Awal bulan seperti ini, biasanya aku sudah berada di swalayan untuk berbelanja bulanan. Akan tetapi, kali ini uang gaji tak cukup untuk stok keperluan dapur.
Kusimpan kembali dompet ke tas. Beberapa langkah lagi aku sampai di rumah. Berjalan dari depan membuat aku lelah. Punya suami tak berguna, benar kata Nina.
Allahuakbar, rumahku seperti kapal pecah. Kulit kacang bertebaran di mana-mana. Belum lagi puntung rokok juga berserakan. Didiamkan mereka makin seenaknya aja. Dipikir ini rumah mereka apa?
"Mas!"
Kulangkahkan kaki mencari Mas Reno. Aku lelah, pulang kerja harus di hadapkan dengan semua ini. Sungguh aku tak bisa menahan emosi.
"Mas!"
Mas Reno baru menoleh saat ponselnya aku tarik. Sengaja kupasang wajah jutek biar dia sadar istrinya sedang marah. Bisa-bisanya dia santai, sedangkan di luar rumah bagaikan kapal pecah.
"Kamu apa-apaan, sih?" tanya Mas Reno kesal.
Pria di hadapanku mencoba mengambil ponselnya dari tanganku. Akan tetapi, aku terus menolak. Dia pikir aku masih bodoh seperti kemarin. Sepertinya Mas Reno mulai marah dan mencoba merampas ponsel milik dia.
Apa bermain game lebih penting dari pada mengurus rumah? Kesal bukan main melihat rumah bagaikan kapal pecah seperti ini.
"Mas masih tanya aku kenapa? Mas pikir dong, jangan main ponsel terus."
"Terus aku harus apa di rumah? Berbenah gitu? Aku ini suami kamu!"
"Kalau mengaku suami, nafkahi dong istrinya. Jangan di PHK trusa mandek nggak kerja."
"Kamu sekarang pintar membantah, ya?"
Siapa juga yang membantah? Ini kenyataan kalau memang Mas Reno lalai sebagai suami. Diam tak bergerak saat di PHK. Aku capek harus bekerja sendiri. Sementara, dia dan keluarganya selalu meminta
Masih untung aku mau memberi makan mereka. Kalau tidak, keluarganya sudah kelaparan. Memang sejak dulu Mas Reno yang membiayai semua kebutuhan Ibunya. Akan tetapi, dia lupa jika ada istri yang harus di nafkahi.
"Membantah apa, Mas? Aku hanya membela diri. Harusnya kamu mengerti aku, di rumah bantu menyapu, kek, atau yang lain."
"Kamu pikir aku pembantu?"
"Bukan aku, loh, yang bilang. Sadar diri aja, Mas. Aku pulang kenapa rumah berantakan?"
Mas Reno bergeming. Entah apa yang ada di kepalanya. Jujur aku tak masalah jika dia bekerja sebagai tukang ojek Online. Asalkan halal dalam memberikan aku nafkah.
Kali ini aku tak bisa memaafkan mereka. Harus pelajaran mereka agar tak semena-mena denganku. Dia pikir hidup gratis. Kencing di WC umum aja bayar.
"Mas jawab?"
"Rena tadi pinjam laptop Mas, sekalian aja belajar kelompok."
"Sampai membuat berantakan rumahku. Ya Allah, Mas."
"Santai aja, sih, sama adik ipar juga."
Sabar dia bilang? Enak saja bicara seperti itu. Stok kesabaranku sudah habis menghadapi parasit seperti kamu.
Belum lagi ibu kamu yang sering mencerca aku seolah menjadi mantu yang kurang ajar. Padahal mereka yang menjadi parasit di rumah tanggaku.
"Kamu bilang santai? Cukup Mas, aku sudah tak sabar. Tolong rapikan bekas kotor di depan akibat adik kamu. Aku mau mandi cantik."
Kukibaskan rambut di depan Mas Reno yang melongo kaya sapi ompong. Biar kalau perlu sekalian adiknya aku suruh datang.
Aku ambil ponsel dari tas, lalu kuketik sesuai keinginan hati ini.
[Ren, tolong ke rumah Mba]
Setelah itu kukirim pesan pada Rena.
