“Bagaimana para saksi, sah?”
“Sah!”
“Sah!”
Seminggu setelah peristiwa pengusiran Adit dari rumah pernikahan Rani dan Adit pun dilaksanakan.
Mereka memang melaksanakan pernikahan itu dengan sedikit terburu-buru. Karena tidak ingin perut Rani terlihat besar .Meski pun begitu, beberapa orang sudah tahu jika Rani hamil sebelum ia menikah.
Sementara itu kedua orang tua Adit tidak menghadiri pernikahan yang sederhana itu. Tetapi, Bu Ana memberikan beberapa barang sebagai mas kawin kepada menantunya itu, tidak lupa Ia juga memberikan uang kepada Adit.
Selama ini Adit membantu Pak Tomi di toko grosir milik Pak Tomi. Dan jika dia diusir, otomatis Adit tidak memiliki penghasilan.
Itulah sebabnya, Bu Ana memberikan uang kepada sang anak. Walau bagaimana pun, Adit adalah anak kesayangannya. Sehingga, ia juga tidak mau jika Adit nantinya akan kesusahan.
Rani yang merasa sangat sedih karena kedua mertuanya tidak datang dan memberikan restu mulai menangis. Air mata mulai menetes di pipinya.
Bahkan mereka hanya menikah di KUA dan membagikan nasi kotak ke tetangga dekat rumah mereka karena memang tidak mengadakan resepsi.
Tentu saja hal ini membuat banyak pertanyaan dari tetangga-tetangga mereka dan mereka pun menarik kesimpulan jika Rani sudah hamil diluar nikah. Oleh karena itu pernikahannya pun dilaksanakan secara buru-buru.
Terlebih orang-orang di kampung itu mengetahui, jika Adit adalah anak seorang pemilik toko grosir terbesar di kampung mereka.
“Pasti kedua orang tua Adit tidak merestui pernikahan putranya. Bapaknya si Rani kan orang gila. Mana mungkin orang terhormat seperti Pak Tomi mau menikahkan anaknya dengan anak orang gila,” kata tetangga Rani.
“Iya, kayaknya sih hamil duluan.”
Begitulah gosip-gosip yang terdengar di luaran. Hal itu tentu saja membuat Bude Yatmi merasa sangat terganggu.
Dengan kesal, ia pun langsung mengetuk pintu kamar keponakannya itu.
Sehabis melaksanakan ijab qobul, Rani dan Adit memang pulang ke rumah Bude Yatmi, karena selama ini Rani tinggal bersama budenya itu.
“Ran, buka pintu!” seru Bude Yatmi.
Rani dan Adit yang baru saja selesai berganti pakaian saling pandang. Tetapi, mereka pun langsung membukakan pintu.
“Ada apa Bude?” tanya Rani dengan wajah penuh kebingungan.
“Kalian sudah menikah, kan? Sekarang tugas Bude untuk menjagamu sudah selesai. Jadi, Bude mau kamu dan suamimu meninggalkan rumah ini. Bude sudah pusing mendengarkan omongan tetangga,” kata Bude Yatmi dengan kesal.
Rani menatap Bude Yatmi dengan penuh kesedihan. Ia tidak menyangka jika budenya itu tega mengusirnya.
“Maksudnya, Bude mengusir kami?” kata Rani.
“Apa ucapanku kurang jelas? Iya bude sudah mengusirmu. Bude tidak mau kamu tinggal di rumah ini lagi. Bude mau kamu dan Adit pergi.”
Wajah Rani memucat, sebelumnya ia tidak pernah tinggal jauh dari Budenya. Dan ia juga belum pernah bekerja di mana pun. Sehingga ia bingung bagaimana setelah ini. Ia pun menoleh dan menatap sang suami.
“Mas, bagaimana ini?” kata Rani kepada Adit.
Adit menghela napas panjang. Ia memang masih memiliki uang.
Tadinya uang itu akan ia gunakan sebagai modal usaha. Tetapi, sepertinya ia harus menggunakan uang itu untuk mencari kontrakan rumah, ia tidak mungkin membawa Rani pulang ke rumahnya.
“Bude ... Apakah Bude benar-benar mau mengusir kami?” tanya Rani sekali lagi.
“Iya, kuping Bude terasa panas. Kamu itu sudah melempar kotoran ke wajah bude. Padahal, kurang apa bude selama ini? Bude sudah membesarkanmu dari kecil, tetapi seperti ini balasanmu pada bude?” kata Bude Yatmi dengan kesal.
Sebagai orang tua yang sudah membesarkan Rani sejak kecil merasa sangat kesal sekaligus sedih. Seandainya saja Rani tidak hamil duluan.
