Kreeett. Agatha menoleh, Dewi nampak melangkah mendekati ranjang dimana Handira berbaring. Ia mencengkram lembut bahu Agatha, membuat Agatha refleks menyadarkan tubuh pada tubuh itu."Istirahat aja dulu, Tha. Kamar untuk penunggu ada di balik pintu itu. Mama udah nelpon papa kalo malam ini ikut nginep di sini jagain mama kamu." Jelas Dewi sambil mengusap-usap puncak kepala Agatha. "Nggak usah, Ma. Mama pulang aja. Biar Thata yang gantian jaga mama. Lagipula mama udah jagain dan tungguin mama selama satu tahun ini." Tolak Agatha halus, ia sama sekali tidak ingin melewatkan sedetik pun waktu bersama Handira, tidak ada yang tahu sampai kapan Handira bisa bertahan, Agatha sudah sedikit banyak membaca laporan perkembangan milik mamanya, dan jujur isinya sama sekali tidak bagus! "Sudahlah, papamu yang nyuruh. Kamu hamil muda, habis dari perjalanan jauh, dia nggak mau kamu sama cucunya sampai kenapa-kenapa. Besok papamu nyusul ke sini."Ada secercah perasaan haru dan pedih yang menjalar di
"Papa?"Kelvin terkejut setengah mati ketika yang membuka pintu rumah adalah papanya, bukan asisten rumah tangga seperti biasa. Bisa Kelvin lihat wajah dan mata Ahmad memerah, sebuah tanda bahwa lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. "Keterlaluan kamu, Vin!" Desis Ahmad menahan amarah. "Mama sudah telpon dan cerita semua tadi. Sekarang apa yang mau kamu jelaskan ke papa?"Sebagai anak, Kelvin tahu papanya sudah diambang batas kemarahan. Sorot dan nada suara Ahmad sudah menjelaskan semua. Kelvin sontak bersimpuh, jatuh terduduk di depan ayahnya dengan kedua tangan terulur memeluk kaki Ahmad. "Sudah tidak ada yang bisa Kelvin jelaskan lagi, Pa. Kelvin rasa mama sudah cerita semua. Kelvin salah, Kelvin sudah keterlaluan."Ahmad bergeming, ia masih berdiri mematung di tempatnya berdiri. "Sekarang Kelvin cuma mau minta tolong satu hal sama papa, tolong ... Bantu Kelvin mempertahankan Agatha, Pa. Tolong."Terdengar helaan napas kasar. Ahmad menepuk bahu Kelvin dengn sedikit keras. "Ban
"Sayang, bangun yuk?"Agatha mengerjapkan matanya, ia mencoba membuka matanya perlahan-lahan dan terkejut ketika mendapati Kelvin sudah duduk di tepi ranjang sambil meremas-remas tangannya dengan lembut. Kontan Agatha mengibaskan tangan itu dengan kasar, bangun dan duduk di ranjang dengan tatapan sinis. "Mau apa kamu?"Kelvin mencoba meraih kembali tangan itu, namun Agatha menolak keras, ia merasa jijik dengan lelaki yang sudah menanamkan benihnya di rahim Agatha. Jadi selama ini dia tidur dengan lelaki yang juga tidur dengan wanita lain? "Tha ... Please, maafin aku." Desis Kelvin lirih. "Maaf?" Agatha melotot, namun suaranya sama lirih dengan suara Kelvin. "Semudah itu kamu minta maaf? Kamu pikir kamu cuma ngilangin sendal gitu, terus bisa selesai masalahnya dengan kata maaf? Mikir tolong!" Maki Agatha yang mendadak dadanya kembali sesak. Kenapa dia bisa jatuh cinta pada lelaki berengsek ini? "Iya aku ngerti, aku salah. Aku akan lakuin apapun yang kamu mau supaya kamu mau maafin
"Nah sudah kelihatan kantungnya, kan?" Tanya dokter Anjas sambil menekan lembut probe di tangan. Agatha membeku di tempatnya berbaring. Di layar monitor itu, ia bisa lihat benar ada sebuah kantung terbentuk dalam rahimnya, kantung yang nantinya akan berisi janin dan membesar sampai kemudian waktunya lahir. Mata Agatha memerah, ia terpaku, hanya fokus menatap layar tanpa memperdulikan Dewi dan Kelvin yang nampak menitikkan air mata di tempat mereka berdiri masing-masing. "Minggu depan balik, ya? Nanti kita cek lagi sudah ada atau belum detak jantungnya." Dokter Anjas menggantung probe kembali ke tempatnya, sementara seorang perawat lantas membantu membersihkan perut Agatha dan membantunya bangkit. Kelvin dengan sigap membantu Agatha turun dari ranjang, dengan terpaksa Agatha menerima uluran tangan itu karena Dewi sudah lebih dulu memburu langkah dokter Anjas ke mejanya. "Makasih!" Agatha buru-buru menepis tangan Kelvin, melangkah lebih dulu mendahului Kelvin dan duduk di kursi yan
