Kelvin sudah sampai di depan pintu unit mereka, jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, ia segera menempelkan kartu akses miliknya dan membuka pintu unit. Perlahan ia melangkah masuk, sepanjang perjalanan tadi dia sudah menyusun jawaban untuk menjawab semua pertanyaan Agatha perihal kepulangannya yang sangat terlambat ini. Langkah kaki Kelvin terhenti, matanya memanas ketika mendapati Agatha tertidur di meja makan. Hatinya mencelos pedih, ingin rasanya Kelvin berlari memeluk tubuh itu. Baru hendak kembali melangkahkan kaki, Kelvin baru menyadari sesuatu yang membuat matanya membelalak. Apalagi kalau bukan aroma yang menguar dari tubuhnya! Perpaduan keringat dan aroma-aroma khas lain menyeruak begitu tajam! Kelvin tidak mungkin memeluk Agatha dengan tubuh penuh bau macam ini! Perlahan Kelvin berjingkat menuju kamar mandi, ia harus membersihkan semua jejak ini sampai bersih! Beruntung hingga Kelvin sampai dan masuk ke kamar mandi, tubuh itu tidak bergerak, dengkur halus itu bahkan
"Kamu di mana?"Agatha menjepit ponsel dengan kepala da bahu, tangannya sibuk mengaduk tas untuk mencari kartu aksesnya. Ia tengah menelpon Kelvin, menanyakan perlu atau tidaknya suaminya itu dijemput. "Aku udah di apart, Om. Gimana dijemput engga? Kalo iya aku ganti baju bentar terus jemput kamu." Agatha mengambil ponsel dengan tangan, kini ia melenggang masuk ke dalam unit apartemennya. "Nggak usah, Sayang. Aku pulang sendiri aja." Jawab suara itu dari seberang. "Serius? Nggak apa-apa kalo mau dijemput, Om." Tawar Agatha lagi, ia melemparkan tasnya ke atas kasur, masih menantikan jawaban dari Kelvin melalui sambungan telepon."Kamu istirahat aja di apart, atau mau ada rencana keluar sama temen?" Tanya suara itu lagi. "Nggak. Aku nggak ada acara kemana-mana, makanya nawarin mau jemput, Om." Agatha melepas sepatunya, kini pandangannya teralih pada Saga, terlihat hamster itu tengah menikmati biji-bijian yang Agatha selalu siapkan untuknya. "Yaudah istirahat aja ya, tunggu aku bali
"Kamu muntah lagi, Tha?"Agatha terkejut, ia masih sibuk mengusap jejak air di sekitar bibirnya. Kepalanya mengangguk pelan, tubuhnya terasa lemas, ini sudah dua kali dia muntah-muntah. "Izin nggak ikut kelasnya dokter Prapto gimana sih, Ka? Kepalaku pusing banget." Runtih Agatha lirih. "Ke klinik aja biar diperiksa, kamu pucet banget, Tha!" Pinka nampak panik, ia melangkah di sebelah Agatha, seolah takut tubuh itu ambruk karena saking pucatnya. "Nggak ah! Aku nggak apa-apa." Tolak Agatha lalu duduk di kursi."Kamu yakin? Atau jangan-jangan ...."Agatha menoleh, ia menatap Pinka dengan saksama, "Jangan-jangan apa?"Wajah Pinka masih begitu serius, ia bahkan tak berkedip menatap Agatha, membuat Agatha menimpuk lengan gadis itu agar berhenti menatapnya seperti itu. "Heh! Kenapa sih? Ada apa?" Tanya Agarha tak sabar. "Kamu nggak KB, kan, Tha? Apa jangan-jangan kamu hamil, Tha?"***'Hamil?'Agatha membawa mobil menuju apotik yang ada di sepanjang jalan menuju apartemen. Ia hendak me
"Aku mau ngomong penting sama kamu, Yang!"Agatha langsung seketika menghentikan langkah, entah mengapa ia seperti refleks begitu mendengar suara itu. Padahal Agatha baru pertama kali mendengar suara itu, itu suara siapa dan sedang bicara dengan siapa di dalam sana? "Soal apa? Ngomong aja!"Jantung Agatha rasanya seperti berhenti berdetak. Ia masih berusaha menyakinkan dan memastikan apakah benar suara itu suara Kelvin? Suaminya? Dan siapa wanita itu? Kenapa tadi dia memanggil Kelvin dengan sebutan ... "Aku hamil, Yang."DEG! Mendadak jantung Agatha berdetak dua kali lebih cepat, matanya memanas. Tubuhnya mendadak terasa ringan. Ia segera menyandarkan tubuhnya di tembok, berusaha menguatkan kaki dan mendengar kelanjutan obrolan itu. Wanita itu hamil? Hamil dengan suaminya? "Apa? Kamu serius?" Jelas! Sangat jelas itu suara Kelvin, suaminya! Jadi selama ini .... "Ya serius lah! Kamu kenapa sih kayak nggak suka gitu denger kabar aku hamil? Kamu nggak lagi coba ingkarin janji kamu,
