"Ya tapi nggak gitu juga, Om. Mama bohong dong berarti?"Agatha tidak setuju. Ini bukan soal mobil, ini soal perjanjian yang Handira sendiri sudah setuju sejak awal. Kalau begini, sama saja Agatha rugi berkali-kali dong? "Lha terus mau gimana?" Kelvin bersandar di kusen pintu kamar Agatha, ia nampak sabar mendengarkan curhatan Agatha. "Ya aku tetep mau mobil aku dong. Itu hak aku! Udah dibela-belain nurutin mama nikah juga!" Gerutu Agatha masih tidak terima.Kelvin tersenyum, ia masih menyimak dengan serius. "Kalo itu sih aku nggak mau ikut campur. Kan urusan kamu sama mama, Cil. Cuma kalo pengen kemana-mana, mulai aku aktif PPDS bawa aja mobilnya, Cil. Tapi nanti anter-jemput aku, ya?"Agatha menoleh, ia menatap Kelvin yang masih pada tempatnya. Lelaki itu tersenyum dengannya kedua alis dia angkat naik. Mau tak mau Agatha terkekeh, dia menimpuk Kelvin yang memasang wajah meyebalkan itu. "Kenapa jadi kamu yang manja sih, Om?" Protes Agatha yang tangannya masih menimpuk Kelvin deng
"Yah, ini seriusan kamarnya cuma satu, Om?"Agatha tertegun setelah tahu di bangunan villa itu hanya ada satu kamar saja. Kelvin menoleh, ia meletakkan tas dan segala macam barang bawaannya di atas meja. "Emang kenapa? Kayak kita nggak pernah tidur sekamar aja!" Jawab Kelvin enteng lalu melangkah menuju dapur. Villa ini memang hanya punya satu kamar, namun jangan ditanya fasilitas yang dia miliki, sangat lengkap plus privat pool yang ada di halaman belakang. Mendengar jawaban itu, Agatha mencebik, ia meletakkan tasnya di sofa lalu berkeliling melihat-lihat sudut demi sudut tempat yang akan dia gunakan untuk bermalam selama dua hari. "Ntar aku bisa tidur di sofa depan TV, jangan khawatir." Desis Kelvin ketika Agatha menyusulnya di dapur. "Setuju!" Sahut Agatha cepat, matanya tertuju pada kilau air kolam pribadi jatah mereka di halaman belakang. Buru-buru Agatha berlari membuka pintu kaca, melangkah keluar dan tersenyum lebar memandang kilau air yang seakan merayunya itu. "Cil, u
"Nah kan, Om ... Beneran ujan noh!"Di tengah-tengah momen makan malam mereka berdua, hujan turun rintik-rintik. Kelvin hanya menatap air kolam yang beriak efek rintik air hujan, ia lalu kembali serius membolak-balikan beef slice di pan. "Biarin lah hujan, toh kita nggak kehujanan. Apa salahnya?" Jawab Kelvin santai. Sesungguhnya, di balik sikap santai Kelvin ini, ia tengah menekan segala macam gejolak dalam hatinya. Ia tidak ingin Agatha tahu apa yang ada di pikiran Kelvin sekarang. Tapi bagaimana caranya? Dan apakah Agatha pun memiliki perasaan yang sama? Atau malah sebaliknya? Tapi kenapa kemarin .... "Ya kan setidaknya bener tebakan aku, Om!" Gerutu Agatha kesal. Kelvin menatap Agatha dengan tatapan nanar, ia lantas menghela napas panjang. "Cil, anak SD juga tahu kalo bakalan hujan, Cil! Mendung noh tadi!" Jawab Kelvin tanpa menoleh, ia mulai menyuapkan nasi dan daging kedalam mulut. "Ih ngeselin!" Gerutu Agatha dengan amat lirih, ia pun sama, kini tengah menikmati nasi pana
(WARNING : YANG MASIH PUASA SKIP DULU!) Agatha menggeliat, ia memekik kecil ketika merasakan rasa pedih menusuk pada organ vitalnya. Perlahan-lahan Agatha membuka mata, mendapati tubuhnya polos tanpa busana tergolek di atas tempat tidur sendirian. Melihat kamar yang sepi, Agatha kontan bangkit, menutupi dada dengan selimut dan celingak-celinguk mencari di mana Kelvin berada. Agatha hendak bangkit, namun ia mengurungkan niat ketika merasakan sakit itu begitu menusuk ketika ia hendak menggerakkan kaki. "Aduh!" Agatha mengernyit, ia lantas memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya daripada turun dari tempat tidur. Samar-samar Agatha kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi semalam. Di dalam kamar ini, di tengah-tengah hujan dan gemuruh petih di luar sana, Kelvin menyentuhnya dengan begitu lembut, jemarinya begitu lihai menyentuh titik demi titik sensitif Agatha, membuat Agatha terbakar dan hilang kendali olehnya. "Kenapa?" Pancing suara itu begitu sensual. Agatha mengigit bibi
