Pagi itu suasana di kediaman Rustam tidak seperti biasanya. Mungkin karena untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan Alya datang dan menginap di sana, biasanya ia hanya mampir untuk makan malam atau mengunjungi sang ibu, atau karena kedatangan Leo semalam, entahlah. Rustam masih seperti bocah yang batal diajak jalan-jalan di hari minggu atau gagal dibelikan mainan, setelah pembicaraannya dengan Leo semalam.
Berbeda dengan Larasati yang lega, karena sang putri memiliki alasan yang kuat untuk menolak Hamza. Oh, Larasati benar-benat tak menduga putrinya ternyata sudah memiliki tunangan. Kenapa mereka tidak memberitahu dari awal? Mungkin insiden lamaran dan penolakan terhadap Hamza tak akan terjadi jika Alya jujur sejak awal jika ia telah memiliki laki-laki yang ia dambakan untuk menjadi calon suaminya. Larasati akan memakluminya, dan sekarang pun, ketika berita itu adalah sebuah kebenaran, ia juga akan berusaha untuk memaklumi keputusan putrinya, mendukungnya dan tentu saja
Leo merasa sedikit lega setelah berbicara dengan ayah Alya, tentu, meski ia tidak seratus persen yakin, calon mertuanya itu menyukainya atau bahkan akan merestui hubungannya dengan Alya, tetapi, setidaknya Leo telah mengataknnya. Apapun yang nanti terjadi, ia sudah bersiap. Sekarang tinggal bagaimana menyampaikan kabar itu kepada keluarganya. Ayah dan ibu tirinya pasti akan sangat gembira dengan kabar ini. Bagaimanapun mereka telah mendesaknya secara tersirat sejak lama. Hanya saja ia tak pernah benar-benar memikirkan kemungkinanan akan sebuah pernikahan yang terjadi antara dirinya dan seorang perempuan. Tentu, hingga kehadiran Alya dalam hidupnya, lamaran Hamza, tetapi yang lebih mendesak adalah syarat yang diberikan sang kakek untuk mendapatkan harta warisan. Meski Leo tidak pernah kekurangan uang karena saat ini ia menghasilkan uang sendiri bahkan sejak masih menyandang status mahasiswa, tetapi harta warisan itu adalah haknya. Uang itu atau apapun yang ditinggalkan oleh i
"Jadi?" Mereka, Leo dan Alya sedang dalam perjalanan pulang dari kafe. Entah mengapa, malam itu sangat cerah. Berbeda dari malam-malam sebelumnya. Mungkin itu juga yang membuat sepasang kekasih itu merasa bahagia. Seperti biasa Leo menjemputnya di kafe Kopi dan Lemon, sekaligus makan malam bersama, tetapi kali ini dan beberapa malam sebelumnya, ia memutuskan untuk membayar makanan yang mereka makan. Sudah terlalu sering ia makan gratis pada malam-malam sebelumnya. Leo tak mau tuduhan terhadapnya menjadi kenyataan. Bahwa ia ke sana untuk makan gratis, seperti yang Alya katakan beberapa waktu lalu. "Ehm, biar kupikirkan!" Kata Alya santai, tak benar-benar memikirkan karena sebenarnya daftar itu sudah terukir di dalam benaknya. "Kamu bisa mengatakannya sekarang, Sayang. Setidaknya aku perlu bersiap-siap, tidak ada yang tahu apakah kamu akan menindasku dengan keinginanmu yang tidak masuk akal," canda Leo, tetapi ada keseriusan di dalam perkata
Dengan lesu Leo melangkah menuju ruang ganti. Ia sudah berusaha menemukan semangatnya ketika mandi air dingin selama hampir lima belas menit, berharap pikirannya akan kembali segar. Akan tetapi tak ada yang berubah dari semangatnya atau apa yang ia rasakan.Masih kacau.Hafalan!Alya benar-benar mengatakannya, memintanya, dan bahkan sepertinya sudah marah duluan saat Leo menawarinya hal lain. Ya, mahar memang hak Alya. Ia bisa meminta apa saja, bahkan bulan jika perlu, tetapi Leo hanya bisa memberi sesuatu semampunya, dan apa yang mampu ia lakukan. Tak kurang dan tak lebih.Jadi apakah semua mahar perempuan tidak logis dan berat begitu? Atau hanya Leo saja yang merasa demikian karena ia memang... katakanlah tidak memiliki kemampuan untuk menghafal. Lebih tepatnya ia sama sekali tidak terpikir tentang hal itu hingga Salma membahasnya.Dan... hafalan itu... sepertinya sangat-sangat mustahil... untuk dilakukan, setidaknya bagi Leo. L
