"Terima kasih, gua akan selalu kenang kebaikan lo karena telah nyelamatin gue."
Kalimat itu masih jelas di telinga Varsha. Bahkan rasanya bagaikan mimpi, Varsha masih mengingat jelas wajah Fabian yang sangat mirip dengannya. Bagaikan bertemu dengan dirinya yang lain, Varsha benar-benar penasaran siapa Fabian?Apakah mereka nanti bisa bertemu kembali?Varsha membuka kedua kelopak matanya perlahan. Ternyata waktu bergulir begitu cepat dan sudah tiba pagi hari kembali. Waktu begitu cepat berlalu dan keadaannya masih saja sama, Varsha masih miskin serta harus memikirkan tiga perut di rumah itu untuk bertahan hidup.Lalu, kali ini bagaimana? Varsha telah melakukan tindakan kriminal, dan ia sudah pasti akan sulit untuk bekerja kembali. Varsha mendadak putus asa, padahal itu masih terlalu pagi untuk memikirkan kepedihan hidup."VARSHA!"Belum sempat Varsha menyelesaikan pemikirannya, suara teriakan yang berasal dari Ibunya langsung memangkas perasaan Varsha. Entah apa yang membuat beliau harus meneriaki Varsha seperti itu. Varsha menghela napas, mencoba mengumpulkan nyawanya.“Ya.” jawab Varsha ogah-ogahan.Tampak sang Ibu berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Baru saja terbangun dari tempat tidur, Varsha harus disuguhi pemandangan tidak menyenangkan seperti itu. Mengapa Ibu selalu saja memandang Varsha dengan amarah?“Gak kerja lu?” tanya Ibu dengan logat khas betawinya. "Jangan bilang ngebolos!"Varsha mendesah pelan. Ia tidak ingin menceritakan apa pun mengenai kejadian yang sudah menimpanya.“Resign,” jawabnya singkat.Ibu mengernyitkan dahi. Beliau menatap anak sulungnya itu lekat-lekat sambil menyipitkan mata.“Beras udah abis pagi ini. Kenapa harus keluar kerja segala sih? Terus kita makan gimana?” omel Ibu.Varsha membalikkan tubuhnya dengan tak bersemangat. Ia menatap keluar jendela rumahnya dengan sendu. Napas yang naik turun itu terlihat berat, ia masih mendengar jelas hinaan serta cacian Pak Agung serta Pak Vian kepadanya.Sungguh bagi orang miskin, harga diri terasa tergadaikan demi bertahan hidup. Menyedihkan bukan?“Kenapa sih aku gak bisa kuliah, Bu? Jadinya aku dihina orang,” tutur Varsha getir.Ibu hanya menghela napas. Perlahan tangannya terulur, mengusap surai anaknya itu dengan hangat. Seketika Ibu merasa bersalah karena membebankan kebutuhan ekonomi hanya pada Varsha saja.“Yaah, bukan gak mau Ibu kuliahin kamu. Tapi tahu sendiri, Ibu orang gak punya, makan aja kita susah kan? Kayaknya kita juga sering banget makan nasi lauknya garem. Gimana mau kuliah kalau beli beras aja cuma mampu sebulan sekali?”Varsha mengerucutkan bibir. Sebenarnya ia tidak ingin mengeluh, akan tetapi ia mulai merasa tiba di titik jenuh dalam hidupnya yang selalu saja mengalami kesusahan dari segi ekonomi. Hingga kapan ia harus menjalani itu? Apakah Tuhan memang egois karena tidak memberikan kekayaan pada Varsha melainkan pada orang lain?Katanya, Tuhan maha kaya. Mengapa kekayaan itu tidak dipercayakan pada Varsha sedikit pun?“Apa Aa nyari kerja ke Arab gitu bu? Jadi tukang toge gitu di sana,” Varsha terkekeh. "Capek, kerja retail hasilnya cuma beban."“Ke Arab juga kalau gak punya tujuan mau kemana A'? Ngadu nasib di kota orang aja susah, apalagi ini lintas negara! Mau jadi gembel lu?”Varsha menekan pelipisnya dengan punggung tangan. Ia menatap langit-langit kamarnya itu dengan pemikiran yang terpusat.Ia hanya memikirkan, ke arah mana ia harus melangkah setelah ini? Adakah petunjuk Tuhan yang maha baik itu untuknya pada hari itu?“Aku lelah, hari ini Aa izin tidur lebih lama ya?” Varsha memunggungi Ibunya.Ibu hanya menghela napas hingga memutuskan beranjak dan meninggalkan Varsha di kamarnya. Ia iba melihat wajah Varsha yang terlihat sangat kelelahan.Baru saja kedua bola mata itu hendak terpejam. Terdengar suara keributan dari arah luar rumahnya. Sepertinya, suara para tetangga yang tengah bergunjing. Suara derap langkah kaki dari manusia yang mengenakan sepatu bersol tebal tiba-tiba terdengar jelas.