Sang penguasa sekolah ini sudah satu langkah maju membuat gadis kecil yang menjadi submisifnya itu perlahan mundur ke belakang.
"Gue nggak lagi minta pendapat lo," katanya dengan suara yang berat. Jemarinya terangkat menyentuh pelipis gadis di depannya ini lalu menekan sisi kanannya dengan lembut. "Camkan baik-baik di otak mungil lo ini, setiap yang keluar dari mulut gue ini perintah mutlak buat lo. Paham?"
Perasaan dan jantung Eva makin tak karuan dibuatnya. Ia menelan saliva dengan susah payah. Matanya liar memencar pandangan ke segala arah mengumpulkan keberanian. Alam bawah sadarnya seperti terkontraksi untuk mematuhi semua ucapan Arta.
"Kalau party kayak gitu pasti nginep 'kan? Gak mungkin cukup satu hari buat kalian ngumpul dan ser
Pekarangan kantor majelis guru tampak sesak dipenuhi oleh murid Taruna Bangsa yang hendak melihat kepergian anggota inti Kompeni. Betapa apresiatifnya mereka karena tahun ini Kompeni unjuk diri keluar mewakili Taruna Bangsa terlebih dalam ajang lomba basket. Salah satu bidang olahraga yang digilai para cewek-cewek apabila ada cowok yang bermain olahraga tersebut karena membuat tingkat ketampanan mereka bertambah berkali-kali lipat!Rehan membiarkan teman-temannya masuk lebih dulu karena melihat Uma yang berlari kecil datang menghampirinya. Setelah sampai di hadapan Rehan, Uma hanya bisa diam sembari merunduk dalam. Pikirannya berkecamuk. Uma takut jika ada salah. Dirinya sangat tidak tahan didiamkan seperti ini.Namun perasaan takut Uma segera terobati kala Rehan mengusak keningnya yang berkeringat akibat berlari kecil di bawah sengatan matahari tersebut dengan tangan kekar Rehan sendiri. Itu artinya Rehan sudah kembali perhatian lagi kepadanya, tidak abai seperti kemarin walau Rehan b
Usai menceritakan bagaimana kronologinya beasiswa Eva dipertangguhkan hanya karena sebuah absen, ke-tiga gadis yang menjadi sahabat Eva itu sama-sama terdiam. Rautnya terlihat murung seperti ikut terbebani dengan masalah Eva. "Cari ke kelas 12 IPS 2, Va," ujar Ana menyarankan. Riska dan Yana mengangguk menyetujui akan hal itu. "Kelas yang bersangkutan. Karena gue rasa hilangnya di situ, gak mungkin tempat lain. Atau kakel yang lo titipin itu gak ngasihin ke ketua kelas, terus lupa," seloroh Yana. Riska nimbrung, "wajib disamper sih." Eva tak mau juga terlalu banyak berpikir dan mempertimbangkan hal yang tidak perlu. Yang dibutuhkan saat ini adalah action, bukan hanya sibuk berperang dengan pikiran sendiri. Maka dari itu ia mendorong kursi ke belakang, lalu be
Eva tidak tahu apakah perjalanan yang telah ditempuhnya ini sudah sampai setengah perjalanan atau belum. Namun yang jelas dirinya sudah merasa sangat lama berada di dalam bus ini. Tangisan Eva tak kunjung berhenti sedari tadi membuat Arta bingung harus melakukan apa lagi agar Eva dapat merasa baik-baik saja ketika bersamanya. Tentu saja Arta kebingungan sekarang, membuat orang menangis adalah kehaliannya karena biasanya dia selalu membuat orang menangis. Namun sekarang dirinya harus menenangkan orang yang sedang menangis. Sangat keterbalikan dari kebiasannya dan hanya Eva yang bisa membuat Arta melakukan itu."Hiks mamah ...," isak Eva lagi sangat gelisah. Berulang kali dia memanggil mamanya berharap dapat tenang, tapi yang ada Eva semakin gelisah karena harus menerima kenyataan bahwa mamanya tidak ada di sini."Shh, nggak papa ada gue ...." Arta berdesis pelan dan berujar lembut dengan jemari kekarnya yang senantiasa aktif memijit pelipis Eva. Sedikit banyak perlakuannya itu membuat E
