Jangan lupa vote dan komennya ya.
Bak tersambar petir di siang bolong, seluruh saraf di tubuhku serasa terbakar. Namun anehnya kaki dan tanganku menjadi lemas seolah-olah tidak bertulang. Hampir saja aku terkulai di kursi bila aku tidak berpegangan erat pada pinggiran meja. Aku menolak untuk percaya, tetapi nyatanya kelakuan Mas Yoga seperti ini di belakangku. Meskipun aku sudah merasakan firasat yang tidak baik, tetap saja aku terpukul saat menyaksikan Mas Yoga menduakan aku. Dia juga bermesraan dengan pacar gelapnya di muka umum tanpa merasa malu. Dilihat dari keakraban mereka, aku yakin wanita itu adalah rekan kerja Mas Yoga di kantor, yang sering kudengar suaranya di telepon. Berulang kali Mas Yoga melakukan kesalahan, rupanya dia tak bertobat juga. Malah kelakuannya kini semakin menjadi-jadi setelah aku memberikan kesempatan kedua kepadanya. Tidakkah dia tahu bahwa kesetiaan adalah kunci utama dalam pernikahan? Bila hal itu sudah dilanggar, maka tak ada lagi alasan untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Ibarat
Perjalanan menuju ke kos terasa berjam-jam lamanya, meski pada kenyataannya hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Taksi yang mengantarku berbelok ke kanan, kemudian memasuki ruas jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, aku melihat bangunan bertingkat dua yang dikelilingi pagar besi berwarna hitam. Dari kaca jendela mobil, aku bisa membaca plakat besar yang terpasang di pagar tersebut, bertuliskan “Kos Senapati.” Tiba-tiba saja telapak tangan dan kakiku berkeringat dingin. Saking cemasnya, hampir saja aku melupakan niat awalku untuk mengejutkan Mas Yoga. Namun detik berikutnya, aku mengingatkan diri sendiri untuk tidak gentar menghadapi semua ini. Bagaimanapun aku tidak boleh membiarkan diriku terus diombang-ambingkan oleh suamiku yang tidak bertanggung-jawab. Cukup sudah semua pengorbananku selama ini untuknya. Kesabaran setiap manusia ada batasnya, dan aku telah mencapai titik batas tersebut. “Betul di sini kosnya, Bu?” tanya driver taksi itu berhenti tepat di depan pagar.
Raut muka Mas Yoga berubah drastis ketika Safa mempertanyakan hal itu. Ia memandang wanita selingkuhannya sejenak, lantas mencuri pandang ke arahku. Sengaja aku diam untuk melihat reaksi Mas Yoga. Aku ingin tahu apakah suami itu berani mengakui kesalahannya atau dia kembali berkelit seperti seorang pengecut. Melihat Mas Yoga masih ragu-ragu dalam memberikan jawaban, aku pun maju ke depan. Sudah tiba waktunya, aku bangkit untuk menunjukkan taringku di depan para pengkhianat. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mengubah nasibku. Aku tak ingin lagi mengalah, jika itu hanya akan melukai hatiku lebih dalam. Bagaimanapun aku harus berani mengambil langkah besar, supaya bisa terbebas dari belenggu pernikahan yang beracun. “Oh, jadi begitu pendapatmu selama ini tentangku, Mas. Kalau begitu, aku juga akan mengungkapkan pendapatku tentangmu di hadapan…wanita yang tidak tahu malu ini,” ujarku sembari mendekat kepada Safa. Tak ada keinginan untuk menitikkan
Peringatan bernada ancaman itu membuatku terperanjat. Entah apa maksudnya Mas Yoga berbicara tentang pernikahanku dengan laki-laki lain, padahal dia baru saja menjatuhkan talak. Yang lebih mengherankan lagi, dia sendiri yang berencana untuk menikahi Safa, tetapi dia malah menuduhku yang bukan-bukan. Andai suatu hari aku benar-benar membuka hati untuk pria lain, bukankah dia tidak berhak melarangnya? Kami sudah sepakat untuk berpisah, dan dia tidak memiliki hak atas diriku lagi. Lantas untuk apa dia menghalang-halangi perjalananku di masa depan? Dari ucapannya ini saja terlihat jelas bahwa dia memiliki sikap egois, iri hati, dan mau menang sendiri. Tak ingin terusik lebih lama, aku memilih untuk meninggalkan kos itu. Aku bahkan tak menghiraukan belasan pasang mata yang tertuju ke arahku. Dilihat dari beragam ekspresi mereka, aku yakin ada yang mengasihani aku sebagai istri yang diselingkuhi suami. Namun aku tak ingin ambil pusing. Toh, urusan pribadiku tak ada sangkut pautnya dengan p
