Aku menghela napas ini lalu membuangnya perlahan, perkiraan sebelum ke sini, Ibu pasti mencak-mencak ataupun ngamuk kepadaku, nyatanya sekarang jauh berbeda.Dia hanya bergeming dengan mata berkaca-kaca. Aku menatapnya, memindai semua tentangnya. Rambutnya sangat kusut sekali, bahkan bingkai tulang leher pun terlihat nampak sekali. Seperti tulang berbalut kulit, tidak ada daging yang melindunginya.Hanya hitungan Minggu, beliau sudah berubah drastis sedemikian rupa. Aku menunduk, mengusap ujung netraku yang menghangat. Bagaimanapun wanita itu pernah menjadi keluargaku, pernah diposisi orang yang aku sayangi sampai pengkhianatan itu terjadi. Dendamku sudah selesai, aku sudah belajar banyak hal dan mulai melupakan masa laluku yang sangat menyakitkan. Tujuanku ke sini hanya meminta maaf atas kesalahan masa lalu dan memberi maaf sama ibu sekalian mengembalikan perhiasan yang aku simpan ini.Tapi keadaan sangat mengejutkanku, dari bahasa tubuhnya dia terlihat sangat tersiksa dengan kehid
“Iya, minta tolong apa, Bu.“ Aku mendekat ke arahnya. Sedikit menunduk menyamaratakan wajahnya yang sedang menunduk. Kutatap manik matanya yang masih mengembun.“Tolong jualkan emas ini dan bawa Ibu pergi.““Mau pergi ke mana? Ke rumah mas Pram?“ Ibu Leni hanya menggeleng.“Lalu?“ tanyaku lagi.“Ke panti jompo lebih baik,” lirihnya.Aku menarik tubuhku ini lalu menatap Zen. Ya Allah, ada ngilu di hati ini saat mendengar keinginan Bu Leni.“Tolong Ibu, Sherly. Nanti yang hasil perhiasan buat biaya di panti jompo, ya,” ungkapnya lagi.Aku menatap lagi ke arah Zen. Dia mengangguk pelan. “Bagaimana caranya, agar bisa keluar dari rumah itu, Bu?“Dia bergeming.“Apa biar kuberi tahu mas Pram, biar dia yang menjemput ibu?“ Ibu Leni hanya menggeleng cepat. Aku menghela napas ini, lalu mengeluarkannya perlahan. Bingung sendiri.“Nikmati dulu makanannya!“ suruh Zen ketika pesanan mulai berdatangan. Aku mengangguk lalu membenarkan posisi agar lebih nyaman. Aku segera mendekatkan lauk ikan g
“Mau kan, tolongin, Ibu?“ tanyanya kemudian.Aku yang sedang menaruh sambal dipiringku ku hentikan sementara. Lalu menghadap ke arahnya.“Insyaallah, Bu. Tapi untuk sementara ini, ibu tetap tinggal di sana dulu, biar Sherly selesaikan urusan Sherly dulu, Bu.““Jangan lama-lama, ya.““Iya, Bu.“Aku melanjutkan makanku tanpa berlama-lama. Setelahnya aku membayarkan sejumlah uang total makan kami. Lalu kami bangkit meninggalkan tempat ini dan akan mengantarkan ibu kembali. **Sesampainya tempat pak Rahmat, kami langsung pamit tanpa masuk ke rumahnya. Sementara Bu Leni menatap kami tanpa berucap. Dia sepertinya menaruh harapan besar ke kami. Semoga semua dilancarkan oleh Allah. Amin. Aku tidak pernah menyangka kehidupan akan langsung berbalik seperti ini,ada pepatah 'roda akan berputar', kini pepatah ini sedang terjadi di kehidupanku. Tapi semua ini tidak membuatku bangga. Bukan karena aku semua ini terjadi. Melainkan ada orang hebat di belakangku juga tentu saja. Semua ini karena ata
Hari sudah beranjak sore, suara derit pintu terdengar dari ruko sebelah. Ruko yang dibuat jualan baju itu nampaknya mau tutup sore. Tidak seperti biasanya yang tutup selalu di jam sembilan malam sesuai banner yang terpasang.Aku menghela napas ini panjang, aku membuang rasa jenuhku yang menyerang sedari tadi, biasanya dengan memainkan Ponsel dan melihat isi video yang dibagikan oleh seseakun membuatku bersemangat dan menambah wawasan, tapi untuk kali ini terasa sangat hambar.Aku mencoba keluar masuk aplikasi, hanya bosan yang kurasa. Pikiranku masih terpaku dengan calon masa depanku akan seperti apa. Seminggu, waktu yang kuminta bukanlah banyak. Hanya sebentar, salah langkah saja bisa mempertaruhkan kehidupan seumur hidup.Rasa percayaku menipis begitu saja semenjak hidup bersama dengan Pram. Lelaki yang kucintai begitu mudahnya berkhianat. Bahkan pernah merajut kasih sebelum akad nikah itu terjadi. Tapi nyatanya semua hanya seperti omong kosong.Aku takut kebaikan Zen dan Ibunya h