Tak menunggu waktu lama, Rena selalu cepat dalam membalas pesanku. Apalagi kalau masalah minta uang, dia jagonya.
[Oke, mbak]
Benar dugaan aku, tak lama dari pesan itu terbalaskan. Rena sudah memanggil namaku. Memang rumah aku dan ibu mertua tak jauh, hanya berbeda gang saja.
"Mba, Ada apa?" tanyanya.
"Tolong beres, kan, bekas kamu tadi."
Aku menunjuk tempat kotor yang bikin aku pusing. Rena menatap jijik apa yang aku tunjuk. Wajahnya berubah seketika menjadi masam.
"Aku nggak mau."
"Harus mau! Kalau nggak, jangan harap kamu bisa dapat uang dari aku."
Cukup berhasil aku mengancamnya. Rena melangkah ke dapur, lalu mengambil sapu untuk membersihkan lantai. Mas Reno yang datang melihat itu pun hanya bisa diam karena mereka memang salah.
Tidak lama Rena membanting sapu ke lantai.
"Aku nggak bisa menyampu," ucapnya.
"Ha, udah besar kaya gini nggak bisa menyapu?"
"Mas, tolong bilang in sama istri Mas. Dia pikir dia orang hebat menyuruh-nyuruh aku."
Aku tak percaya dia bicara seperti itu. Ingin kutampar saja wajahnya. Namun, urung karena akan menjadi masalah.
"Kamu pikir bisa seenaknya bisa datang dan mengacak-acak rumahku?
"Siapa yang mengacak-ngacak?"
"Itu, makanan, berserakan di mana-mana. Kalau bukan kamu siapa lagi? Tikus gitu?"
Rena mengentakkan kaki, lalu pergi begitu saja dari rumahku. Dasar anak tak tahu diri. Sudah membuat kacau malah pergi begitu saja.
"Kenapa kamu lihat aku?" tanya Mas Reno.
"Kamu Mas yang beresin." Langsung aku kasih sapunya tanpa basa basi.
"Kalau nggak rapi, nggak ada makan malam." Lagi, aku mengancam Mas Reno.
Langsung aku meninggalkan Mas Reno yang terlihat kesal saat aku memberikan sapu padanya. Gegas aku masuk ke kamar mandi sebelum dia mengoceh panjang lebar.
--Chew Vha--
Bala bantuan sepertinya datang. Suara nyaring ibu mertua dari luar terdengar sampai ke dalam rumah. Benar dugaanku jika Rena pulang untuk mengadu pada ibunya.
Aku bergegas menghampiri dengan handuk masih di kepala menutupi rambutku yang basah. Ibu sudah bertolak pinggang menunggu kedatanganku.
Aku menarik napas saat sudah berhadapan dengannya. Rasanya seperti akan menguras tenaga menghadapi perang musuh. Tuhan, aku jahat sekali sama orang tua.
"He, maksud kamu apa menyuruh Rena ke sini untuk beres-beres rumah? Kamu kira anak saya pembantu?"
Pasti anak ingusan itu bicara melebihkan tak sesuai fakta.
"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya saja Rena siang tadi belajar kelompok, dan bekas makan membuat lantai kotor. Salah Widya minta dia bersihkan?"
Ibu terdiam sejenak. Wajahnya memindai aku dan Rena. Dasar gadis ingusan, terus saja mengadu domba. Jangan pikir aku akan diam saja di perlakukan seperti itu.
"Halah, alasan kamu saja. Durhaka kamu, Wid. Moso suami suruh menyapu? Kerjaan kamu apa toh di rumah?"
"Durhaka kaya apa dulu, Bu. Kerjaan aku sekretaris. Harusnya aku tanya, Mas Reno kerjanya apa? Harusnya dia pikir kalau aku kerja, dia bantu aku beres-beres rumah."
Wajah ibu mertuaku memerah menahan amarah atau malu. Bodo amat, yang penting mereka harus sadar jangan membuat aku murka.
Sudah capek bekerja, masih dipusingkan pekerjaan rumah. Ribut setiap hari yang itu-itu aja masalahnya.
