"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."
Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur.
"Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno.
"Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak."
"Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi.
"Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"
Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.
Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka sekarang ada di mana? Jangan harap kalian akan mendapatkan uang dari aku. Kupastikan kalian menyesal.
"Tampar terus pipiku. Kamu lupa Mas, ini rumah milik siapa? Aku harap kamu dan keluargamu pergi dari rumah ini!" teriakku.
"Kamu mengusir anakku?" tanya Ibu.
"Iya, kenapa? Biar dosa aku yang tanggung. Ibu nggak usah pusing dengan dosaku."
Kalian diam, kan, setelah aku bertindak. Terserah mau menceraikan aku atau tidak. Aku sudah muak dengan kalian.
Perkataan Ibu saja sudah membuat hati ini sakit. Belum lagi tudingan macam-macam yang membuat sesak semakin terasa. Beberapa bulan ini Rena pun sering meminta uang untuk keperluannya.
Aku terlalu baik sama mereka. Sementara, mereka semakin menjadi. Mas Reno nyaman di zonanya. Tetap santai walaupun tidak memiliki pekerjaan.
"Kamu bercanda, kan, Wid?" tanya Mas Reno memelas.
"Kamu pikir wajahku bercanda? Kamu kira semua ucapan ibu itu bercanda. Dan kamu pikir tamparan kamu padaku itu main-main? Lihat! Merah ini?"
"Mas nggak sengaja. Kita bicarakan baik-baik. Biar Ibu dan Rena pulang dulu. Bagaimana?" Mas Reno terus membujuk.
"Nggak perlu. Kemasi bajumu, pulang saja sama keluargamu."
"Sudah, No. Perempuan ular seperti ini ceraikan saja. Masih banyak yang mau jadi istrimu."
Ck! Dia pikir ada yang mau dengan anaknya yang pengangguran ini. Masih bersyukur selama aku bodoh, dia masih bisa hidup enak.
Sekarang, malah menyombongkan anaknya. Perempuan mana yang mau sama pria pengangguran tak mau bekerja. Jangan bangga sama anakmu, Bu.
Aku siap jika diceraikan oleh Mas Reno. Tak perlu pusing untuk memikirkan kelakuan mereka setiap hari.
"Kalau sudah ibu bicara, silakan pergi. Saya mau istirahat, capek."
"Jangan sombong kamu jadi perempuan. Masih untung anakku mau menikah dengan kamu."
"Saya terima kasih. Silakan, Ibu tahu pintu keluar, kan?"
Aku meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Ingin cepat merebahkan tubuh di kasur tanpa pusing memikirkan makanan untuk besok. Si parasit sudah kuhempas jauh.
Baru saja aku ingin merebahkan tubuh, Mas Reno tiba-tiba masuk ke kamar dan memohon untuk dia tetap tinggal.
"De, Mas minta maaf," ucapnya dengan mimik wajah penuh bersalah.
"Sudah aku maaf in. Lebih baik Mas pergi ke rumah ibu. Aku malas melihat Mas. Untuk apa di rumah kalau hanya main ponsel?"
"Mas janji akan berubah, Dek."
"Sudah telat, Dek. Mas mohon, jangan usir. Mas sayang sama ade."
Sayang? Sudah seperti ini bilang cinta atau apalah. Tak pernah pikir selama ini sudah membuat aku susah dan bekerja keras sendiri.
Mas Reno terus memohon dengan memelas. Namun, tak membuat aku mengurungkan niat mengusirnya.
Aduh, kenapa saat seperti ini perutku terasa nyeri? Aku mengingat tanggalan, untuk memastikan tanggal datang bulan. Akan tetapi, nyeri ini semakin membuat aku sakit.
Kepalaku terasa pusing. Memang akhir-akhir ini aku suka merasa pusing dan kelelahan. Mungkin efek mau datang bulan. Akan tetapi, kenapa semakin pusing dan semuanya gelap.
---Chew Vha--
"Sudah sadar, Dek?"
Aku mencoba membuka mata yang masih samar-samar. Kepala ini pun terasa sakit. Aku memindai sekeliling, kenapa aku ada di sini? Ini rumah sakit?
Nyeri bagian perut begitu dahsyat sampai aku pingsan. Kenapa saat aku akan menendang mereka aku harus merasakan sakit ini? Sebenarnya aku kenapa?
"Dek," ucap Mas Reno lagi.
"Aku mau pulang," ucapku sembari menyingkap selimut dari tubuhku.
Mas Reno menahan tubuhku, meminta tetap tidur di ranjang menunggu dokter datang. Ah ... sial hidupku sekarang. Sakit apa pula aku?
"Ibu, saya bantu cek urine," ucap salah satu suster.
"Cek urine untuk apa?"
"Untuk mengetahui Ibu hamil atau tidak."
Hamil? Jantungku terasa berdetak begitu kencang mendengar kalimat itu. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku menstruasi bulan kemarin dan ....
"Saya bantu."