Laila membelai lengan serta dada sang suami, ia cukup percaya diri bahwa tindakan kecilnya itu mampu meredam kemarahannya. "Bang?" Omar melirik Laila sekilas lalu menyerahkan ponselnya kembali. "Abang tidak tahu apa yang dipikirkan Alya," keluh Omar. "Alya memikirkan akan seperti apa nanti pernikahannya dengan Leo." Omar cemberut, "Jangan membahasnya, Laila. Pernikahan itu tidak akan terjadi, setidaknya sebelum mereka berdua menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," tegurnya, kejengkelan itu tampak sangat jelas dari suaranya saja. Laila hanya memutar bola matanya, sambil menyeret sang suami duduk, masih ada beberapa puluh menit sebelum mereka berpisah. Omar akan pergi ke kantor sementara Laila akan mengunjungi Rara sebelum bergabung dengan ketiga buah hatinya di rumah mertuanya. "Bang, jangan terlalu keras sama Al, Alya udah dewasa, Bang. Dia udah punya pemikiran sendiri, Abang nggak bisa larang dia ini-
Suasana di ruangan konferensi, ruangan yang biasanya digunakan untuk meeting itu sunyi senyap ketika Alya dan Leo menginjakkan kaki di sana. Laki-laki yang mengaku sekretaris Omar mengantar dan membukakan pintu untuk mereka. Mempersilakan mereka masuk dan menunggu dengan sopan. Laki-laki yang memakai setelan jas rapi itu pergi setelah menawari keduanya minuman. Alya dan Leo kompak menjawab kopi, dan sang sekretaris pun berlalu dengan minuman pesanan mereka. Alya melangkah lebih dalam, sementara Leo mengekor di belakangnya. Bukannya ia takut, hanya saja tak nyaman berada di sana. Dan lagi,untuk apa Omar ingin menemuinya? Mereka tidak mekiliki bisnis apapun. Jadi apa masalahnya? Leo terus bertanya-tanya, pernyataan yang tak akan terjawab kecuali Omar membeberkan alasannya mengundangnya. "Apa Omar mengatakan sesuatu?" Leo bertanya santai, ia menarik kursi secara asal lalu menjatuhkan diri di atasnya. Alya tampak gugup sejak pertama
Bulu kudu Alya meremang bersamaan dengan berlangsungnya debat panas antara calon suaminya dan saudara-saudara sepupunya. Tanpa Alya sadari punggungnya basah oleh keringat dingin bahkan tangannya seolah-olah baru dicelupkan ke dalam bak berisi air dingin. Padahal kenyataannya, tangannya aman di dalam genggaman hangat Leo. "Bang.... " "Apa yang kamu katakan?" Suara Omar jauh sangat rendah mengancam. Laki-laki itu seperti singa jantan yang siap menunjukkan kejantanannya di hadapan lawannya. Alya mengalihkan pandang dari wajah Omar yang merah padam. Alya tahu benar, pembicaraan mereka tak akan mudah dan mulus, tetapi ia masih belum siap untuk menghadapi kemarahan Omar dan yang lain. "Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi dengarkan baik-baik. Memang benar, kamu telah menikah dan mungkin hidup bahagia dengan istri dan anak-anakmu," kata Leo santai, nadanya terdengar seperti ejekan di telinga Omar yang terlanjur tidak menyukai peragai Leo. Uc
Reno merasa Alya sedang marah atau setidaknya ada sesuatu yang menganggu pikiran bosnya itu. Ia yakin seratus persen.Sejak pertama kali memasuki kafe satu jam yang lalu, Alya terus bersembunyi di dalam kantornya. Bahkan tak ada permintaan tak masuk akal dan merepotkan seperti biasanya.Apa ada hubungannya dengan Bang Leo? pikirnya masih sibuk memikirkan Alya meski saat ini ia disibukkan dengan pesanan pelanggan yang berdatangan.Jam makan siang sudah dimulai. Kesibukan di kafe akan mulai lebih terasa dalam satu jam ke depan. Untuk saat ini, Reno dibantu oleh Mario hanya menyiapkan pesanan dua buah meja yang masing-masing diisi oleh seorang pelanggan. Total pengunjung yang datang ke kafe hingga detik itu baru sepuluh orang, sementara dua orang baru menunggu pesanan di sajikan, depalan yang lain hampir selesai dengan hidangan mereka."Kamu tahu apa yang terjadi sama mbak Alya?" Tanya Reno setenggah berbisik. Kali ini mereka hanya berdua saja ka
Leo sebenarnya tidak ingin datang ke kantor pagi itu, bahkan ia sudah meminta ijin kepada Haidar. Tetapi satu jam setelah Haidar menyetujui, laki-laki itu malah memintanya untuk datang ke kantor. Ada masalah penting yang hanya bisa diselesaikan olehnya.Sebenarnya Leo sudah curiga dengan sikap Haidar, tetapi ia tak menduga jika mereka akan menyerangnya, oke, bukan menyerang sebenarnya, tetapi apa yang mereka lakukan di ruangannya?Leo menaikkan alisnya saat pandangannya bertemu dengan Haidar. Haidar mendesah."Duduklah," kalimat perintah itu disampaikan oleh Omar. Suara laki-laki itu lebih tenang dari sebelumnya.Leo mengalihkan pandang dari Omar kepada Haidar yang kemudian mengangguk. Sambil mendesah, ia menuruti kemauan semua orang, ya, pastinya mereka semua ingin ia duduk di sana dan mendengarkan entah apa saja yang menganggu mereka. Entah itu ramalan, tuduhan atau apapun, sepertinya kali ini Leo harus mendengarnya hingga selesai. Ya,