Napasku serasa berhenti tatkala Pak Reindra menatap layar ponselku. Karena panik, lekas saja aku menghampiri Pak Reindra, lalu merampas ponsel itu dari tangannya. "Pak, maaf, ponsel saya," ujarku tanpa basa-basi. Bosku itu nampak terkejut melihat sikapku yang kurang sopan. Barangkali dia berpikir kenapa aku tidak menunggu hingga dia yang mengembalikan. Toh, dia juga tidak akan menahan ponselku lebih lama. Sebelum Pak Reindra memberikan respon, aku buru-buru menimpali ucapanku tadi. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan ponsel saya, Pak." Pak Reindra tidak mengatakan apa pun. Dia malah melenggang pergi, meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Melihat Pak Reindra menuruni anak tangga, aku pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang ada di pikiran Pak Reindra saat ini. Apakah dia sedang kesal karena tingkahku yang tidak sopan, atau dia sempat membaca isi pesan Mas Yoga tadi? Setibanya di lantai satu, aku berjalan lebih cepat dari Pak Reindra agar tiba terlebih dulu di k
Usai berbelanja di toko mochi, aku dan Pak Reindra langsung meluncur ke jalan tol. Kami akan menempuh perjalanan cukup lama, sehingga aku memilih untuk menikmati saja musik instrumen yang diputar oleh Pak Reindra di dalam mobil. “Rista, perjalanan kita masih sekitar dua jam lagi. Kamu boleh tidur kalau memang mengantuk, nanti saya bangunkan,” ujar Pak Reindra tiba-tiba. “Iya, Pak,” jawabku bersandar pada kursi mobil. Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku masih runyam begini. Lebih baik aku menatap ke jalan sambil mendengarkan alunan musik. Terkadang mendengarkan musik justru bisa membuat jiwa dan pikiranku menjadi lebih tenang. Sedangkan Pak Reindra nampak mengarahkan atensi secara penuh kepada jalan tol di hadapannya. Di kala aku tengah memandangi jalan, aku merasakan ponselku bergetar-getar. Entah mengapa aku malas untuk mengangkatnya, karena aku yakin itu adalah Mas Yoga. Barangkali dia masih penasaran karena aku belum memberikan respon atas pesan yang dikirimnya tadi. Nya
Dalam kondisi terdesak, aku memaksa otakku untuk berpikir lebih cepat. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan alasan klasik, agar aku bisa menolak keinginan Maura secara halus. “Maura, hari ini Tante nggak bisa ikut makan malam dengan Maura karena Tante ngantuk. Tante ingin cepat-cepat bobok di rumah Tante. Maaf ya, Sayang.” “Oh, Tante ngantuk ya. Kalau begitu besok aja kita main di Fantasia, setelah itu kita makan pizza dan spaghetti. Aku akan menemani Tante selama liburan supaya Tante nggak sendirian di rumah.” Kali ini aku mati kutu karena tidak bisa mencari alasan. Jika aku mengatakan akan pergi ke suatu tempat, pasti Maura tidak akan percaya. Aku pun melirik kepada Pak Reindra, mencoba mencari bantuan darinya. Namun bosku itu malah mengedikkan bahu, seolah cuci tangan dengan keadaanku. Bila sudah begini aku jadi bingung bagaimana menghindari ajakan Maura. “Tante kok diem? Aku jemput Tante besok jam sebelas ya. See you tomorrow, Tante Rista.” Sebelum aku menjawab, Maura sud
Dalam suasana hati yang masih pilu, aku teringat perkataan Pak Reindra mengenai makanan manis. Netraku otomatis menatap ke arah kue mochi yang masih terbungkus di dalam kotak. Mungkin dengan menuruti saran dari Pak Reindra, perasaanku akan menjadi lebih baik. Tanpa berpikir dua kali, aku meraih kotak mochi itu lantas membuka penutupnya. Dengan menggunakan telunjuk dan ibu jari, aku mengambil satu buah mochi. Begitu menyentuh lidah, kue yang kenyal itu langsung lumer dan menyebarkan rasa manis ke seluruh indera perasaku. Ternyata memakan kue mochi di kala sedih justru terasa lebih nikmat dibandingkan dalam keadaan biasa. Tak terasa, aku sudah menghabiskan empat buah kue mochi berukuran mungil. Anehnya, hatiku kini terasa lebih ringan dari sebelumnya. Seingatku makanan manis memang memicu produksi hormon serotonin yang dapat memperbaiki suasana hati. Dan itu sudah terbukti pada diriku sendiri. Selesai menikmati mochi, aku menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya begitu m