Share

2. Mencoba Meminta Restu.

"Apa maksud kamu Adit? Kamu mau menikahi wanita miskin itu?" Tanya Pak Tomi dengan penuh emosi.

 Tangan lelaki itu sudah terkepal menahan amarah. Bagaimana bisa Adit memilih Rani di antara sekian banyak wanita yang ada? 

"Iya Pak, aku mau menikah dengan Rani," jawab Adit dengan tenang.

"Tidak!"

"Ingat baik-baik perkataan Bapak, jika kamu nekat menikahi wanita miskin itu ... sampai kapan pun Bapak tidak akan pernah merestui pernikahan kalian berdua!" Ancam Pak Tomi.

 Lelaki separuh baya itu berharap dengan ancaman, Adit akan menuruti kemauannya. Ia tidak mungkin berani hidup tanpa fasilitas apa pun.

"Maaf Pak. Tapi, aku nggak bisa lepas tanggung jawab seperti itu. Rani sedang hamil anakku, jadi aku harus bertanggung jawab," jawab Adit. 

 Pemuda itu masih berharap jika sang ayah akan luluh dan memberikan restunya. Tetapi, Pak Tomi adalah seorang lelaki yang keras. Sifat itulah yang kini menurun kepada Adit- keras kepala.

“Kamu yakin anak itu adalah anakmu?” tanya bu Ana. 

Wanita itu memang tahu kebiasaan jelek Adit yang suka bergonta ganti pacar. Jadi ... ia tidak mau sampai Adit terjebak. Tetapi, Adit menatap ibunya dengan yakin.

“Pada saat pertama melakukannya denganku, Rani masih perawan, Bu,” kata Adit. 

Bu Ana menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. 

“Pak, apa tidak lebih baik jika kita nikahkan saja Adit dengan Rani?” tanya Bu Ana. 

“Tidak bisa! Enak saja. Bapak tidak mau jika nama baik keluarga kita tercoreng begitu saja, Bu. Apa Ibu lupa siapa dan bagaimana keluarganya?” kata Pak Tomi.

Bu Ana menarik napas panjang. 

“Ibu tahu siapa Rani dan keluarganya. Tapi, dia itu gadis yang cukup baik. Tapi, anak itu kan tidak salah. Itu darah daging kita juga,” kata bu Ana. 

 Pak Tomi langsung menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan mungkin mengikuti kemauan sang anak begitu saja. 

“Tidak! Aku tidak akan pernah sudi memiliki menantu seperti Rani,” kata pak Tomi.

“Lalu Bapak maunya bagaimana? Anak itu adalah anakku, darah daging Bapak,” kata Adit. 

PLAK!

 Tak bisa menahan emosinya, Pak Tomi menampar Adit dengan keras. 

“Sampai kapan juga aku tidak mau mengakui anak itu sebagai cucuku! Lihat ini, Bu. Ini semua akibat kamu terlalu memanjakan anak ini, jadinya dia semena-mena dan berbuat kurang ajar,” kata Tomi. 

 Bu Ana hanya bisa diam, selama ini ia memang selalu menuruti kemauan Adit. Apa saja yang Adit minta selalu ia berikan. 

“Begini saja, yang namanya bertanggung jawab itu kan tidak harus menikah. Kita carikan saja lelaki yang mau menikah dengan Rani. Dia itu kan kembang desa, pasti banyak yang mau. Kita tinggal bayar saja orang itu,” kata Tomi. 

“Maksud Bapak?” 

“Ya kita nikahkan Rani dengan orang lain. Kita yang akan menanggung semua biaya pernikahannya. Bapak juga akan berikan modal untuk mereka nantinya, yang penting kamu tidak menikahi wanita itu,” kata Pak Tomi. 

 Ya, lebih baik ia kehilangan uang dari pada harus menanggung malu akibat ulah Adit. Tetapi, dengan tegas Adit langsung menggelengkan kepalanya. 

“Nggak, saya nggak akan rela jika Rani menikah dengan orang lain. Untuk mendapatkan Rani, saya membutuhkan waktu setahun. Lalu ... setelah saya sudah payah mendapatkannya masa iya saya harus merelakan dia menikah dengan orang lain,” kata Adit. 