Suster membantuku menuruni ranjang menuju kamar mandi. Tanganku bergetar saat ingin mencelupkan tespack ini. Aku takut yang tak kuinginkan terjadi.
Perlahan aku mencelupkannya, setelah itu kuperhatikan benda ini sampai ada yang berubah di sana. Rasanya aku ingin berteriak, harusnya ini adalah kabar baik. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini bukan kondisi yang tepat untuk aku hamil.
Aku berjalan gontai ke luar kamar mandi. Entah, aku benci kondisi ini yang membuat aku harus bertahan sementara dengan Mas Reno.
Allah Maha Kuasa, terbukti tak seperti ucapan mertuaku yang selalu bicara tentang dosa. Aku yakin dan percaya kehamilan ini datang di waktu yang tepat. Semoga saja Mas Reno bisa berubah.
Aku memindai wajah suamiku. Tak seperti bisanya aku melihat dia seperti sangat cemas. Dia menghampiri saat aku ke luar dari kamar mandi.
"Bagaimana, Dek?"
"Apanya?"
"Hamil nggak?"
Aku bergeming saat dia terus mendesak aku menjawab. Lidah ini kelu untuk menjawab setiap pertanyaannya. Malas, melihat wajahnya yang selalu berada di ketiak ibunya.
Tak mendapat jawaban dariku, Mas Reno menghampiri suster dan bertanya tentang hasil tespack aku. Di bantu suster aku kembali berbaring untuk melakukan USG dalam perut.
Wajah Mas Reno semringah saat dokter memulai USG perutku. Apalagi saat dokter bilang usia kandunganku sudah memasuki lima minggu.
Aku memalingkan wajah saat dia menatapku. Jangan harap sikapku berubah jika sikapmu tak berubah. Anak ini pun akan menjadi milikku sendiri jika kamu masih seperti dulu.
"Dek, itu lihat. Lima tahun kita menunggu akhirnya Mas punya anak juga." Mas Reno terlihat semringah saat mengatakan kebahagiaan itu.
Lagi, aku membenci saat dia bicara kalimat itu. Entahlah, bahagianya di buat-buat atau memang dia benar sangat menunggu anak ini. Namun, jika memang ia bahagia, baguslah setidaknya ia akan bertanggungjawab atas anak ini.
***
---Chew Vha--
Aku termenung saat Mas Reno sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Penantian ini memang yang aku tunggu. Kehamilan yang selalu menjadi puncak masalah kami."De, ini teh hangat di minum. Kata teman-temanku kalau orang hamil itu suka mual. Di minum, ini."Mas Reno memberikan teh hangat itu padaku. Apa ini hanya topeng agar dia tak jadi di usir dari rumah ini? Begitu manis yang dia lakukan seolah mematahkan pertahanku.Aku menyesap teh hangat buatannya. Sempat curiga jangan-jangan dia menaruh macam-macam pada minumanku."Sudah hangat perutnya?""Sudah."Terasa aneh saat sikapnya berubah seperti ini, membuat aku menaruh curiga takut dia sedang merencanakan sesuatu. Sudah kuusir, dia tetap mau tinggal di sini.Aku memperhatikan Mas Reno merapikan tempat tidur, lalu meletakkan bantal dengan rapi. Aku mengernyitkan kening keheranan dengan sikap yang berbeda kali ini. Apa dia takut kuusir?"De, istirahat dulu. Besok kamu mau izin ap
POV ibu mertuaKurang ajar sekali si Widya. Bisa-bisanya dia menyuruh aku ke luar dari rumahnya. Dia pikir hebat apa? Masih untung anakku mau menikahi dia yang cuma orang biasa.Kalau saja Reno tak kekeh menikah dengan Widya, mungkin Reno sekarang sudah memiliki anak dari Ningrum anak juragan kontrakan. Gara-gara si Widya, Reno tak mendengar ucapan aku. Dasar anak durhaka.Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia. Si Widya banyak dosa kayanya, sampe Tuhan saja tak memberinya keturunan. Kasihan Reno, harus memiliki istri seperti Widya.Baguslah dia mengusir Reno. Jadi, aku bisa menjodohkan Ningrum lagi. Untung saja dia baru menjanda. Tak masalah tak dapat gadisnya. Sama-sama pernah menikah kok."Ibu Mas Reno kok nggak pulang ke rumah?" tanya Rena padaku."Lagi kemas baju mungkin."Benar juga kata Rena, sudah hampir dua jam setelah dari rumah Widya, Reno tak kunjung datang. Kucoba menelepon berkali-kali pun tak dia