"Kok nggak ada?"Agatha panik, ia membongkar isi kopernya, meleparkan asal pakaian-pakaian yang dia susun ke dalamnya. Sampai semua pakaian dan beberapa dokumen miliknya keluar dari koper, benda yang dia cari masih tidak ketemu. "Harusnya ada di sini!" Desis Agatha lemas. Ia nampak berpikir sejenak, sedetik kemudian matanya membelalak, ia segera bangkit, membuka pintu kamar dan mencari asisten rumah tangga Handira. "Mbak ... Mbak Indah?" Panggil Agatha sedikit lirih, ia tidak mau Handira mendengar keributan ini dari kamarnya. "Kenapa, Non? Ada yang bisa mbak bantu?" Tanya sosok itu segera muncul ke hadapan Agatha. "Itu, cuma mau tanya ... Apa ada yang masuk ke kamar dan buka koper punya aku, mbak?" Tanya Agatha langsung to the point. "Oh itu? Kemarin mas Kelvin yang datang, Non. Tanya koper Non Thata di mana, katanya non Thata yang minta diambilin barang di dalam koper." Jelas mbak Indah yang seketika mampu membuat Agatha membelalak. "Astaga, Mbak!" Agatha mendesis, emosinya te
"Kalo semisal Agatha tetap pada pendirian Agatha buat pisah sama mas Kelvin, gimana?"Dewi tertegun sejenak, ia nampak tersenyum getir sambil mengangguk perlahan. "It's okay, Tha. Itu pilihan kamu, kamu yang jalanin semuanya. Mama nggak bisa paksa kamu, kan? Tapi boleh minta satu hal, Tha?""Apa, Ma?" Tanya Agatha sambil menyeka air mata. "Jadi anak mama ya, Tha? Jadi anak mama sama papa. Karena bagaimanapun ... Ada darah kamu di cucu mama. Kamu yang susah payah bertaruh nyawa buat kasih mama cucu. Jangan jadi orang lain ya, bisa kan, Tha?"***"Papa di kamar depan, ya?" Kelvin menutup pintu, tangannya menyalakan saklar lampu, membuat unit yang tadinya hanya mendapat cahaya dari langit luar kini terang benderang. "Kamu ini, Vin ... Vin! Hidup masih numpang sama istri eh udah aja bertingkah." Ahmad menatap sedu ke arah anak lelakinya itu. Kelvin tidak ingin membalas, ia sudah cukup lelah. Mana besok ia sudah harus kembali menjalani masa residensinya. Masa residensi yang cukup bera
"Eh?"Kelvin mematung dengan ponsel di tangan. Setelah baterainya penuh, Kelvin segera menyalakan ponsel dan mendapati Agatha berulang kali mencoba menghubunginya. Bukan hanya Agatha, ada juga banyak panggilan tak terjawab dari Namira serta chat wanita itu. Sedangkan Agatha ... Istrinya itu sama sekali tidak mengirimkan pesan apapun padanya. Dengan segera Kelvin menghubungi balik nomor itu. Ia secara tidak langsung sudah menebak, untuk apa istrinya menelepon sampai begitu banyak. Dan apapun itu, Kelvin sudah menyiapkan jawaban. "Mana buku nikah dari koper ku? Kamu yang ambil, kan?" Tanya suara itu tepat seperti dugaan Kelvin, bahkan Agatha tidak mengucapkan salam padanya. "Memang! Aku yang ambil karena itu punyaku juga, Sayang." Jawab Kelvin santai. "Berengsek! Balikin nggak?" Umpat suara itu penuh kebencian. "Sampai kapanpun aku nggak akan kembalikan buku itu ke kamu. Nggak akan demi apapun!" Tegas Kelvin tak takut. "Nggak bisa begitu! Kamu nyuri itu dari aku!" Tolaknya sama-sa
"Anak kamu? Kamu bilang ini anak kamu?" Namira menatap gemas lelaki itu, rasanya ingin ia tendang dia keluar sekarang juga. "Ya! Itu anak aku!" Jawabnya tegas. Kontan tawa Namira pecah, ia terbahak-bahak sambil menatap Dimas dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa lelaki ini mengklaim janin yang tumbuh dalam rahim Namira sebagai anaknya? "Jangan halu! Kita selalu pakai pengaman tiap berhubungan. Bagaimana bisa kamu bilang ini anak kamu?" Tantang Namira tanpa memalingkan wajah. "Kita memang selalu pakai pengaman, tapi kamu yakin pengaman yang aku pakai seratus persen aman?" Balas Dimas dengan seringai tajam. Namira tercekat, jujur hatinya mulai didera rasa takut. Terlebih hasil USG kemarin mengatakan .... "Aku sengaja merusak pengaman yang aku pakai ketika kita berhubungan, Ra. Apa ini masih kurang cukup untuk meyakinkan kamu bahwa janin itu darah dagingku?"Keringat dingin mengucur di dahi Namira, ia menatap nanar lelaki yang sudah beberapa bulan ini menjadi ban serep tatkala Namir