"Loh? Non? Ini beneran Non Agatha?" Agatha tersenyum semanis mungkin, ia berusaha untuk tidak kembali menangis meskipun sekarang matanya sudah memanas dan memerah.Setelah ia nekat pergi ke bandara dan mencari tiket dadakan dari pesawat manapun yang bisa membawa Agatha ke Jakarta, kini ia sudah berdiri di rumah besar yang sudah sembilan belas tahun dia tempati. Meskipun pesawat sempat delay beberapa jam, kini ia kembali dengan koper dan segala rasa sakit yang menganga dan berdarah-darah di hatinya. "Astaga, Non? Kok dadakan? Non sendiri? Mana suaminya?" Cecar pak Sugi lalu membuka gerbang. "Nanti aja tanyanya, Pak. Mama ada, kan?" Tanya Agatha begitu ia masuk ke dalam halaman rumah. Ditanya begitu, wajah lelaki itu nampak pucat pasi. Pak Sugi tidak langsung menjawab, membuat alis Agatha berkerut dan menatap lelaki itu dengan saksama. "Pak?" Panggil Agatha ketika pak Sugi hanya diam. "Eh ... Anu, Ibu masih di rumah sakit, Non." Jawabnya sambil tersenyum kikuk. Alis Agatha kembal
"Ka-mu pulang, Sayang? Mana Kelvin?"Agatha segera berlari memeluk tubuh itu, tangisnya makin keras. Ia meraung-raung dalam pelukan Handira. Jadi ini yang membuat mamanya tiba-tiba menutup kepala dengan hijab? Karena sekarang tak satupun rambut yang dulu dia cat coklat itu tersisa di kulit kepalanya? Bukan hanya tangis Agatha yang pecah, tangis Handira pun pecah. Mereka saling peluk dengan isak tangis yang menyayat hati. "Mama kenapa tega banget sama Thata, Ma? Kenapa mama nggak pernah cerita? Kenapa mama nggak bilang kalo kondisi mama sampai kayak gini? Kenapa aku harus tahu dari orang lain? Kenapa, Ma? Mama udah nggak sayang sama aku, iya?" Racau Agatha disela-sela isak tangisnya. Handira tidak menjawab, tangisnya makin keras, ia menjatuhkan ciuman berkali-kali di puncak kepala Agatha yang ada dalam pelukannya. Ia terus melakukan itu sampai kemudian ia melepaskan Agatha dari pelukannya. "Maafin mama, Tha. Mama cuma nggak mau kamu sedih." Desisnya lirih. "MAMA NGGAK MAU AKU SEDIH
"Benar begitu, Vin?"Suara Dewi bergetar hebat, kakinya terasa lemas, namun ia mencoba sekuat tenaga tetap menopang tubuh. Sambil terisak, Agatha menjelaskan semuanya. Bagaimana ia memergoki Kelvin ternyata berselingkuh bahkan selingkuhannya sampai hamil. "Ma ... Kelvin bener-bener min--.""Cukup jawab benar atau tidak, Vin!" Potong Dewi emosi, untung ia masih ingat betul untuk tidak berteriak. Tangis Kelvin pecah, ia terisak sambil mengangukkan kepalanya. Membenarkan semua cerita yang tadi disampaikan Agatha. "Astaghfirullah Kelvin!" Tangis Dewi pecah, tangannya tremor hebat. Ia lantas menatap Agatha yang juga menangis sesegukan, merengkuh tubuh itu dan mendekapnya erat-erat. "Aku nggak bisa kayak gini, Ma ... Rasanya sakit banget!" Desis suara itu berbaur dengan tangis. Dewi menggigit bibir kuat-kuat, ia hanya mengangguk pelan sambil terus mengusap puncak kepala Agatha. "Mama dalam kondisi kayak gitu, aku harus terima kenyataan yang seperti ini, nggak bablas gila aja aku udah b
Kreeett. Agatha menoleh, Dewi nampak melangkah mendekati ranjang dimana Handira berbaring. Ia mencengkram lembut bahu Agatha, membuat Agatha refleks menyadarkan tubuh pada tubuh itu."Istirahat aja dulu, Tha. Kamar untuk penunggu ada di balik pintu itu. Mama udah nelpon papa kalo malam ini ikut nginep di sini jagain mama kamu." Jelas Dewi sambil mengusap-usap puncak kepala Agatha. "Nggak usah, Ma. Mama pulang aja. Biar Thata yang gantian jaga mama. Lagipula mama udah jagain dan tungguin mama selama satu tahun ini." Tolak Agatha halus, ia sama sekali tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu bersama Handira, tidak ada yang tahu sampai kapan Handira bisa bertahan, Agatha sudah sedikit banyak membaca laporan perkembangan milik mamanya, dan jujur isinya sama sekali tidak bagus! "Sudahlah, papamu yang nyuruh. Kamu hamil muda, habis dari perjalanan jauh, dia nggak mau kamu sama cucunya sampai kenapa-kenapa. Besok papamu nyusul ke sini."Ada secercah perasaan haru dan pedih yang menjalar di