"ADUHH!!"Kelvin segera berlari begitu mendegar suara gaduh itu. Matanya membelalak ketika mendapati pisau itu tergeletak di lantai dan darah mengucur dari jari Agatha. "Tha, kamu kenapa?"Kelvin panik, ia segera meletakkan paperbag yang dia bawa ke atas meja, meraih tangan Agatha dan membawanya duduk di kursi. "Tunggu sebentar!" Kelvin segera meraih kotak P3K yang ada tak jauh dari meja makan, segera memberikan pertolongan pada jemari Agatha yang berdarah-darah itu. "Awww ... pelan-pelan, Om! Sakit!" Desis Agatha sambil mengernyit. "Ini tadi kamu ngapain?" Kelvin sesekali menatap wajah Agatha yang memucat, darah dari jemari Agatha luar biasa banyak. "Mau masak, Om. Itu motong sosis cuma karena keras masih beku, pisaunya kena jari." Jawab Agatha lirih. Kelvin menyeka darah yang keluar, berusaha menghentikan keluarnya darah. Setelah berhasil, ia nampak terkejut dan menatap Agatha dengan saksama. "Ke IGD aja ya? Perlu dijahit ini, lebar sama dalam banget luka kamu." Ajak Kelvin y
"Ya nggak bisa gitu dong, Ma!" Agatha mencebik, rupanya yang tadi menelepon adalah Handira. Kelvin tidak berani bertanya banyak. Terdengar jelas sejak tadi mereka berdua sudah berseteru. Ia sibuk membereskan instrumen yang tadi dia gunakan untuk menjahit luka Agatha, mengepel darah Agatha yang tercecer dan kini, urusan memasak sudah Kelvin yang ambil alih. "Mama curang ih!" Suara itu sudah menyimpan tangis tertahan, Kelvin menoleh, benar saja! Mata Agatha sudah kembali memerah. Apakah itu akibat perpaduan rasa sakit bekas jahitan yang mulai terasa dengan topik yang sedang Agatha bicarakan dengan mamanya, Kelvin sendiri tidak tahu pasti. "Mana bisa begitu, sih? Yang bener aja, Ma!" Kembali Agatha memprotes, Kelvin sebenarnya penasaran namun ia tidak bisa mengabaikan potongan ayam yang sudah ia rendam dalam minyak panas itu. "Ya terserah mama!"Kelvin kembali menoleh, Agatha sudah meletakan ponsel di atas meja. Jemarinya yang tak terbungkus kasa dia gunakan untuk menyeka air mata.
"Ya tapi nggak gitu juga, Om. Mama bohong dong berarti?"Agatha tidak setuju. Ini bukan soal mobil, ini soal perjanjian yang Handira sendiri sudah setuju sejak awal. Kalau begini, sama saja Agatha rugi berkali-kali dong? "Lha terus mau gimana?" Kelvin bersandar di kusen pintu kamar Agatha, ia nampak sabar mendengarkan curhatan Agatha. "Ya aku tetep mau mobil aku dong. Itu hak aku! Udah dibela-belain nurutin mama nikah juga!" Gerutu Agatha masih tidak terima.Kelvin tersenyum, ia masih menyimak dengan serius. "Kalo itu sih aku nggak mau ikut campur. Kan urusan kamu sama mama, Cil. Cuma kalo pengen kemana-mana, mulai aku aktif PPDS bawa aja mobilnya, Cil. Tapi nanti anter-jemput aku, ya?"Agatha menoleh, ia menatap Kelvin yang masih pada tempatnya. Lelaki itu tersenyum dengannya kedua alis dia angkat naik. Mau tak mau Agatha terkekeh, dia menimpuk Kelvin yang memasang wajah meyebalkan itu. "Kenapa jadi kamu yang manja sih, Om?" Protes Agatha yang tangannya masih menimpuk Kelvin deng
"Yah, ini seriusan kamarnya cuma satu, Om?"Agatha tertegun setelah tahu di bangunan villa itu hanya ada satu kamar saja. Kelvin menoleh, ia meletakkan tas dan segala macam barang bawaannya di atas meja. "Emang kenapa? Kayak kita nggak pernah tidur sekamar aja!" Jawab Kelvin enteng lalu melangkah menuju dapur. Villa ini memang hanya punya satu kamar, namun jangan ditanya fasilitas yang dia miliki, sangat lengkap plus privat pool yang ada di halaman belakang. Mendengar jawaban itu, Agatha mencebik, ia meletakkan tasnya di sofa lalu berkeliling melihat-lihat sudut demi sudut tempat yang akan dia gunakan untuk bermalam selama dua hari. "Ntar aku bisa tidur di sofa depan TV, jangan khawatir." Desis Kelvin ketika Agatha menyusulnya di dapur. "Setuju!" Sahut Agatha cepat, matanya tertuju pada kilau air kolam pribadi jatah mereka di halaman belakang. Buru-buru Agatha berlari membuka pintu kaca, melangkah keluar dan tersenyum lebar memandang kilau air yang seakan merayunya itu. "Cil, u