“Maafkan Rani, Bude. Rani khilaf ... maafkan Rani. Tapi, izinkan Rani dan Adit tinggal sementara di rumah ini. Kami tidak tahu harus ke mana,” kata Rani memohon.
Tetapi, Bude Yatmi melotot kesal.
“TIDAK!” serunya.
Wanita separuh baya itu pun menatap Rani dan Adit dengan emosi.
“Mau sampai kapan kalian tinggal di rumah ini? Kamu sekarang sudah memiliki suami, lebih baik kalian mengontrak. Jangan tinggal di sini lagi. Bude sudah malu dengan tetangga-tetangga.”
Bude Yatmi menarik napas panjang sejenak sebelum kembali meneruskan ucapannya.
“Kamu memang menikah dengan anak orang kaya. Tetapi, anak ini pun sudah dibuang oleh orang tuanya karena menikahi kamu! Tidak ada rasa kebanggaan di pernikahan ini. Bahkan ,orang tuanya Adit pun tidak datang ke rumah ini untuk menyaksikan ijab qobul kalian. Sekarang pergi!”
Rani hanya bisa terisak mendengar ucapan budenya. Sejak kecil, ia memang dirawat oleh Bude Yatmi.
Pak Edi Ayahnya mengalami depresi semenjak Ibunya meninggal dunia. Semua orang juga mengetahui jika Pak Edi sangat mencintai istrinya, sehingga ketika sang istri meninggal ia tidak kuat menahan kesedihan, dan ia pun menjadi depresi hingga akhirnya gila.
Sejak saat itulah Rani tinggal bersama Bude Yatmi. Bude Yatmi lah yang membesarkan Rani dan menyekolahkannya. Sehingga, wajar jika wanita setengah baya itu marah, karena Rani sudah menghilangkan kepercayaan yang ia berikan.
“Sudahlah sayang, sekarang kita bereskan saja barang-barang, kita keluar dari rumah ini,” kata Adit.
“Iya, kalian memang harus keluar dari rumah saya! Toh kalian sudah besar, sudah berumah tangga. Tidak baik menumpang dengan orang tua,” kata Bude Yatmi dengan kasar.
Sesungguhnya, wanita itu pun sedang menahan sakit di dalam hatinya. Sebenarnya, ia tidak tega untuk mengusir Rani dari rumah itu. Tetapi, ia juga tidak kuat mendengar omongan tetangga di luar sana yang menghina Rani.
“Baik Bude, sekarang juga kami akan pergi dari rumah,” ini kata Adit.
“Kita mau ke mana, Mas?” tanya Rani dengan cemas.
Adit tersenyum, kemudian mengelus bahu sang istri perlahan. Lalu, ia menggandeng tangan Rani.
“Ayo, kita bereskan barang-barang kita. Tasku belum aku keluarkan, jadi kamu bereskan barang-barangmu saja. Ayo aku bantu,” kata Adit.
Dengan dibantu oleh Adit, Rani pun memasukkan pakaiannya yang tidak terlalu banyak ke dalam sebuah koper yang sudah usang. Ia juga memasukkan ijazah SMA-nya ke dalam koper itu.
Tidak banyak barang yang mereka bawa, karena memang mereka tidak memiliki apa-apa.
Setelah selesai, Rani dan Adit pun keluar dari kamar mereka menghampiri Bude Yatmi yang tengah duduk di kursi sofa sambil merenung.
“Bude, kami mohon pamit. Terima kasih selama ini bude sudah membantu Rani. Maafkan kesalahan Rani, Bude,”kata Rani sambil memeluk Bude Yatmi.
Wanita itu tidak membalas pelukan Rani. Tatapan matanya entah ke mana, tetapi tampak jelas jika ia sedang merasa sedih.
“Pergilah, mumpung hari masih siang. Jadi, kalian bisa mencari rumah kontrakan,” katanya.
Perlahan, Adit menghampiri Bude Yatmi. Ia berniat untuk mencium tangan Bude Yatmi, tetapi wanita itu mengibaskan tangannya tidak sudi disentuh oleh Adit.
“Kami pamit, Bude,” kata keduanya.
Sambil membawa koper milik Rani dan juga tas ransel miliknya, Adit dan Rani pun keluar dari rumah Bude Yatmi, mereka berjalan menyusuri jalan setapak di kampung itu.
“Maafkan aku ya Ran. Aku tidak bisa memberikan pesta yang meriah kepadamu, malah kita juga diusir oleh Budemu, tapi aku janji akan membahagiakanmu dan anak kita.”
