"Brengsek!" maki Nami semakin kesal. "apa kamu pikir, aku bersedia kembali menjadi mainan mu seperti dulu lagi?! Ingat ya, Akira. Aku, Okahara Nami tidak akan pernah kembali padamu untuk selamanya!" pekiknya keras.Akira terkekeh geli mendengarnya. Namun tak lama berselang kekehannya menghilang, digantikan dengan raut wajah mengeras. "Baiklah, kalau begitu ... sebagai peringatan pertama —," Akira menoleh pada salah seorang anak buahnya yang berdiri di belakang Toshio. Gegas lelaki itu memegangi kuat kedua bahu Toshio, mendorong tubuh lelaki itu hingga membungkuk di atas meja, menindihnya agar tidak bisa bergerak. Sementara temannya yang lain segera menarik tangan kirinya hingga telentang di atas meja."Tidak! Tuan, saya mohon. Jangan potong tangan saya!" pekik Toshio ketakutan saat dirinya melihat salah seorang anak buah Akira menarik katana dari dalam sarungnya. "TUAN!"Akira tersenyum sinis. Dirinya lantas kembali fokus pada ponsel di telinganya saat mendengar suara kesiap yang kelua
Nami terlihat gelisah selama bekerja. Wanita itu bahkan beberapa kali terlihat tidak fokus. Sebentar-sebentar Nami menatap jam tangannya. Dirinya benar-benar bingung harus berbuat apa."Dokter Okahara!" tegur salah seorang rekannya bekerja, sesama dokter residen. Wanita itu bahkan menepuk pundak kiri Nami hingga membuat Nami terlonjak kaget."Ya Tuhan, kamu mengagetkanku Dokter Rin!" balas Nami menegur. Tangan kanannya mengusap dada agar debaran jantungnya berhenti berdebar kencang. "ada apa?" tanyanya sembari berbalik, menghadap pada Rin.Rin tidak menjawab, melainkan menyodorkan sebuah buket bunga berisi mawar merah pada Nami yang seketika mengerutkan keningnya."Apa ini?" tanya Nami kembali, heran namun juga mulai mencurigai sesuatu."Ada kurir yang datang. Dia berkata ini titipan seseorang untuk Dokter Okahara Nami yang sedang magang di rumah sakit ini. Di sini yang bernama Okahara Nami hanya kamu seorang." Rin kembali menyodorkan bunga tersebut ke hadapan Nami hingga Nami pun terp
"A-aku —," Nami berusaha menelan ludah sekaligus menghela napas yang terasa begitu berat."Apa, Sayang?" tanya Akira tidak sabar."Aku sibuk magang, Akira Kun. Jadi aku mohon, tolong mengertilah!" pinta Nami mengalah.Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Baiklah, aku mengerti. Nah, sekarang sebaiknya kamu bersiap-siap. Aku menunggumu di sini! Oh ya, hadiah kecil dari ku, sudah kamu terima dengan baik, bukan?" tanya Akira. Punggungnya bersandar dengan kepala mendongak ke atas."Su-dah," cicit Nami lirih. Namun masih terdengar di telinga Akira. Senyumnya tersungging tipis."Syukurlah! Oh ya, Yamamura sebentar lagi akan tiba di sana. Kamu tunggu, ya!" pinta Akira kembali."Hah! Apa maksudnya? Kenapa sopir pribadimu kesini? Kamu tidak mungkin berni—," Nami tercekat, matanya terbelalak saat sebuah pemikiran masuk ke dalam otaknya.Akira terkekeh kecil. "Kamu tahu dengan baik, bagaimana aku, Sayang! Karena itu, jadilah kekasih yang penurut. Aku tidak suka mengulang perintah hingga
"Ha-hai!" balas Nami menyapa gugup.Ia berusaha menggeser ke kiri, berniat menjauh sejauh mungkin. Namun Akira justru ikut menggeser kan tubuhnya mengikuti Nami."A-aku mo-mohon, menjauh lah!" pinta Nami dengan suara memekik keras, mendorong dada Akira hingga sedikit menjauh. Kepalanya menunduk penuh harap, menyita atensi semua teman-temannya. Musik bahkan dihentikan.Ruka yang asyik bernyanyi mendekati Nami, berdiri di depannya dengan meja menghalangi. "Ada apa, Nami Chan?""I—,""Tidak terjadi apa-apa, Ruka Chan," potong Akira, kembali duduk bersender. Tangannya terentang di atas sandaran sofa. Akira kembali menoleh pada Nami, raut wajahnya sedikit mengancam gadis itu agar bungkam. "benar, bukan, Nami Chan?!" tekannya. Akira bahkan mendekatkan wajahnya pada telinga Nami. "ikuti saja apa mau ku."Ruka menyadari ada yang tidak beres. Ia menatap Nami tajam. "Benar itu, Nami Chan?" desak Ruka, berharap temannya itu berkata jujur.Nami yang ditanya, justru terlihat kikuk. Kepalanya menund