“Apakah ada yang bernama saudara Varsha?”Suara itu bernada berat. Sepertinya, sumber suara itu berasal dari Bapak-Bapak yang telah berusia senja. Varsha mengkerutkan kening sambil terduduk dari posisi berbaring. Siapa yang hendak mencarinya itu?“Bapak-bapak mau apa ya?” tanya Ibu terdengar gemetar.Varsha yang merasa penasaran itu segera keluar dari kamar. Ia terkejut mendapati empat orang berseragam Polisi tengah berdiri di halaman rumah. Ternyata kalimat Pak Vian dan Pak Agung tak hanya gertakan semata. Namun, Varsha tidak takut. Ini adalah resiko bagi seseorang yang mempertahankan harga diri.Varsha memandangi orang-orang berseragam itu sambil mengepalkan tangannya di samping. Para bedebah perusahaan itu hendak merundungnya kembali di ranah hukum. Mereka tahu bila Varsha tidak punya kekuatan apa pun di ranah hukum.“Ada apa, Pak?” Varsha menatap saksama para Polisi itu dengan alis terangkat.“Ikut kami ke kantor Polisi.”Dua orang Polisi bergegas memegangnya. Varsha bahkan belum cuci muka ataupun buang air kecil pagi itu. Tetangga di sekitar terlihat heboh melihat Varsha yang selalu saja berurusan dengan polisi.Ya, ini bukan pertama kalinya. Ketua gangster selalu bermasalah dengan pihak kepolisian.“Cakep-cakep kriminal!” komentar salah satu tetangga.“Kasihan ya, Bu Setio punya anak seorang gangster!” sahut tetangga lain.“Hidup susah kok gak hati-hati, bukannya cari duit aja yang bener!”Sejumlah cacian itu terus terdengar. Alvia___adik perempuan Varsha___ langsung mengajak Ibunya itu masuk ke dalam rumah tanpa mengindahkan Varsha.Sementara itu, Varsha hanya berjalan gontai dengan kedua tangan dipegangi. Entah apalagi yang harus ia hadapi di kantor Polisi dalam keadaan tak berdaya seperti itu.Andai saja Varsha punya kekuatan untuk lepas dari kemiskinan.**“Tindak kekerasan terhadap atasan, dan juga penyerangan terhadap atasan. Kamu harus membayar denda atau mendekam di penjara. Sudah tahu kan resikonya?”Varsha mengangkat kedua alisnya. Ia menatap saksama Polisi di hadapannya itu. Mendekam di penjara? Apa mungkin ini jalan terbaik daripada bekerja dengan para bedebah?“Apa negara ini hanya adil terhadap para penguasa?” tanya Varsha dengan kesal. "Bahkan membela diri sendiri pun tindakan kriminal bagi orang miskin sepertiku."Polisi itu menatap Varsha lekat-lekat. Tubuhnya condong ke arah depan."Semua yang kamu lakukan adalah kriminal, kamu tetap bersalah dan berhenti bicara omong kosong."Varsha mendesah sambil memalingkan wajahnya. Perlahan kedua kelopak matanya menutup."Mereka sudah kaya, kenapa memeras manusia hina sepertiku," tutur Varsha.Polisi itu tak banyak bicara, ia menyeret Varsha ke dalam sel tahanan. Varsha berusaha memberontak, akan tetapi sebuah tamparan melayang di pipi Varsha."Sudah banyak berandalan sepertimu mendekam ke penjara. Renungkan dirimu!"Varsha tak mau bicara lagi, ia memang sering keluar masuk kantor Polisi karena kasus perkelahian. Namun, sepertinya kali ini kasus menjadi lebih berat jika melihat kondisi Pak Agung dan Pak Vian yang babak belur."Masuk!" titah Polisi tersebut.Varsha masuk ke dalam sel tahanan yang terlihat berisi enam orang tahanan. Wajah mereka jauh dari kata ramah. Salah satu diantara mereka bertubuh sangat besar dan langsung menatap Varsha dengan tatapan sinis."Kayaknya lo sering banget masuk penjara bro, udah jadi jagoan?" tanya penghuni sel bertubuh besar tersebut.Varsha menyeringai. Sebenarnya ia malas berhadapan dengan cecunguk."Tidak usah berlagak kenal denganku, bedebah!" bentak Varsha.Lelaki bertubuh besar itu langsung saja menghampiri