"No, ini wanita yang kamu pilih jadi istri? Kurang ajar, nggak sopan sama Ibu. Pantes aja nggak di kasih anak. Banyak dosa si sama suami."
Ingin rasanya meremas mulut itu. Dosa apa? Kenapa semakin lama ucapannya semakin dalam? Dada ini bergemuruh hebat dan membuat aku sesak.
---Chew Vha---
"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur."Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno."Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak.""Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi."Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka s
Aku termenung saat Mas Reno sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Penantian ini memang yang aku tunggu. Kehamilan yang selalu menjadi puncak masalah kami."De, ini teh hangat di minum. Kata teman-temanku kalau orang hamil itu suka mual. Di minum, ini."Mas Reno memberikan teh hangat itu padaku. Apa ini hanya topeng agar dia tak jadi di usir dari rumah ini? Begitu manis yang dia lakukan seolah mematahkan pertahanku.Aku menyesap teh hangat buatannya. Sempat curiga jangan-jangan dia menaruh macam-macam pada minumanku."Sudah hangat perutnya?""Sudah."Terasa aneh saat sikapnya berubah seperti ini, membuat aku menaruh curiga takut dia sedang merencanakan sesuatu. Sudah kuusir, dia tetap mau tinggal di sini.Aku memperhatikan Mas Reno merapikan tempat tidur, lalu meletakkan bantal dengan rapi. Aku mengernyitkan kening keheranan dengan sikap yang berbeda kali ini. Apa dia takut kuusir?"De, istirahat dulu. Besok kamu mau izin ap
POV ibu mertuaKurang ajar sekali si Widya. Bisa-bisanya dia menyuruh aku ke luar dari rumahnya. Dia pikir hebat apa? Masih untung anakku mau menikahi dia yang cuma orang biasa.Kalau saja Reno tak kekeh menikah dengan Widya, mungkin Reno sekarang sudah memiliki anak dari Ningrum anak juragan kontrakan. Gara-gara si Widya, Reno tak mendengar ucapan aku. Dasar anak durhaka.Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia. Si Widya banyak dosa kayanya, sampe Tuhan saja tak memberinya keturunan. Kasihan Reno, harus memiliki istri seperti Widya.Baguslah dia mengusir Reno. Jadi, aku bisa menjodohkan Ningrum lagi. Untung saja dia baru menjanda. Tak masalah tak dapat gadisnya. Sama-sama pernah menikah kok."Ibu Mas Reno kok nggak pulang ke rumah?" tanya Rena padaku."Lagi kemas baju mungkin."Benar juga kata Rena, sudah hampir dua jam setelah dari rumah Widya, Reno tak kunjung datang. Kucoba menelepon berkali-kali pun tak dia
Mungkin karena aku mengabaikan perintah dokter untuk bedrest, jadinya seperti ini. Perut terasa keram kembali, susah bangun dan hanya bisa merebahkan tubuh di kasur.Setelah mengantarku, Mas Reno izin mengantar Ibu, lalu langsung melamar ke kantor ojek Online. Semoga saja apa yang dia katakan benar adanya. Dia berubah tak seperti dulu.Tak menyangka Allah begitu baik padaku. Akhirnya sesuatu yang kami tunggu kini hadir di perutku. Rasanya tak percaya kalau aku mengandung buah cinta kami.Sungguh kuasa Allah tak ada duanya. Saat Ibu mertua mencemooh diriku yang tak kunjung hamil karena banyak berdosa, Allah titipkan langsung dan membuktikan jika memang sesuatu itu jika sudah waktunya pasti akan terjadi.Baru mau memejamkan mata, suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Perlahan aku bangkit dan melangkah dengan rasa nyeri di perut menghampiri pintu.Ah, ternyata Rena datang bersama teman-temannya. Aku sedikit memincingkan mata mel
