Share

Bab 16

Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.

Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.

Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.

Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada Cio San.

“Hey, kau datang, San-te (Adik San).”

“Iya, Liong-heng. Aku ingin berpamitan kepadamu.”

“Memangnya kau mau kemana, San-te?”

“Aku disuruh tinggal sebentar di pondok bambu. Selama 3 bulan.”

Beng Liong sudah mengerti bahwa maksud ‘tinggal sebentar’ adalah dihukum.

“Wah, kau harus tabah ya, San-te. Semoga disana kau lebih tenang dalam belajar silat. Kalau ada waktu luang aku ingin pergi kesana. Kata orang, pemandangan di sana indah. Kita juga bisa berlatih silat bersama-sama.”

“Terima kasih, Liong-heng. Doakan semoga sute mu ini berhasil, ya.”

Keduanya lalu bersalaman dan Cio San pun bergegas pergi.

Beng Liong pun menatap punggung yang sedang bergegas itu. Ia tersenyum sebentar dan melanjutkan latihannya.

“Semoga berhasil, San-te,” katanya dalam hati.

Letak ruang latihan utama memang tidak jauh dari tempat Tan Hoat menunggu. Tidak berapa lama, Cio San sudah sampai disana. Saat istirahat siang begini, memang Bu Tong-pay terasa sepi. Karena waktu-waktu ini dipakai para murid untuk memulihkan tenaga mereka setelah seharian mereka berlatih.

“Sudah?” tanya Tan Hoat begitu melihat kedatangan Cio San.

“Sudah, Gihu. Sekarang anak siap berangkat,” kata Cio San mantap.

“Baguslah. Ayo,” kata Tan Hoat sambil tersenyum.

Mereka lalu berjalan menuju pondok bambu di puncak tertinggi Bu Tong-san.

Sepanjang perjalanan, pemandangan memang indah sekali. Cio San menikmati sekali perjalanan ini. Kadang-kadang ia bertanya kepada gihunya tentang tempat apa saja yang dilihatnya itu. Gihunya dengan sabar menjelaskan.

Tapi tak berapa lama Cio San mulai terlihat ngos-ngosan dan wajahnya mulai pucat. Tan Hoat pun paham, bahwa Cio San memang tidak terbiasa mendaki jalan tebing-tebing curam seperti ini, sehingga kehabisan nafas.

Ia pun lalu memberi sedikit pelajaran pernafasan kepada Cio San sambil jalan. Ternyata ada teknik nafas khusus, sehingga jika melakukan pendakian, seseorang tidak kehabisan nafas.

Pada awalnya, Cio San memang kesulitan untuk melakukan yang diajarkan gurunya itu. Namun setelah hampir satu jam lebih mencoba dan mendapat petunjuk terus dari gurunya, Cio San akhirnya berhasil. Nafasnya mulai teratur dan tidak terengah-engah lagi seperti semula. Kondisi organ-organ tubuhnya yang kurang baik, memang membuat Cio San cepat sekali letih dan kehilangan tenaga.

Baru setelah nafasnya teratur dan tubuhnya mulai terasa kuat, wajah Cio San sudah terlihat memerah lagi. Keringatnya pun mengalir deras. Orang biasa yang jika melakukan pekerjaan fisik lalu tidak berkeringat, maka pasti ada yang salah dalam tubuhnya. Kini setelah keringatnya keluar, Cio San malah merasa segar.

Ia sudah bisa mulai bercakap-cakap kembali dengan gihunya.

“Cio San,” kata Tan Hoat, “Sebenarnya dalam hal ini, gihu merasa sangat bersalah kepadamu.”

“Ada apa, Gihu?”

“Gihu sering meninggalkanmu, jadi tidak bisa terus memberi pelajaran kepadamu. Memang diantara ke 15 guru yang menangani ‘15 Naga Muda’, gihulah yang paling sering meninggalkan kau dan membiarkanmu latihan sendiri. Gihu mohon maaf kepadamu, Cio San...”

“Gihu jangan meminta maaf. Semua ini adalah kesalahan ‘anak’ karena memang tidak memiliki bakat dalam silat. Anak juga malas belajar.”

“Sudah menjadi tanggung jawab gihumu ini untuk mendidikmu, tapi aku malah memarahimu saat kau menghadapi masalah seperti ini. Padahal sudah salahku bahwa aku jarang sekali mendampingimu.”

“Bagaimana mungkin anak menyalahkan Gihu? Bukankah kepergian Gihu karena menjalankan tugas perguruan?”

Tan Hoat hanya tersenyum. Memang Cio San ini pintar sekali berbicara.

“Gihu, sebenarnya tugas apakah yang Gihu jalankan? Sejauh yang anak perhatikan, hanya Gihu seorang yang sering sekali turun-naik gunung. Sedangkan murid-murid Bu Tong-pay yang lain, semuanya dipusatkan berada di Bu Tong-san.”