Varsha. Varsha menyesal harus melayani pria itu."Yang tidak perlu berlagak itu lo, set*n! Ini sel tahanan di bawah perintah gua!" bentak lelaki besar itu dengan mata yang hampir saja keluar.Varsha tertawa kecil. Ia mengendikkan bahu."Kita lihat, berapa lama lo bakal bertahan menjadi penguasa?"Lelaki itu memerintahkan kelima anggota sel untuk memukuli Varsha. Terjadi penyerangan secara serentak, dan Varsha melawannya dengan membabi-buta.Tiga orang akhirnya tumbang, dua orang terlihat masih bertahan. Varsha terus saja menghajar wajah para narapidana itu dengan sengit. Terasa sebuah air disiramkan ke arahnya. Air kencing!"ANJ*NG!" teriak Varsha.Diperlakukan hina seperti itu Varsha semakin emosi. Ia melayangkan tinjunya dengan sangat kuat. Lima orang itu akhirnya tumbang bersimbah darah. Varsha menatap si besar itu dengan mata nanar, lelaki itu harus paling menderita dibandingkan ia yang mendapatkan air kencing."Pilih, mau hidup dalam perintahku atau jadi pecundang seperti mereka?" tanya Varsha sambil menyusut darah dari bibirnya. "Atau, kau harus ku kencingi juga kah?"Lelaki besar itu sebenarnya gentar. Namun, ia menanggung gengsi dengan ukuran tubuh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Varsha. Ia kemudian menghajar Varsha sekuat tenaga dan Varsha menepis pukulan itu.BUUGGGHHH!!!Lelaki itu terpental ke tembok keras-keras. Darah mengalir dari belakang kepalanya. Ia pingsan, seketika sipir berdatangan ke lapas tempat Varsha berbuat onar."Sialan, bau banget!" Varsha menyusut rambutnya yang terkena air kencing itu dengan pakaian salah satu narapidana.Tampak sipir datang ke arah selnya. Belum satu jam ia sudah membuat masalah."Bedebah ini buat onar!" bentak sipir.Varsha kemudian ditarik oleh sipir itu. Dipindahkanlah Varsha ke dalam sel yang berisi hanya satu orang tahanan. Sepertinya, lelaki itu juga sama-sama pembuat onar di dalam tahanan sehingga mereka terpaksa satu sel bersama.Varsha merasa cukup lelah, perutnya lapar, dan tubuhnya lemas. Entah kenapa Tuhan memaksanya hidup dalam kemelut hidup yang begitu berat. Ia mendongakkan kepala, bersandar di tembok penjara dengan pikiran yang berisik.Lelaki yang duduk itu menatap Varsha. Ia tampak masih muda, seumuran dengannya. Dari pakaian, lelaki itu sepertinya orang kaya. Bagaimana bisa ia ada di sana bersama manusia miskin seperti Varsha?"Bikin rusuh ya?" tanya lelaki itu sambil tertawa kecil.Varsha hanya mendesah sambil duduk di hadapan lelaki itu. Varsha enggan menjawab karena lelah."Kenapa lo masuk rutan?" tanya lelaki itu, lagi.Cerewet!Varsha menatap lekat-lekat lelaki itu. Tatapannya sungguh tidak menyenangkan."Gak ada urusannya sama lo!" bentak Varsha.Lelaki itu tertawa kecil. Ia tidak gentar sama sekali."Gue Andre, lo?""Varsha," jawab Varsha malas.Lelaki itu menghela napas. Ia memandangi Varsha sejenak kemudian mengulas senyum."Sebentar lagi, hidup lo bakal berubah."Varsha memutar bola matanya. Omong kosong apa yang dikatakan Andre barusan?"Apanya?""Sebentar lagi, penderitaan lo bakal berakhir. Lihat saja nanti," tukas Andre tanpa beban.Varsha hanya menanggapi itu semua dengan meringis. Ia mendongakkan kepala sambil meratapi nasib yang menimpanya. Kemarin ia bertemu seseorang yang sangat mirip dengannya dan memberi sebuah kartu nama. Kini, di hadapannya terlihat seorang lelaki yang sok-sokan tahu perihal masa depannya.Varsha menelungkup diantara kedua kaki, menahan haus dan lapar yang mendera. Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki mendekat ke arah sel tersebut."Saudara Varsha, anda dibebaskan!" ujar sipir sambil membuka pintu sel.Varsha mengangkat dagu. Ia membelalakan mata menatap sipir tersebut."Apa?"Tanpa banyak bicara, sipir itu membawanya kembali ke ruangan lain. Varsha berjalan mengikuti sipir dengan pikiran bertanya-tanya.Sebenarnya, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ia dibebaskan?Varsha tertegun menatap sosok yang tengah membebaskannya itu. Bukankah sosok itu adalah...?"Kau?" Varsha tertegun.Sosok yang mirip dirinya itu tersenyum, menatap Varsha sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.Ia adalah Fabian! Lelaki yang diselamatkannya tempo hari."Sudah kubilang, hubungi aku jika terjadi sesuatu." Fabian menyunggingkan senyum sambil menatap sinis ke arah para Polisi.Varsha mencoba mengingat. Ia mungkin telah melupakan apa yang dikatakan Fabian padanya malam itu.Sebuah kartu nama memang masih disimpan Varsha. Fabian meminta Varsha menghubunginya setelah peristiwa itu, namun Varsha belum sempat melakukannya karena telanjur mengalami peristiwa ini.Siapa sangka, kini lelaki itu telah membebaskannya dari penjara! Tentu ia punya kuasa sehingga semudah itu baginya membebaskan Varsha.Siapa sebenarnya Fabian?"Ikuti aku," titah Fabian.Para Polisi membu
Varsha membelalakan matanya. Keningnya berkerut-kerut. Mempertanyakan tukar nasib yang tengah Fabian tawarkan. Rokoknya hampir saja terlepas dari kedua jari Varsha yang tengah mencapitnya."Kau terkejut?" tanya Fabian, melihat gelagat Varsha yang aneh.Varsha mendesah pelan sambil menyesap rokoknya yang hampir habis."Ini terlalu beresiko dan gegabah, kau seorang pemilik Hotel. Tidak mungkin aku menyamai kepintaran dan keahlianmu! Orang-orang pasti akan curiga...," tutur Varsha resah.Fabian tersenyum sambil meneguk gelas kopi perlahan."Aku tidak pernah melakukan apa-apa. Bawahanku yang bekerja. Seperti itulah orang kaya raya, uang yang harus bekerja untuk kita. Bukan kita yang harus bekerja," Fabian menyeringai."Apa?"Varsha hanya menelan saliva dengan kebingungan. Walau ini terdengar menggiurkan, Varsha tidak boleh gegabah! Jabatan pemilik Hotel itu bukan kedudukan yang rendah. Ada ribuan karyawan berada di ba
Varsha hanya terperangah mendengar cerita detail keluarga Fabian yang cukup rumit di dengar. Varsha mengamati satu persatu foto keluarga yang Fabian tunjukan."Jadi, saat ini Ayahmu menikahi Kakak iparnya?" tanya Varsha mencerna cerita.Fabian mengangguk."Menarik sekali bukan kisah keluargaku? Ayah bahkan tidak berminat untuk mengelola perusahaan milik Kakek dan memilih menjadi Presdir di Suryakancana Group. Karena itu, sebagai cucu satu-satunya aku menjadi korban harapan!" keluh Fabian.Varsha baru menyadari bahwa Fabian adalah orang yang memiliki kepribadian menarik. Kepribadiannya lugas, cara bicaranya menyenangkan, dan juga sangat ramah. Jauh berbeda dengan Varsha yang dingin dan juga sulit membuka diri.Bertukar peran ini akan sangat menyulitkannya!Suara ringtone lagu Dionysus terdengar dari ponsel Fabian. Fabian meraih ponsel dan menempelkannya di telinga."Halo cantik, ada apa menelefon?" sapa Fabian deng
Varsha benar-benar penasaran dengan perjodohan itu. Kira-kira siapa orang yang Nyonya Keiyona maksud?"Mendiang Tuan Giri telah menuliskan wasiat tersebut sejak lama. Jadi, tidak ada bantahan sama sekali untuk perjodohan ini." Nyonya Keiyona mengangkat gelas wine.Seluruh orang mengangkat gelas. Varsha sedikit kikuk. Ia sama sekali tidak suka minuman keras! Haruskah ia minum juga?Tegukan demi tegukan terlihat membasahi kerongkongan para anggota keluarga konglomerat itu. Varsha berakting meminumnya.Varsha sedikit tertekan. Astaga, sampai pukul berapa ia harus menegak minuman-minuman keras ini?"Kurasa, Fabian lah yang akan segera dijodohkan! Bukankah, ia adalah penerus kerajaan bisnis yang paling kompeten?" Keyhan tersenyum sambil melirik ke arah Varsha penuh arti.Varsha belum tahu bila Fabian termasuk orang yang paling suka bercanda saat bersama Keyhan. Karena itu, ia menyikapi semua berdasarkan intuisinya sendiri.
