata Adit.
Bu Ana menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Pak, apa tidak lebih baik jika kita nikahkan saja Adit dengan Rani?” tanya Bu Ana.
“Tidak bisa! Enak saja. Bapak tidak mau jika nama baik keluarga kita tercoreng begitu saja, Bu. Apa Ibu lupa siapa dan bagaimana keluarganya?” kata Pak Tomi.
Bu Ana menarik napas panjang.
“Ibu tahu siapa Rani dan keluarganya. Tapi, dia itu gadis yang cukup baik. Tapi, anak itu kan tidak salah. Itu darah daging kita juga,” kata bu Ana.
Pak Tomi langsung menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan mungkin mengikuti kemauan sang anak begitu saja.
“Tidak! Aku tidak akan pernah sudi memiliki menantu seperti Rani,” kata pak Tomi.
“Lalu Bapak maunya bagaimana? Anak itu adalah anakku, darah daging Bapak,” kata Adit.
PLAK!
Tak bisa menahan emosinya, Pak Tomi menampar Adit dengan keras.
“Sampai kapan juga aku tidak mau mengakui anak itu sebagai cucuku! Lihat ini, Bu. Ini semua akibat kamu terlalu memanjakan anak ini, jadinya dia semena-mena dan berbuat kurang ajar,” kata Tomi.
Bu Ana hanya bisa diam, selama ini ia memang selalu menuruti kemauan Adit. Apa saja yang Adit minta selalu ia berikan.
“Begini saja, yang namanya bertanggung jawab itu kan tidak harus menikah. Kita carikan saja lelaki yang mau menikah dengan Rani. Dia itu kan kembang desa, pasti banyak yang mau. Kita tinggal bayar saja orang itu,” kata Tomi.
“Maksud Bapak?”
“Ya kita nikahkan Rani dengan orang lain. Kita yang akan menanggung semua biaya pernikahannya. Bapak juga akan berikan modal untuk mereka nantinya, yang penting kamu tidak menikahi wanita itu,” kata Pak Tomi.
Ya, lebih baik ia kehilangan uang dari pada harus menanggung malu akibat ulah Adit. Tetapi, dengan tegas Adit langsung menggelengkan kepalanya.
“Nggak, saya nggak akan rela jika Rani menikah dengan orang lain. Untuk mendapatkan Rani, saya membutuhkan waktu setahun. Lalu ... setelah saya sudah payah mendapatkannya masa iya saya harus merelakan dia menikah dengan orang lain,” kata Adit.
“Apa yang kamu lihat dari gadis itu? Dia memang kembang desa, paling cantik. Tapi, cantik saja tidak cukup, Adit! Kita ini keluarga terhormat, bagaimana bisa kamu menikah dengan gadis itu. Jawabannya tetap tidak!” seru Pak Tomi dengan emosi.
Saking emosinya, tampak terlihat dadanya naik turun. Wajahnya sudah memerah menahan emosi. Melihat sang suami yang emosinya sudah naik, Bu Ana segera mendekat dan perlahan membimbing Pak Tomi untuk kembali duduk.
“Pak, sudah ... jangan seperti ini. Bapak emosi tidak akan membuat masalah selesai,” kata Bu Ana.
“Bagaimana tidak emosi jika melihat kelakuan anak seperti ini? Tidak bisa diatur,” kata Pak Tomi.
“Pak, kita mengalah saja.”
“Tidak! Apa kata orang nanti jika bapak berbesan dengan orang sakit jiwa? Miskin pula!”
“Jangan sombong, Pak. Bapak lupa jika harta yang kita dapatkan ini bukanlah harta warisan? Harta ini kita peroleh dengan susah payah. Kita bangun dari nol, jadi jangan sombong,” kata bu Ana berusaha mengingatkan.
Sebenarnya ia juga tidak mau jika Adit menikah karena kejadian hamil diluar nikah seperti ini. Tetapi, sebagai seorang wanita, ia bisa merasakan bagaimana perasaan Rani saat ini. Ia pasti bingung, panik dan ketakutan. Walau bagaimana anaknya harus bertanggung jawab.