Aku harus bagaimana menghadapi dua orang wanita berharga dalam hidup ini. Satu Ibu yang melahirkan aku, satu lagi istri yang aku cinta. Bahagia kini menyelimuti hati saat Widya dinyatakan hamil.Keadaan ini menguntungkan aku karena tadi Widya mengusirku ke luar rumah karena perdebatan dengan Ibu. Sejujurnya ingin sekali mencari kerja, tapi bingung dengan Ibu yang selalu ingin meminta gajiku semua.Widya sudah uring-uringan selama aku menganggur, bukan salah dia karena memang aku membebankan semua kebutuhan rumah tangga padanya. Belum lagi kebutuhan Ibu dan Rena.Aku pikir dengan cara ini, Ibu akan mengerti jika Widya bukan wanita matre yang hanya ingin uangku. Aku berdosa, selama menikah dengannya tak pernah menafkahi Widya.Akan tetapi, aku salah. Ibu semakin membenci Widya, sedangkan Widya sekarang menjadi cepat emosi dan berani melawan Ibu seperti tadi. Kuakui memang salah Ibuku, tapi jujur harus membela yang mana?Aku mencari
"Mas akan berubah, asal kamu mau ingatkan, jika Mas lalai lagi.""Semua tergantung niat kamu. Sejak awal menikah, aku harus membanting tulang sendiri. Kalau memang kamu masih mau memperbaiki, semua dengan niat."Pelukan hangat ini membuat aku merasa rindu saat pertama kali Mas Reno mengungkapkan kalimat cinta. Namun, aku mengira dia akan memberikan aku kebahagiaan, tapi malah penderitaan yang aku rasakan.Apa bisa dia berubah sesuai dengan janjinya padaku? Atau akan sama saja seperti dahulu. Janji manis itu terulang kembali.Aku tak pernah menuntut untuk membeli apa pun. Asalkan dia berlaku adil padaku. Kegelisahan selama ini membuat aku berniat untuk berpisah.Sepertinya Allah tak mendukung keinginanku. Dia menghadirkan anak diantara kami untuk mempertahankan rumah tangga ini."Mas, mau makan?""Kamu bisa masak lauk buat Mas?""Kalau hanya telur dadar aku bisa. Atau mau pesan makanan Online saja?""Ada
"Ningrum?" "Iya, wanita kaya di desaku dulu. Ibu marah karena aku tidak mau menikah dengan Ningrum, dan lebih memilih kamu." Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu membenci aku. Bahkan, sebelum kami menikah, dia sudah menyiapkan calon istri kaya untuk Mas Reno. Aku menghela napas panjang, lalu tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Rasa mual kini menghampiri. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutku. Mas Reno gegas menghampiriku, dia mengelus lembut pundakku. Apa pikiran ini mempengaruhi kehamilanku? "Sudah Mas bilang, jangan bertanya hal yang membuat kamu berpikir keras. Jadinya beginikan," oceh Mas Reno. "Aku penasaran, Mas." "Dasar bandel, kamu." Mas Reno membantuku merebahkan diri di kasur. Lalu, dia bergegas ke dapur membuat teh hangat untuk aku. Beberapa menit, Mas Reno menghampiriku bersama secangkir teh hangat. "Kalau Ibu tahu, aku pasti dibilang manja." "Manja
"Aku mau menikah dengan Ningrum, Dek," ujar Mas Reno mantap. "Kamu jahat, Mas!" "Ini kemauan Ibu, aku tidak bisa menolaknya. Mas takut durhaka." "Kamu jahat, Mas! Jahat!" Aku membuka mata saat merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh ini. "Kamu nggak apa-apa, Dek?" Aku mengerjapkan mata bekali-kali. Napasku terasa sesak, seperti habis berlari kencang. Jadi, ini hanya mimpi? Kenapa seperti nyata? "Dek, mimpi buruk?" "Ng--nggak, Mas." Tidak mungkin aku bercerita tentang mimpi ini. Bisa-bisa Mas Reno menertawakanku. Astaga, kenapa seperti nyata? Kepala ini menjadi pusing karena terbangun dari tidur. Kuminta Mas Reno mengambilkan minyak kayu putih. "Jangan banyak pikiran, Dek. Mas sudah mulai kerja. Besok Budhe Sri, Mas yang jemput." "Aku nggak banyak pikiran, Kok." "Itu buktinya sampe ke bawa mimpi. Bilang Mas jahat, memang mimpi apa, sih?" Iyakah sampe terdengar aku