Fabian duduk di halaman salah satu mini market sambil memegang satu cup mie instan. Diseruputnya mie instan itu dengan mata terpejam-pejam."Astaga, enak sekali makan mie instan!" tutur Fabian dengan senyum mengembang.Ia memesan beberapa sosis, ayam krispi, snack kentang dan minuman-minuman dingin.Baginya duduk di minimarket tanpa pengawalan adalah anugerah. Fabian selalu pergi kemanapun bersama para pengawal, dan itu cukup mengganggu."Ah, aku ingin hidup bebas. Menyenangkan bisa makan dan minum kemasan seperti ini." Fabian bermonolog.Orang-orang memperhatikan Fabian dengan tawa mencibir. Ia dianggap orang aneh! Tapi ada juga beberapa wanita yang kagum akan ketampanan Fabian yang sangat menyita hati sebagian perempuan itu.Nampak dari kejauhan, mobil CRV terparkir di halaman mini market. Seorang pria keturunan Jawa yang berkulit gelap itu turun bersama seorang wanita muda.Fabian menggelengkan kepalanya.
Varsha berdecak lidah saat Alindra memaksanya untuk pergi. Gadis itu menarik lengannya sambil sesekali menyesap tangan Varsha seperti pada seorang kekasih.Ah, sialan itu!Varsha benar-benar bingung dengan hubungan seperti apa yang tengah dijalin antara Fabian dan Alindra. Lelaki itu bahkan tidak mengatakan apa-apa terhadapnya!"Ayolah Fabian, kau sudah berjanji padaku..., jika pada akhirnya kita tidak bisa menikah, tolong! Biarkan aku menyerahkan kesucian ini," tutur Alindra sambil terus mencengkram lengan Varsha.Varsha risih. Sungguh! Belum pernah ia berdekatan dengan wanita manapun kecuali keluarganya sendiri. Alindra memang cantik, tapi bagi Varsha, gadis itu bukan seleranya."Alindra, aku tidak mau hal ini menjadi masalah untuk kita berdua. Nyonya Keiyona bisa membunuh kita berdua!" tutur Varsha berusaha mencari alasan.Alindra menggelengkan kepalanya."Aku tidak peduli! Aku tidak bisa menikah dengan orang y
Varsha tiba di gang menuju ke arah rumahnya yang sudah nampak sepi dari aktifitas. Ia menyesap rokok dan membuang sisa rokok tersebut ke sembarang arah.Jalanan rumahnya terasa becek karena hujan mengguyur kota Jakarta sejak sore hari. Varsha berjalan semangat agar tiba di kediamannya lebih cepat. Ia sudah bisa membayangkan wajah sumringah adik dan Ibunya saat Varsha membawa uang sebanyak itu.Dengan uang sebanyak itu, apa yang akan ia beli untuk pertama kali? Varsha merasa hatinya amat sangat membuncah, harapannya begitu tinggi memikirkan hal tersebut. Ia akan membeli berkarung-karung beras, bahan pokok, dan juga kalung emas untuk Ibunya.Ibu dan adiknya, pasti bahagia sekali! Varsha tersenyum senang.Varsha akhirnya tiba di kediamannya itu. Sedikit aneh! Ia mendapati pagar rumahnya terbuka tanpa ada yang menutup kembali. Apakah Alvia lupa mengunci?Perlahan Varsha masuk ke halaman rumah itu dan menutup pagarnya. Baru saja Varsha me
"Jangan bunuh diri!" ujar gadis itu sambil memelototi Varsha.Varsha tertegun menatap seorang gadis cantik berbalut kemeja dengan tangan terkepal."Siapa kau?!" tanya Varsha dengan mata terbelalak.Gadis itu melayangkan jitakan di kepala Varsha secara spontan. Varsha benar-benar kaget atas perlakuan gadis pemberani itu."Selelah apapun hidupmu, tidak sepatutnya kau bunuh diri! Berapa banyak orang yang memohon untuk hidup dibawah sini, sedangkan kau malah ingin mengakhiri hidup!" bentak gadis itu lagi.Varsha menarik napas dan berdecak lidah."Apa urusannya denganmu? Memang kau tahu aku siapa?!" bentak Varsha tak kalah sengit.Gadis itu terdiam. Ia menarik napas. Varsha berharap gadis itu pergi dan meninggalkannya agar ia bisa mati."Aku tidak peduli kau siapa, tapi jika kau butuh teman bicara... kau... kau bisa bicara padaku! Aku akan mendengarkanmu!" Gadis itu berapi-api.