Sekarang kita mau ke mana?” tanya Rani. Adit dan Rani sudah berjalan ke sana kemari mencari kamar kos. Tetapi, mereka belum mendapatkan yang sesuai budget. “Kita ke hotel saja dulu, Sayang. Ini sudah mau maghrib juga. Kamu harus istirahat,” kata Adit. Ia tahu jika saat ini Rani pasti sudah lelah. “Dekat sini ada hotel, gimana kalo kita ke sana?” kata Adit. Rani pun menganggukkan kepalanya, ia juga sudah merasa sangat lelah. Adit pun menggandeng tangan Rani dan membawanya ke hotel. Mereka langsung booking kamar. Setelah menerima kunci, Adit dan Rani pun segera masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. “Besok pagi, biar aku saja yang mencari kontrakan untuk kita,” kata Adit. “Lalu aku?” “Ya, kamu tunggu di sini aja, Sayang. Nanti kalau sudah dapat baru kita cek out dari hotel ini,” kata Adit. Rani menganggukkan kepalanya, pasrah. “Gimana kamu aja, Mas.” “Kamu lapar?” tanya Adit saat tak sengaja mendengar perut Rani berbunyi. Istrinya itu hanya tersipu malu. “Iya, Mas. Aku l
Waktu berlalu, dan keuangan Adit dan Rani pun mulai menipis. Hal itu karena uang yang ada tidak mereka putar. Adit terlalu gengsi untuk berjualan sate seperti usul Rani.Adit sibuk mencari pekerjaan ke sana kemari yang sesuai dengan ijazah S1 yang ia miliki. Sehingga hanya dalam waktu 6 bulan uang mereka pun menipis, sementara Adit belum juga mendapatkan pekerjaan. “Bagaimana ini, Mas? Usia kehamilanku sudah delapan bulan, tapi kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang yang kita miliki sudah sangat menipis. Bagaimana aku melahirkan nanti?” tanya Rani pada suatu malam. “Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana kemari tapi memang belum dapat,” kata Adit. Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.“Coba seandainya kita dulu gunakan uangnya untuk usaha, Mas,” kata Rani. Adit memicingkan matanya, ia menatap Rani dengan tajam. “Maksudmu aku jualan sate seperti yang kamu katakan? Kamu sadar jika aku ini sarjana? Jika aku memiliki to
Rani tercekat, mantan kekasih? "Benar Ghea ini mantan kekasihmu, Mas?" Tanya Rani kepada Adit yang tampak sedang menatap Ghea dengan tatapan penuh kekaguman. "Ghea memang mantan kekasih Adit, dia juga anak pengusaha kaya yang terpandang. Dan dia baru menyelesaikan kuliahnya di Hongkong," kata Tomi. Lelaki itu memang sengaja mengundang Ghea datang ke rumahnya. Ia ingin hubungan Rani dan Adit renggang karena kehadiran Ghea. "Ah, Ayah ini suka melebih-lebihkan saja," kata Ghea. "Ayah kan hanya mengatakan apa adanya saja," kata Tomi. Ana yang melihat ada mendung di wajah Rani langsung berdeham pelan. "Ayo kita makan dulu, ibu sudah memasak buat kita. Dan ini juga ada oleh-oleh dari Ghea dari Hongkong, ada egg tart dan Lo mai gai. Ini makanan dari sana dibawa Ghea sengaja untuk kita," kata Ana. "Ini mirip bakcang ya?" Kata Adit. "Ya beda dong. Lo mai gai ini memang mirip bakcang, tapi kan ini dibawa dari Hongkong langsung. Ya emang sudah aku simpan dulu di freezer, tapi ini enak b
“Ghea, kamu nginep di sini?” tanya Rani.“Iya, soalnya semalam Ayah ngelarang aku untuk pulang karena udah malam banget. Dan Adit juga nggak mungkin nganterin aku, lagian nanti kalau ada nganterin aku kamu jadinya cemburu,” kata Ghea.Rani hanya terdiam, kemudian ia pun mendekati Ibu mertuanya. “Ada yang bisa Rani bantu, Bu?” tanyanya.“Kamu bantu ibu ulek bumbu aja. Oh ya, Ran lain kali jangan seperti semalam ya. Masa lagi makan terus tiba-tiba kamu pergi begitu aja ... nggak sopan. Mungkin ucapan ayahmu itu menyinggung, tapi sebagai seorang menantu yang baik dan juga orang yang memiliki attitude, sebaiknya hal itu jangan diulangi. Kamu kan bisa menahan-nahan diri. Kamu dan Adit itu sudah melakukan kesalahan. Jadi, wajar kalau ayahnya Adit masih merasa emosi kepada kalian berdua. Jangankan ayahnya, saya sendiri sebenarnya masih merasa kesal kepada kalian. Hanya saja saya masih memikirkan cucu saya dalam kandungan kamu itu,” kata Bu Ana dengan kesal.Sebenarnya, Bu Ana yang sudah mera