“BAIK! Lupakan dia berasal dari keluarga miskin. Tapi, bagaimana dengan ayahnya Rani yang sakit jiwa itu? Ibu mau punya besan yang sakit jiwa?” kata pak Tomi.
“Lalu mau bagaimana lagi?” kata Bu Ana.
“Nikahkan dia dengan orang lain!” kata Pak Tomi lagi.
“Tidak, Pak! Sampai kapan pun saya tidak akan mengikhlaskan Rani untuk menikah dengan orang lain. Saya akan menikahinya dengan atau tanpa restu Bapak dan Ibu!” kata Adit dengan tegas.
Pak Tomi memelototkan matanya, ia merasa kemarahannya sudah ada di ubun-ubun. Anak yang selama ini ia sayang dan manjakan bisa menentangnya hanya karena seorang wanita.
“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ... silakan nikahi saja wanita itu. Tapi, detik ini juga kamu pergi dari rumah ini!” seru Pak Tomi.
“Pak! Jangan keterlaluan, walau bagaimana pun dia anak kita!” jerit bu Ana.
Ia menggoyangkan lengan suaminya.
“Pak, tolong jangan begitu,” kata bu Ana.
Namun, Pak Tomi mengentakkan tangan sang istri dan menatapnya dengan tajam.
“Tidak! Sekali aku bilang tidak ya tidak. Pilihannya hanya ada dua, dia menikahkan wanita itu dengan orang lain. Atau silakan angkat kaki dari rumah ini!” teriak Pak Tomi.
Adit menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Baik Pak, kalau itu yang Bapak inginkan, saya akan pergi dari rumah ini," jawab Adit.
Pemuda itu pun segera melangkah ke kamarnya dan membereskan pakaiannya, juga surat-surat penting untuk mengurus pernikahannya dengan Rani.
Melihat anak dan suaminya yang sama-sama keras, ia pun segera menyusul anaknya.
“Nak, jangan pergi, Ibu akan berusaha untuk bicara lagi dengan Bapakmu,” kata Bu Ana.
“Tidak usah, Bu. Saya tidak apa-apa. Biarkan saya bertanggung jawab untuk apa yang sudah Adit perbuat,” kata Adit sambil mengelus tangan sang ibu.
Setelah semuanya selesai, dengan membawa sebuah tas ransel, Adit pun segera melangkah pergi. Sedikit pun ia tidak menoleh ke arah Pak Tomi.
Melihat Adit yang pergi begitu saja yang tanpa peduli dengan ancaman darinya, Pak Tomi langsung meluapkan emosinya.
“Anak kurang ajar!” serunya sambil memecahkan barang-barang yang ada di rumahnya.
“Bagaimana para saksi, sah?”“Sah!”“Sah!” Seminggu setelah peristiwa pengusiran Adit dari rumah pernikahan Rani dan Adit pun dilaksanakan. Mereka memang melaksanakan pernikahan itu dengan sedikit terburu-buru. Karena tidak ingin perut Rani terlihat besar .Meski pun begitu, beberapa orang sudah tahu jika Rani hamil sebelum ia menikah.Sementara itu kedua orang tua Adit tidak menghadiri pernikahan yang sederhana itu. Tetapi, Bu Ana memberikan beberapa barang sebagai mas kawin kepada menantunya itu, tidak lupa Ia juga memberikan uang kepada Adit. Selama ini Adit membantu Pak Tomi di toko grosir milik Pak Tomi. Dan jika dia diusir, otomatis Adit tidak memiliki penghasilan. Itulah sebabnya, Bu Ana memberikan uang kepada sang anak. Walau bagaimana pun, Adit adalah anak kesayangannya. Sehingga, ia juga tidak mau jika Adit nantinya akan kesusahan.Rani yang merasa sangat sedih karena kedua mertuanya tidak datang dan memberikan restu mulai menangis. Air mata mulai menetes di pipinya.Bah