“Hmmm, sebenarnya gihu tidak boleh menceritakan ini kepadamu. Tapi sebagai bentuk penyesalan gihu terhadapmu, gihu akan bercerita sedikit saja.”

Tan Hoat bercerita bahwa ia ditugaskan oleh Lau-ciangbunjin untuk menyelidiki keberadaan kitab silat terhebat yang ditulis oleh Tat Mo. Kitab ini sangat hebat, karena ditulis langsung oleh pencipta ilmu silat, yaitu sang Tat Mo sendiri.

Keberadaan kitab itu sangat misterius, hanya beberapa orang saja yang tahu. Bahkan Thay Suhu Thio Sam Hong saja, tidak tahu keberadaan kitab itu.

Ditakutkan, jika keberadaan kitab itu tersebar luas, akan timbul malapetaka besar karena setiap orang dalam Bu Lim akan memperebutkan kitab itu.

“Lalu, jika Gihu menemukan kitab itu, apa yang akan Gihu lakukan?”

Tan Hoat tersenyum mendengar pertanyaan bagus yang keluar dari muridnya itu.

“Tiga perguruan terbesar yaitu, Siau Lim-pay, Bu Tong-pay, dan Go Bi-pay sepakat untuk bersatu dan melindungi kitab itu. Jika ketiga partai sudah bersatu, maka siapakah lagi yang berani melawan kita?”

“Tapi bukankah jika partai-partai kecil bersatu, jumlah mereka pun akan menyamai jumlah 3 partai besar ini, Guru?”

“Partai-partai kecil pun sudah kita dekati dan kita beri pengertian untuk menjaga keutuhan dunia Kang Ouw. Memang hampir dapat dipastikan, kelak akan terjadi perebutan besar. Oleh karena itulah, ketiga partai besar sekarang bersiap-siap menyatukan kekuatan, jika sewaktu-waktu kitab itu ditemukan dan terjadi perebutan besar.”

“Wah, berarti akan ada perang besar lagi,” Cio San berkata sambil menggeleng-geleng.

“Kenapa kau menggeleng, Cio San?”

“Anak hanya heran, mengapa orang mau begitu berkorban untuk menjadi ahli silat? Padahal kalau dia menjadi ahli silat, hidupnya hanya dihabiskan untuk berkelahi.”

“Kau harus paham bahwa di dunia ini orang punya kesenangan bermacam-macam. Ada yang suka sastra, suka mancing, suka musik, suka makanan yang enak-enak, banyak juga yang suka berkelahi.”

“Haha… Betul juga, Gihu.”

“Oh iya, ada satu hal lagi, Cio San.....”

“Apa itu, Gihu?”

“Aku juga melacak para perampok yang dulu membunuh ayah-ibumu....”

Cio San hanya diam. Tan Hoat pun melanjutkan,

“Kelompok perampok ini sebenarnya bukanlah perampok biasa. Tersiar kabar, ada kelompok rahasia yang berdiri beberapa tahun lalu dalam dunia Kang Ouw. Tujuan mereka sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Tapi mereka sering sekali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu. Biasanya, korban mereka adalah pejabat-pejabat kerajaan atau pendekar-pendekar ternama. Mereka ini mempunyai ilmu silat yang sangat hebat. Tapi gerak-gerik mereka sangat rahasia. Sampai sekarang, para pendekar Kang Ouw masih belum mengetahui maksud para perampok ini sebenarnya. Apakah korban-korban mereka ini terbunuh secara acak, ataukah memang ada maksud tertentu.”

“Kalau menurut Gihu?” tanya Cio San.

“Menurutku, pasti ada tujuan tertentu. Aku merasa pergerakan mereka pasti ada hubungan dengan perebutan kitab itu.”

“Gihu, apa nama kitab itu sebenarnya?”

“Namanya, Kitab Inti Semesta.”

“Wah, dari namanya saja sudah terdengar hebat,” tukas Cio San.

“Cio San, apakah sewaktu orangtuamu meninggal, kau tidak mendengar mereka membicarakan tentang Kitab Inti Semesta?”

“Sejauh yang ‘anak’ ketahui, Ayah dan Ibu tidak pernah membicarakan hal itu, Gihu. Pada akhir-akhir hayat, mereka hanya membahas kekisruhan di Go Bi-pay saja.”

“Hmmm...” Tan Hoat tidak berkata apa-apa lagi.

Hampir 3 jam mereka mendaki, akhirnya sampai juga mereka ke pondok bambu. Setelah beristirahat sebentar, Tan Hoat mengajak Cio San berkeliling daerah sekitar situ. Ternyata hampir semua kebutuhan sehari-hari bisa didapatkan disitu.

Ada sungai mengalir yang airnya jernih sekali. Bisa dipakai untuk minum dan mandi. Ikan-ikannya ternyata banyak juga disitu. Di seberang sungai terdapat hutan kecil. Hutan kecil itu, walau tidak terlalu lebat, mempunyai pohon-pohon yang buahnya bisa dimakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status