"Nah kan, Om ... Beneran ujan noh!"Di tengah-tengah momen makan malam mereka berdua, hujan turun rintik-rintik. Kelvin hanya menatap air kolam yang beriak efek rintik air hujan, ia lalu kembali serius membolak-balikan beef slice di pan. "Biarin lah hujan, toh kita nggak kehujanan. Apa salahnya?" Jawab Kelvin santai. Sesungguhnya, di balik sikap santai Kelvin ini, ia tengah menekan segala macam gejolak dalam hatinya. Ia tidak ingin Agatha tahu apa yang ada di pikiran Kelvin sekarang. Tapi bagaimana caranya? Dan apakah Agatha pun memiliki perasaan yang sama? Atau malah sebaliknya? Tapi kenapa kemarin .... "Ya kan setidaknya bener tebakan aku, Om!" Gerutu Agatha kesal. Kelvin menatap Agatha dengan tatapan nanar, ia lantas menghela napas panjang. "Cil, anak SD juga tahu kalo bakalan hujan, Cil! Mendung noh tadi!" Jawab Kelvin tanpa menoleh, ia mulai menyuapkan nasi dan daging kedalam mulut. "Ih ngeselin!" Gerutu Agatha dengan amat lirih, ia pun sama, kini tengah menikmati nasi pana
(WARNING : YANG MASIH PUASA SKIP DULU!) Agatha menggeliat, ia memekik kecil ketika merasakan rasa pedih menusuk pada organ vitalnya. Perlahan-lahan Agatha membuka mata, mendapati tubuhnya polos tanpa busana tergolek di atas tempat tidur sendirian. Melihat kamar yang sepi, Agatha kontan bangkit, menutupi dada dengan selimut dan celingak-celinguk mencari di mana Kelvin berada. Agatha hendak bangkit, namun ia mengurungkan niat ketika merasakan sakit itu begitu menusuk ketika ia hendak menggerakkan kaki. "Aduh!" Agatha mengernyit, ia lantas memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya daripada turun dari tempat tidur. Samar-samar Agatha kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi semalam. Di dalam kamar ini, di tengah-tengah hujan dan gemuruh petih di luar sana, Kelvin menyentuhnya dengan begitu lembut, jemarinya begitu lihai menyentuh titik demi titik sensitif Agatha, membuat Agatha terbakar dan hilang kendali olehnya. "Kenapa?" Pancing suara itu begitu sensual. Agatha mengigit bibi
[ WARNING : YANG MASIH PUASA, SKIP DULU, YA! SAYANG PUASANYA! ]"Udah laper?" Tanya Kelvin begitu mereka masuk ke dalam Vila. Agatha yang baru dua langkah masuk ke dalam Vila kontan membalikkan badan, menatap Kelvin dengan alis berkerut. "Om kita baru aja makan, tadi. Masa iya udah mau makan lagi?" Tanya Agatha gemas. "Loh ... Siapa tau udah laper lagi." Kelvin mengunci pintu depan, ia mengekor di belakang langkah istrinya. "Belom ... Belom lapar, Om." Balas Agatha lalu masuk ke dalam kamar. Ia tertegun sejenak ketika mendapati ranjang itu masih sangat berantakan, menggambarkan bagaimana aktivitas mereka semalam. Mendadak wajah Agatha memanas, kenapa setiap mengingat momen itu wajahnya selalu memanas begini? "Eh! Apaan?" Agatha berteriak ketika tangan itu tiba-tiba melingkar di perutnya, mendekap tubuhnya erat-erat dari belakang dan kepala itu bersandar di bahu Agatha dengan sedikit manja. "Mau apa kita sekarang?" Tanya suara itu lirih, sengaja sekali tepat di telinga Agatha su
"Serius ini aku yang bawa mobilnya?"Agatha sudah naik ke dalam mobil, memasang seat belt-nya dan bersiap ke kampus. Bukan hanya dia, Kelvin pun sudah bersiap pula untuk kembali sekolah, bedanya Kelvin akan banyak menghabiskan waktu belajarnya di rumah sakit. "Serius, Sayang. Ntar tapi jemput, ya?" Gumam Kelvin yang mulai membawa mobil itu pergi dari parkiran. "Iya deh iya, ntar aku jemput. Semangat belajarnya ya?"Kelvin menoleh sekilas, tangan kirinya terulur mengacak rambut Agatha dengan gemas, membuahkan sebuah gebukan keras bertubi-tubi yang Agatha layangkan. "Pasti dong, kamu juga, ya?""Om! Berantakan ini! Udah susah-susah dicatok juga!" Protes Agatha tak suka, bukan apa-apa, bahkan subuh tadi dia sudah harus mandi keramas karena ulah Kelvin ini. "Biarin kenapa sih? Lagian kamu, cuma ke kampus aja cantik-cantik amat? Bikin was-was aja!" Gerutu Kelvin yang mendadak teringat peristiwa kemarin, saat ia memergoki istrinya dibawa lelaki lain ke sebuah resto. "Was-was kenapa? Ud