Sekarang kita mau ke mana?” tanya Rani. Adit dan Rani sudah berjalan ke sana kemari mencari kamar kos. Tetapi, mereka belum mendapatkan yang sesuai budget. “Kita ke hotel saja dulu, Sayang. Ini sudah mau maghrib juga. Kamu harus istirahat,” kata Adit. Ia tahu jika saat ini Rani pasti sudah lelah. “Dekat sini ada hotel, gimana kalo kita ke sana?” kata Adit. Rani pun menganggukkan kepalanya, ia juga sudah merasa sangat lelah. Adit pun menggandeng tangan Rani dan membawanya ke hotel. Mereka langsung booking kamar. Setelah menerima kunci, Adit dan Rani pun segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. “Besok pagi, biar aku saja yang mencari kontrakan untuk kita,” kata Adit. “Lalu aku?” “Ya, kamu tunggu di sini aja, Sayang. Nanti kalau sudah dapat baru kita cek out dari hotel ini,” kata Adit. Rani menganggukkan kepalanya, pasrah. “Gimana kamu aja, Mas.” “Kamu lapar?” tanya Adit saat tak sengaja mendengar perut Rani berbunyi. Istrinya itu hanya tersipu malu. “Iya, Mas. Aku l
Waktu berlalu, dan keuangan Adit dan Rani pun mulai menipis. Hal itu karena uang yang ada tidak mereka putar. Adit terlalu gengsi untuk berjualan sate seperti usul Rani.Adit sibuk mencari pekerjaan ke sana kemari yang sesuai dengan ijazah S1 yang ia miliki. Sehingga hanya dalam waktu 6 bulan uang mereka pun menipis, sementara Adit belum juga mendapatkan pekerjaan. “Bagaimana ini, Mas? Usia kehamilanku sudah delapan bulan, tapi kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang yang kita miliki sudah sangat menipis. Bagaimana aku melahirkan nanti?” tanya Rani pada suatu malam. “Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana kemari tapi memang belum dapat,” kata Adit. Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Coba seandainya kita dulu gunakan uangnya untuk usaha, Mas,” kata Rani. Adit memicingkan matanya, ia menatap Rani dengan tajam. “Maksudmu aku jualan sate seperti yang kamu katakan? Kamu sadar jika aku ini sarjana? Jika aku memiliki to
Rani tercekat, mantan kekasih? "Benar Ghea ini mantan kekasihmu, Mas?" Tanya Rani kepada Adit yang tampak sedang menatap Ghea dengan tatapan penuh kekaguman. "Ghea memang mantan kekasih Adit, dia juga anak pengusaha kaya yang terpandang. Dan dia baru menyelesaikan kuliahnya di Hongkong," kata Tomi. Lelaki itu memang sengaja mengundang Ghea datang ke rumahnya. Ia ingin hubungan Rani dan Adit renggang karena kehadiran Ghea. "Ah, Ayah ini suka melebih-lebihkan saja," kata Ghea. "Ayah kan hanya mengatakan apa adanya saja," kata Tomi. Ana yang melihat ada mendung di wajah Rani langsung berdeham pelan. "Ayo kita makan dulu, ibu sudah memasak buat kita. Dan ini juga ada oleh-oleh dari Ghea dari Hongkong, ada egg tart dan Lo mai gai. Ini makanan dari sana dibawa Ghea sengaja untuk kita," kata Ana. "Ini mirip bakcang ya?" Kata Adit. "Ya beda dong. Lo mai gai ini memang mirip bakcang, tapi kan ini dibawa dari Hongkong langsung. Ya emang sudah aku simpan dulu di freezer, tapi ini enak b
“Ghea, kamu nginep di sini?” tanya Rani.“Iya, soalnya semalam Ayah ngelarang aku untuk pulang karena udah malam banget. Dan Adit juga nggak mungkin nganterin aku, lagian nanti kalau ada nganterin aku kamu jadinya cemburu,” kata Ghea.Rani hanya terdiam, kemudian ia pun mendekati Ibu mertuanya. “Ada yang bisa Rani bantu, Bu?” tanyanya.“Kamu bantu ibu ulek bumbu aja. Oh ya, Ran lain kali jangan seperti semalam ya. Masa lagi makan terus tiba-tiba kamu pergi begitu aja ... nggak sopan. Mungkin ucapan ayahmu itu menyinggung, tapi sebagai seorang menantu yang baik dan juga orang yang memiliki attitude, sebaiknya hal itu jangan diulangi. Kamu kan bisa menahan-nahan diri. Kamu dan Adit itu sudah melakukan kesalahan. Jadi, wajar kalau ayahnya Adit masih merasa emosi kepada kalian berdua. Jangankan ayahnya, saya sendiri sebenarnya masih merasa kesal kepada kalian. Hanya saja saya masih memikirkan cucu saya dalam kandungan kamu itu,” kata Bu Ana dengan kesal.Sebenarnya, Bu Ana yang sudah mera