Rasa hati ingin bicara pada Arta. Cowok itu punya kuasa di sini. Setidaknya jika Eva mengadu padanya, Arta akan angkat suara dan menjadi pusat atensi seluruh manusia di ruangan ini.Sukar dijelaskan, tapi tak dapat Eva menampiknya bahwa ia merasa menjadi orang kecil dan bukan siapa-siapa di sini hingga pantas didengarkan. Arta benar-benar merenggut seluruh keberanian yang ia punya.Belum lagi cowok itu benar-benar mengabaikannya. Tak sedikit pun meliriknya yang berdiri di sini. Marah soal Eva yang pembangkang dan lebih memilih ikut Adam tadi? Sikap Arta yang abai begini justru semakin membuat Eva ciut.Tak memedulikan Arta lagi, Eva melangkah ke arah kursi depan paling dekat dengan pintu masuk. Cewek ini, kakak tingkat entah siapa namanya yang waktu itu Eva titipi absen. Untung saja orang yang ingin dimintai pertanggungjawaban
"Masih bisa senyum kamu hah?!!"Aurel berjengit kaget atas bentakan papinya yang menggelegar secara tiba-tiba itu. Wiratama melotot dengan urat leher menonjol kencang, marah dengan putrinya yang pembangkang."Kalau Papi tidak tahu sendiri kebenarannya, mau sampai kapan kamu berbohong seperti ini huh? Sini!!" Laki-laki paruh baya itu merebut paksa tas ransel yang dikenakan putrinya itu. Membuka paksa resleting itu kemudian mengeluarkan baju beserta seluruh aset seragam lainnya yang super mini.Tak ingin memandang baju dari neraka itu, Wiratama merobeknya tepat di depan wajah putrinya sendiri. Mengoyak baju tersebut hingga rusak tak berbentuk. "Papi gak pernah ajarin kamu jadi wanita seperti ini Aurel!!" murkanya yang tak kunjung padam.Aurel sendiri sudah membelalakkan matanya melihat a
Sebenarnya Eva begitu enggan. Namun jika ia tidak ke kawasan belakang, kesannya Kompeni men-judge bahwa Eva tak berusaha keras dalam mencari absen yang katanya so important itu. Maka dengan menepis segala kemalasan yang ada, Eva mengitari gedung XII IPS lantai tiga untuk sampai ke tempat ini. Tepat di belakang kelas XII IPS 2, sedang Kompeni menjenguknya lewat kaca terang yang terbuka. Reza pun baru usai menelpon Edo. Katanya cowok itu seperti biasa tengah berduaan dengan sang kekasih. Tanpa tahu bahwa berduaan maksud Edo adalah virtual karena menghabiskan waktu melalui video call dengan Aurel. "Kapan katanya ke sini?" imbuh Rehan seraya memiringkan kepala memandang Reza yang terhalang Yoyon dari posisinya berada ini. Reza mengendik. "Gak tau."
Hingga sampai mereka di ruangan teratas gedung ini, Arta menyentak tubuh mungil gadis itu untuk masuk ke dalam. Nyaris saja Eva jatuh tersungkur jika tidak ada tembok yang menjadi tumpuan ke-dua tangannya.Dengan segera Eva membalikkan tubuh hingga bola matanya yang sudah berkaca-kaca hendak menitikkan cairan bening bertumburan dengan tatapan Arta yang kian menajam. Jiwanya dilingkupi perasaan takut juga marah. Takut dengan alasan yang Eva tak mengerti mengapa cowok ini melampiaskan amarah padanya. Marah karena Arta mencampakkan begitu saja absen tadi ke tong sampah. Terlebih saat Eva ingin memungutnya kembali, cowok itu malah menghalangi dan justru menariknya ke rooftop."Kakak kenapa sih?" Suara Eva tercekat. Ingin berteriak marah, tapi ketakutan cukup mendominasinya saat ini.Ingatkan bahwa ia hanya berdua dengan Arta di rua
Suasana semakin memanas. Uma benar-benar terkucilkan dan disudutkan oleh semua orang. Berbeda dengan Uma yang keadaan hatinya jauh dari kata baik-baik saja, Selin justru tersenyum penuh kemenangan. Ia melangkah mendekat membuat Melly dan teman-temannya segera menyingkir untuk memberi tempat pada Selin. Cewek itu memandang Uma dengan tatapan datar. Si gadis yang sudah lancang bergerak sejauh ini mendekati Rehan tanpa ia ketahui.Hingga satu kali layangan dari tangan Selin membuat wajah Uma langsung tertoleh ke samping. Satu kali tamparan mendarat di pipi Uma. Suara tumburan antar kulit itu benar-benar terdengar jelas di telinga siapa saja yang berada di ruangan ini.Tangisan yang Uma usahakan tahan untuk tak jatuh sedari tadi, akhirnya menitik juga saat ini. Pipinya memanas mendapat tamparan sekeras ini. Tangannya terangkat menyentuh lembut pipinya yang memerah bekas tan