"Iya. Kamu tidak percaya?" tanya Akira lagi, mendongak sedikit ke atas, tatapannya lurus pada mata Nami."A-aku rasa itu sangatlah tidak mungkin.""Kenapa?" tanya Akira, menarik ujung rambut Nami yang berhasil ia gulung hingga wajah mereka teramat dekat.Mata Nami membeliak lebar. "A-akira San," tegurnya lirih, teramat sangat gugup."Hmm," sahur Akira santai. "aku menyukaimu, Nami Chan," ungkapnya. Tangan kirinya membingkai pipi Nami."Ma-mana mungkin bi—," Mata Nami membola saat Akira menarik turun kepalanya hingga bi b1r mereka bersentuhan."Manis," puji Akira, mengusap bagian bawah dengan lembut.Akira lantas beringsut duduk. Bersandar kembali pada sandaran kursi. Tangan kirinya kembali merangkul pundak Nami, menariknya kuat hingga bahu mereka menempel."Mau jadi kekasihku?" ajak Akira santai sembari menoleh pada Nami yang hanya bisa menunduk dengan kedua tangan saling bertaut di atas paha."Aku tidak —,""Harus mau!" ucap Akira tegas, memotong ucapan Nami. Matanya menatap tajam pad
Nami mengusap dadanya berulang-ulang saat kembali teringat dengan peristiwa kelam itu di masa lalu. Air matanya kembali menderas hingga ia harus mengusap air matanya.Namun tak lama berselang, Nami tersentak kaget saat ponselnya kembali bergetar. Dengan tangan bergetar hebat, Nami mengangkat ponselnya ke atas dimana memperlihatkan sebuah panggilan dari seseorang yang juga ia kenal baik."Ha-halo," sapanya gugup. Wajahnya bahkan memucat karena waktu penghakiman itu akhirnya tiba."Nona Muda, saya sudah tiba di parkiran rumah sakit," ungkap Yamamura tanpa basa-basi.Nami semakin tersentak. Ia gegas memejamkan matanya bersamaan dengan menggigit bibir bawahnya agar mengurangi rasa takutnya."Nona Muda," tegur Yamamura karena Nami justru bungkam seribu bahasa."I-iya, aku akan segera kesana," tukas Nami dengan nada tercekat.Dengan perlahan gadis itu berdiri tegak, meskipun harus berpegangan pada pintu loker. Ia bahkan melupakan paper bag pemberian Akira saat dirinya mengayunkan langkahnya
Mobil yang membawa Nami akhirnya tiba di basemen apartemen Akira. Yamamura segera turun, berlari memutar lalu membukakan pintu untuk Nami, membuat gadis itu tersentak kaget karena telah melamun sebelumnya."Silakan, Nona Muda," tukas Yamamura menepikan tubuhnya, mengangguk sopan.Nami perlahan mengusap air matanya karena sekarang bukan saatnya menangis. Namun harus bersiap menerima nasib terburuk ketika dirinya berhadapan dengan Akira beberapa saat nanti.Perlahan Nami turun dari dalam mobil. Mulutnya terkatup rapat dengan wajah sendu juga jantung berdegup kencang, merasa gugup sekaligus ketakutan.Yamamura lantas menutup pintu mobil, menghela Nami agar mengikutinya. Nami terpaksa menurut, namun dirinya berusaha memelankan laju kakinya agar waktu yang mereka perlukan lebih lama dari yang seharusnya.Yamamura menyadari itu, ia lantas menghentikan langkah, lalu berbalik, membuat Nami terkejut setengah mati. "Maafkan saya, Nona Muda!" tukasnya, lalu tanpa aba-aba meng-g0-t0ng Nami layakny
Nami berlari kencang ke arah pintu keluar dimana Juun terlihat merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Nami lantas menubruk dada Juun, membuat lelaki itu menenggelamkannya ke dalam pelukan."Ssh ... jangan menangis! Aku sudah ada di sini, Sayang. Aku akan menjagamu dengan baik," hibur Juun, mengusap punggung Nami agar gadis itu berhenti terisak.Nami yang dihibur, bukannya berhenti menangis, melainkan semakin meraung-raung sembari merenggut kelepak jas yang Juun kenakan."Nami Chan," hibur Juun kembali, mengarahkan usapannya pada belakang kepala gadis itu."Aku takut, Juun. Aku sangat takut! Aku takut Akira kembali menyakitiku seperti dulu!" balas Nami dengan suara tangisan yang semakin menderas.Juun terkejut. Dirinya tidak mengerti dengan ucapan Nami. "Sebenarnya ap—?""Nami Chan! Bebaskan aku! Aku janji akan menjadi kekasih yang baik!" pekik Akira, memotong ucapan Juun sekaligus membuatnya bungkam dengan seribu pertanyaan di benaknya. Apalagi saat menyadari raut tegang yang Nami p