Rani terpaksa duduk bersama Ghea dan kedua mertuanya di meja makan. Ia tidak banyak bicara, tepatnya tidak berbicara sama sekali. Pembicaraan didominasi oleh Gea Adit dan Pak Tomi.Tampak jelas di mata Rani jika Pak Tomi sangat menyayangi Ghea, bahkan lelaki itu selalu memuji-muji Ghea."Jadi rencananya kamu akan bekerja di mana Ghe?" tanya Pak Tomi kepada Ghea."Sudah ada beberapa perusahaan yang menawari pekerjaan salah satunya sebagai kepala accounting. Tetapi gajinya belum ada yang sesuai. Meskipun fresh graduate, tapi aku kan lulusan luar negeri jadi patut dipertimbangkan. Kalau seandainya gaji di bawah lima juta, mungkin Ghea tidak akan menerimanya, Ayah," kata Ghea."Enak ya kalau lulusan luar negeri bisa tawar-menawar gaji," kata Adit dengan penuh kekaguman."Ya kamu waktu itu mau Ayah sekolahin ke luar negeri kamunya nggak mau. Coba kalau waktu itu kamu mau sekolah di luar negeri bersama Gea, mungkin saat ini juga kamu sudah mendapat pekerjaan yang bagus," kata Pak Tomi."Me
“Aku nggak nyangka kalo kamu bakalan nikah sama gadis polos kayak Rani. Jauh banget dari selera kamu sebelumnya,” kata Ghea. Gadis itu memang sengaja mampir ke toko milik Pak Tomi ketika jam makan siang. “Ya, tadinya aku hanya main-main aja sama dia. Nggak taunya malah kepincut beneran,” jawab Adit.“Kamu nggak curiga kalo dia nikah sama kamu hanya untuk dapetin harta aja? Secara keluarganya itu kan miskin, dan bapaknya dirawat di RSJ,” kata Ghea lagi. Adit menghela napas panjang, ia sama sekali tidak berpikir hal itu. Di matanya Rani adalah gadis yang sangat polos. Jika ia memperlakukan Rani seperti tadi pagi tidak lain karena ia merasa Rani sudah bersikap tidak sopan semalam, apa lagi mereka baru tinggal di rumah lagi. Adit tidak mau jika gara-gara masalah sepele mereka diusir untuk kedua kalinya. Selama beberapa bulan ini, Adit sudah merasakan tidak enaknya mencari pekerjaan di luar.“Rani gadis polos, waktu kami diusir pun dia bisa hidup susah bersamaku,” bela Adit. Ghea tert
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" seru Rani kaget. Bagaimana tidak kaget jika melihat suami tercinta sedang disuapi oleh wanita lain yang notabene adalah mantan kekasihnya. Sementara Gea dan Adit terkejut saat melihat Rani yang masuk melalui pintu sambil membawa rantang berisi makanan.Tetapi, keterkejutan Gea hanya beberapa saat. Gadis itu sangat pintar menguasai keadaan. Dengan gayanya yang sangat elegan Ia pun tersenyum dan menghampiri Rani."Eh kamu, Ran ... ayo masuk. Aku kebetulan masak banyak dan ibuku menyuruhku membawakan ini untuk Adit. Kebetulan ini masakan kesukaan Adit, kamu mau cicip?" kata Gea sambil menggandeng tangan Rani untuk masuk.Sebenarnya Rani sangat muak sekali kepada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin sekali ia mencakar dan mencabik-cabik wajah cantik Gea yang tersenyum penuh kepalsuan di hadapannya."Aku masak susah-susah ternyata kamu sudah makan. Hmm ... ya udah makanan ini untuk karyawan kamu aja, Mas," kata Rani sambil menaruh rantang ber