[ WARNING : YANG MASIH PUASA, SKIP DULU, YA! SAYANG PUASANYA! ]"Udah laper?" Tanya Kelvin begitu mereka masuk ke dalam Vila. Agatha yang baru dua langkah masuk ke dalam Vila kontan membalikkan badan, menatap Kelvin dengan alis berkerut. "Om kita baru aja makan, tadi. Masa iya udah mau makan lagi?" Tanya Agatha gemas. "Loh ... Siapa tau udah laper lagi." Kelvin mengunci pintu depan, ia mengekor di belakang langkah istrinya. "Belom ... Belom lapar, Om." Balas Agatha lalu masuk ke dalam kamar. Ia tertegun sejenak ketika mendapati ranjang itu masih sangat berantakan, menggambarkan bagaimana aktivitas mereka semalam. Mendadak wajah Agatha memanas, kenapa setiap mengingat momen itu wajahnya selalu memanas begini? "Eh! Apaan?" Agatha berteriak ketika tangan itu tiba-tiba melingkar di perutnya, mendekap tubuhnya erat-erat dari belakang dan kepala itu bersandar di bahu Agatha dengan sedikit manja. "Mau apa kita sekarang?" Tanya suara itu lirih, sengaja sekali tepat di telinga Agatha su
"Serius ini aku yang bawa mobilnya?"Agatha sudah naik ke dalam mobil, memasang seat belt-nya dan bersiap ke kampus. Bukan hanya dia, Kelvin pun sudah bersiap pula untuk kembali sekolah, bedanya Kelvin akan banyak menghabiskan waktu belajarnya di rumah sakit. "Serius, Sayang. Ntar tapi jemput, ya?" Gumam Kelvin yang mulai membawa mobil itu pergi dari parkiran. "Iya deh iya, ntar aku jemput. Semangat belajarnya ya?"Kelvin menoleh sekilas, tangan kirinya terulur mengacak rambut Agatha dengan gemas, membuahkan sebuah gebukan keras bertubi-tubi yang Agatha layangkan. "Pasti dong, kamu juga, ya?""Om! Berantakan ini! Udah susah-susah dicatok juga!" Protes Agatha tak suka, bukan apa-apa, bahkan subuh tadi dia sudah harus mandi keramas karena ulah Kelvin ini. "Biarin kenapa sih? Lagian kamu, cuma ke kampus aja cantik-cantik amat? Bikin was-was aja!" Gerutu Kelvin yang mendadak teringat peristiwa kemarin, saat ia memergoki istrinya dibawa lelaki lain ke sebuah resto. "Was-was kenapa? Ud
Kelvin meletakkan ponsel di atas meja, sudah kenyang dia dicaci maki Namira seperti tadi. Bukan salah Namira kalau gadis itu marah, semua kesalahan ada di Kelvin, dia akui itu! Kepala Kelvin terasa sangat pusing, ia masih belum bisa menentukan langkah. "Brian!" Langsung nama itu yang muncul di kepala Kelvin, ia kembali meraih ponsel itu, menghubungi Brian mumpung dia masih punya waktu luang barang sebentar. Kelvin menanti panggilannya dijawab, walaupun sedikit banyak Kelvin sudah tahu apa-apa saja yang akan lelaki itu katakan, namun itu tidak menghalangi niat kelvin menghubungi Brian sekarang. "Halo ... Kenapa, Vin?" Sapa suara itu segera, rupanya bapak satu anak ini sedang dalam waktu luang. "Lu lagi sibuk nggak, Yan?" Ujar Kelvin balas bertanya. "Bau-baunya elu lagi sakit kepala, Vin? Kenapa? Demenan elu bunting?" Tanya Brian asal. "Anjir! Amit-amit. Jangan dong, Yan!" Desis Kelvin dengan wajah ditekuk. "Loh ... Kok jangan? Bukannya enak ntar ada alasan ke nyokap kalo elu mo
"Kupikir nggak kesini." Kelvin tersenyum getir, ia segera meraih lengan Namira, menarik gadis itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. "Jangan gitu dong, baru dateng loh aku ini." Desis Kelvin lirih. "Iya kalo nggak diancem tadi mana mungkin kamu datang ke sini, Bang!" Sindir Namira pedas. "Kok bilang gitu?" Kelvin meremas tangan Namira dalam genggamannya. "Kan aku bilang kemarin mama ada ke sini, Yang."Namira menghempaskan tangannya sampai genggaman Kelvin terlepas. Ia menatap Kelvin dengan tatapan tajam. "Kita mau sampai kapan sih kayak gini? Sampai kapan? Aku capek, Bang! Demi apapun aku capek!" Suara Namira meninggi, Kelvin segera meraih kedua bahu Namira, berusaha menenangkan gadis itu agar tidak meledak-ledak. "Iya aku ngerti, cuma ....""Apa? Aku nggak mau tahu ya, begitu kamu lulus PPDS kamu harus tepatin janji kamu atau kalo engga, aku bakalan dateng ke rumah mama kamu dan bongkar semua tentang hubungan kita selama ini!" Kelvin membelalak, ia sama sekali tidak meny