Rani terpaksa duduk bersama Ghea dan kedua mertuanya di meja makan. Ia tidak banyak bicara, tepatnya tidak berbicara sama sekali. Pembicaraan didominasi oleh Gea Adit dan Pak Tomi.Tampak jelas di mata Rani jika Pak Tomi sangat menyayangi Ghea, bahkan lelaki itu selalu memuji-muji Ghea."Jadi rencananya kamu akan bekerja di mana Ghe?" tanya Pak Tomi kepada Ghea."Sudah ada beberapa perusahaan yang menawari pekerjaan salah satunya sebagai kepala accounting. Tetapi gajinya belum ada yang sesuai. Meskipun fresh graduate, tapi aku kan lulusan luar negeri jadi patut dipertimbangkan. Kalau seandainya gaji di bawah lima juta, mungkin Ghea tidak akan menerimanya, Ayah," kata Ghea."Enak ya kalau lulusan luar negeri bisa tawar-menawar gaji," kata Adit dengan penuh kekaguman."Ya kamu waktu itu mau Ayah sekolahin ke luar negeri kamunya nggak mau. Coba kalau waktu itu kamu mau sekolah di luar negeri bersama Gea, mungkin saat ini juga kamu sudah mendapat pekerjaan yang bagus," kata Pak Tomi."Me
“Aku nggak nyangka kalo kamu bakalan nikah sama gadis polos kayak Rani. Jauh banget dari selera kamu sebelumnya,” kata Ghea. Gadis itu memang sengaja mampir ke toko milik Pak Tomi ketika jam makan siang. “Ya, tadinya aku hanya main-main aja sama dia. Nggak taunya malah kepincut beneran,” jawab Adit.“Kamu nggak curiga kalo dia nikah sama kamu hanya untuk dapetin harta aja? Secara keluarganya itu kan miskin, dan bapaknya dirawat di RSJ,” kata Ghea lagi. Adit menghela napas panjang, ia sama sekali tidak berpikir hal itu. Di matanya Rani adalah gadis yang sangat polos. Jika ia memperlakukan Rani seperti tadi pagi tidak lain karena ia merasa Rani sudah bersikap tidak sopan semalam, apa lagi mereka baru tinggal di rumah lagi. Adit tidak mau jika gara-gara masalah sepele mereka diusir untuk kedua kalinya. Selama beberapa bulan ini, Adit sudah merasakan tidak enaknya mencari pekerjaan di luar.“Rani gadis polos, waktu kami diusir pun dia bisa hidup susah bersamaku,” bela Adit. Ghea tert
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" seru Rani kaget. Bagaimana tidak kaget jika melihat suami tercinta sedang disuapi oleh wanita lain yang notabene adalah mantan kekasihnya. Sementara Gea dan Adit terkejut saat melihat Rani yang masuk melalui pintu sambil membawa rantang berisi makanan.Tetapi, keterkejutan Gea hanya beberapa saat. Gadis itu sangat pintar menguasai keadaan. Dengan gayanya yang sangat elegan Ia pun tersenyum dan menghampiri Rani."Eh kamu, Ran ... ayo masuk. Aku kebetulan masak banyak dan ibuku menyuruhku membawakan ini untuk Adit. Kebetulan ini masakan kesukaan Adit, kamu mau cicip?" kata Gea sambil menggandeng tangan Rani untuk masuk.Sebenarnya Rani sangat muak sekali kepada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin sekali ia mencakar dan mencabik-cabik wajah cantik Gea yang tersenyum penuh kepalsuan di hadapannya."Aku masak susah-susah ternyata kamu sudah makan. Hmm ... ya udah makanan ini untuk karyawan kamu aja, Mas," kata Rani sambil menaruh rantang ber
“Loh, kenapa isi rantangnya masih penuh?Bukannya tadi kamu membawakan Adit makan siang. Lalu kenapa ini isinya masih utuh?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani hanya tersenyum kepada mertuanya itu. Kemudian Ia pun mengeluarkan isi rantang dan menaruh ke sebuah piring.“Tadi, sewaktu saya ke sana Mas Adit sedang ada tamu, dan dia sedang makan bersama tamunya. Mas Adit mengatakan supaya saya membawa makanan ini kembali. Katanya, nanti pulang kerja dia bisa makan lagi,” jawab Rani.Mendengar suara Rani menahan tangis membuat Bu Ana mengerutkan dahinya. Ia menatap menantunya itu dan melihat sisa-sisa air mata di pipi sang menantu. “Apa tamunya Gea?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya.“Iya Bu, tamunya Mbak Gea,” jawab Rani.Bu Ana menghela nafas panjang kemudian menghembuskann