“Apa yang kamu lihat dari gadis itu? Dia memang kembang desa, paling cantik. Tapi, cantik saja tidak cukup, Adit! Kita ini keluarga terhormat, bagaimana bisa kamu menikah dengan gadis itu. Jawabannya tetap tidak!” seru Pak Tomi dengan emosi. 

 Saking emosinya, tampak terlihat dadanya naik turun. Wajahnya sudah memerah menahan emosi. Melihat sang suami yang emosinya sudah naik, Bu Ana segera mendekat dan perlahan membimbing Pak Tomi untuk kembali duduk. 

“Pak, sudah ... jangan seperti ini. Bapak emosi tidak akan membuat masalah selesai,” kata Bu Ana. 

“Bagaimana tidak emosi jika melihat kelakuan anak seperti ini? Tidak bisa diatur,” kata Pak Tomi. 

“Pak, kita mengalah saja.”

“Tidak! Apa kata orang nanti jika bapak berbesan dengan orang sakit jiwa? Miskin pula!” 

“Jangan sombong, Pak. Bapak lupa jika harta yang kita dapatkan ini bukanlah harta warisan? Harta ini kita peroleh dengan susah payah. Kita bangun dari nol, jadi jangan sombong,” kata bu Ana berusaha mengingatkan. 

 Sebenarnya ia juga tidak mau jika Adit menikah karena kejadian hamil diluar nikah seperti ini. Tetapi, sebagai seorang wanita, ia bisa merasakan bagaimana perasaan Rani saat ini. Ia pasti bingung, panik dan ketakutan. Walau bagaimana anaknya harus bertanggung jawab. 

“BAIK! Lupakan dia berasal dari keluarga miskin. Tapi, bagaimana dengan ayahnya Rani yang sakit jiwa itu? Ibu mau punya besan yang sakit jiwa?” kata pak Tomi. 

“Lalu mau bagaimana lagi?” kata Bu Ana. 

“Nikahkan dia dengan orang lain!” kata Pak Tomi lagi.

“Tidak, Pak! Sampai kapan pun saya tidak akan mengikhlaskan Rani untuk menikah dengan orang lain. Saya akan menikahinya dengan atau tanpa restu Bapak dan Ibu!” kata Adit dengan tegas. 

 Pak Tomi memelototkan matanya, ia merasa kemarahannya sudah ada di ubun-ubun. Anak yang selama ini ia sayang dan manjakan bisa menentangnya hanya karena seorang wanita. 

“Baik, kalau itu yang kamu mau. Silakan ... silakan nikahi saja wanita itu. Tapi, detik ini juga kamu pergi dari rumah ini!” seru Pak Tomi. 

“Pak! Jangan keterlaluan, walau bagaimana pun dia anak kita!” jerit bu Ana. 

 Ia menggoyangkan lengan suaminya. 

“Pak, tolong jangan begitu,” kata bu Ana. 

 Namun, Pak Tomi mengentakkan tangan sang istri dan menatapnya dengan tajam. 

“Tidak! Sekali aku bilang tidak ya tidak. Pilihannya hanya ada dua, dia menikahkan wanita itu dengan orang lain. Atau silakan angkat kaki dari rumah ini!” teriak Pak Tomi. 

Adit menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Baik Pak, kalau itu yang Bapak inginkan, saya akan pergi dari rumah ini," jawab Adit. 

 Pemuda itu pun segera melangkah ke kamarnya dan membereskan pakaiannya, juga surat-surat penting untuk mengurus pernikahannya dengan Rani. 

 Melihat anak dan suaminya yang sama-sama keras, ia pun segera menyusul anaknya. 

“Nak, jangan pergi, Ibu akan berusaha untuk bicara lagi dengan Bapakmu,” kata Bu Ana. 

“Tidak usah, Bu. Saya tidak apa-apa. Biarkan saya bertanggung jawab untuk apa yang sudah Adit perbuat,” kata Adit sambil mengelus tangan sang ibu.

 Setelah semuanya selesai, dengan membawa sebuah tas ransel, Adit pun segera melangkah pergi. Sedikit pun ia tidak menoleh ke arah Pak Tomi. 

Melihat Adit yang pergi begitu saja yang tanpa peduli dengan ancaman darinya, Pak Tomi langsung meluapkan emosinya. 

“Anak kurang ajar!” serunya sambil memecahkan barang-barang yang ada di rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status