“Tapi luka ini seperti bekas pukulan, Ibu berantem sama suami?“ tanyaku langsung.“Ah, enggak ... mana mungkin, Suamiku orangnya baik kok,” ujarnya dengan memaksakan tersenyum.“Ayo, aku sudah siap ini. Kali ini kita hanya empat orang, soalnya yang lain ada kegiatan. Tapi ada nitip buah tangan untuk Mbak Yanti,” ujarnya lagi.Aku mengangguk, bangkit. Aku pura-pura percaya dengan apa yang dia ucapkan barusan. Bila memang dia sedang menutupi perbuatan jelek suaminya, aku tidak akan tinggal diam. Tentu saja membuat perhitungan dengan lelaki yang tega menyakiti Bu Ratna. Entah nanti dengan cara apa aku membalasnya.Aku keluar, terlihat mbek Reni, mbak Dwi, dan Mbak Padma berjalan ke arahku dengan ada yang membawa buah parcel dan bingkisan apa yang aku tidak tahu.Aku sedikit lega, saat mendengar hanya 4 orang saja yang ke rumah sakit, setidaknya nanti pulangnya bisa sekalian membawa emak dan Bapak untuk ikut pulang, aku ingin membicarakan lamaran ini ke mereka.Setelah mengumpul masuk, ak
POV PRAM.Aku mematut diri di depan cermin. Saat ini aku mengenakan stelan jas yang disewakan oleh Clara kemarin. Ukuran semuanya pas juga sangat nyaman. Aku terlihat sangat gagah sekali kalau berpakaian seperti ini.Aku mencukur berewok yang menutupi dagu juga rahang ini agar terlihat lebih keren lagi, lalu selepas itu, aku melihat jam tangan yang bertengger di lenganku. Sudah jam setengah tujuh. Aku harus sampai ke rumah Paman Clara yang terletak di Pulo Gadung. Di mana akad nikah digelar. Clara dan Amira pun sudah di sana sejak kemarin malam.Clara yang menyiapkan semu keperluan termasuk nge-rental mobil. Sekeren itu istriku yang sekarang.Aku mengenang hidupku yang berubah total, dulu saat bersama Sherly aku bisa mengendarai mobil dan memakai pakaian bagus, juga mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Rumah pun tidak kalah dari teman kerjaku kala itu.Sekarang, kami hanya mempunyai satu sepeda motor. Rumah pun mengontrak, entah sampai kapan kami bisa membeli rumah.Tapi semua itu t
Setelah akad nanti rencananya akan syukuran di rumah ini dengan mengundang beberapa warga untuk tahlilan sekalian makan-makan. Untuk jamuannya sudah memesan katering. Jadi nanti tinggal terima beres, memang ini hajatan beda dari tetangga, tidak ada acara masak besar yang dimasak gotong royong dari para ibu-ibu di sekitar. Aku dengan Clara sangat menyadari kalau ibu-ibu di sini pada menyucikan kami. Aku pun ke rumah Clara hanya mengundang beberapa saksi. Tetua kampung di sini, sama bapak-bapak yang dekat rumah, kami nantinya ke sana bertujuh sudah dengan sopir.Mobil pun sudah datang dan lengkap dengan hiasan pita di atas mobil. Segera aku keluar rumah untuk mendatangi rumah tetua untuk segera bersiap.Tetua mengiyakan dan akan mengambil alih untuk mengabari para undangan yang ikut ke rumah paman Clara. Sementara aku kembali ke rumah untuk mengunci pintu, dan meletakkan kunci di bawah keset sesuai arahan Clara, agar nanti orang katering bisa menyiapkan segalanya sebelum kami kembali
Aku menegakkan punggung ini, pak Penghulu pun duduk di seberang mejaku. Kupandangi gerakannya yang sedang mengeluarkan dari dalam tas yang ia jinjing tadi.Lalu membentangkan di atas meja. Di sana ada beberapa kertas juga ada buku kecil, calon buku nikah kami.Dia lalu menoleh ke kanan kiri, sepertinya ingin memastikan sudah siap atau belum, setelah itu mengangguk-angguk. Lalu menatapku sebentar. Aku pun mengulaskan senyum ke arahnya.“Panggilkan Clara!“ seorang lelaki di sebelahku menoleh ke belakang dengan menunjuk seseorang.Sementara aku disini, diam pasrah menunggu jadwalku.Tidak lama Clara keluar ke arah kami, aku terpana melihat penampilannya, aku yang belum pernah melihat dia mengenakan jilbab membuatku pangling. Kali ini dia mengenakan kebaya pengantin warna putih dan memakai jilbab, juga ada rangkaian melati yang menghias di kepalanya. Makeupnya begitu cocok dengan warna kulitnya yang kuning Langsat. Clara tersenyum ke arahku, aku mengangguk ikut membalas senyumannya.Dia