Mungkin karena aku mengabaikan perintah dokter untuk bedrest, jadinya seperti ini. Perut terasa keram kembali, susah bangun dan hanya bisa merebahkan tubuh di kasur.Setelah mengantarku, Mas Reno izin mengantar Ibu, lalu langsung melamar ke kantor ojek Online. Semoga saja apa yang dia katakan benar adanya. Dia berubah tak seperti dulu.Tak menyangka Allah begitu baik padaku. Akhirnya sesuatu yang kami tunggu kini hadir di perutku. Rasanya tak percaya kalau aku mengandung buah cinta kami.Sungguh kuasa Allah tak ada duanya. Saat Ibu mertua mencemooh diriku yang tak kunjung hamil karena banyak berdosa, Allah titipkan langsung dan membuktikan jika memang sesuatu itu jika sudah waktunya pasti akan terjadi.Baru mau memejamkan mata, suara gedoran pintu membuat aku terkesiap. Perlahan aku bangkit dan melangkah dengan rasa nyeri di perut menghampiri pintu.Ah, ternyata Rena datang bersama teman-temannya. Aku sedikit memincingkan mata mel
Aku harus bagaimana menghadapi dua orang wanita berharga dalam hidup ini. Satu Ibu yang melahirkan aku, satu lagi istri yang aku cinta. Bahagia kini menyelimuti hati saat Widya dinyatakan hamil.Keadaan ini menguntungkan aku karena tadi Widya mengusirku ke luar rumah karena perdebatan dengan Ibu. Sejujurnya ingin sekali mencari kerja, tapi bingung dengan Ibu yang selalu ingin meminta gajiku semua.Widya sudah uring-uringan selama aku menganggur, bukan salah dia karena memang aku membebankan semua kebutuhan rumah tangga padanya. Belum lagi kebutuhan Ibu dan Rena.Aku pikir dengan cara ini, Ibu akan mengerti jika Widya bukan wanita matre yang hanya ingin uangku. Aku berdosa, selama menikah dengannya tak pernah menafkahi Widya.Akan tetapi, aku salah. Ibu semakin membenci Widya, sedangkan Widya sekarang menjadi cepat emosi dan berani melawan Ibu seperti tadi. Kuakui memang salah Ibuku, tapi jujur harus membela yang mana?Aku mencari
"Mas akan berubah, asal kamu mau ingatkan, jika Mas lalai lagi.""Semua tergantung niat kamu. Sejak awal menikah, aku harus membanting tulang sendiri. Kalau memang kamu masih mau memperbaiki, semua dengan niat."Pelukan hangat ini membuat aku merasa rindu saat pertama kali Mas Reno mengungkapkan kalimat cinta. Namun, aku mengira dia akan memberikan aku kebahagiaan, tapi malah penderitaan yang aku rasakan.Apa bisa dia berubah sesuai dengan janjinya padaku? Atau akan sama saja seperti dahulu. Janji manis itu terulang kembali.Aku tak pernah menuntut untuk membeli apa pun. Asalkan dia berlaku adil padaku. Kegelisahan selama ini membuat aku berniat untuk berpisah.Sepertinya Allah tak mendukung keinginanku. Dia menghadirkan anak diantara kami untuk mempertahankan rumah tangga ini."Mas, mau makan?""Kamu bisa masak lauk buat Mas?""Kalau hanya telur dadar aku bisa. Atau mau pesan makanan Online saja?""Ada
"Ningrum?" "Iya, wanita kaya di desaku dulu. Ibu marah karena aku tidak mau menikah dengan Ningrum, dan lebih memilih kamu." Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu membenci aku. Bahkan, sebelum kami menikah, dia sudah menyiapkan calon istri kaya untuk Mas Reno. Aku menghela napas panjang, lalu tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Rasa mual kini menghampiri. Aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi dalam perutku. Mas Reno gegas menghampiriku, dia mengelus lembut pundakku. Apa pikiran ini mempengaruhi kehamilanku? "Sudah Mas bilang, jangan bertanya hal yang membuat kamu berpikir keras. Jadinya beginikan," oceh Mas Reno. "Aku penasaran, Mas." "Dasar bandel, kamu." Mas Reno membantuku merebahkan diri di kasur. Lalu, dia bergegas ke dapur membuat teh hangat untuk aku. Beberapa menit, Mas Reno menghampiriku bersama secangkir teh hangat. "Kalau Ibu tahu, aku pasti dibilang manja." "Manja
"Aku mau menikah dengan Ningrum, Dek," ujar Mas Reno mantap. "Kamu jahat, Mas!" "Ini kemauan Ibu, aku tidak bisa menolaknya. Mas takut durhaka." "Kamu jahat, Mas! Jahat!" Aku membuka mata saat merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh ini. "Kamu nggak apa-apa, Dek?" Aku mengerjapkan mata bekali-kali. Napasku terasa sesak, seperti habis berlari kencang. Jadi, ini hanya mimpi? Kenapa seperti nyata? "Dek, mimpi buruk?" "Ng--nggak, Mas." Tidak mungkin aku bercerita tentang mimpi ini. Bisa-bisa Mas Reno menertawakanku. Astaga, kenapa seperti nyata? Kepala ini menjadi pusing karena terbangun dari tidur. Kuminta Mas Reno mengambilkan minyak kayu putih. "Jangan banyak pikiran, Dek. Mas sudah mulai kerja. Besok Budhe Sri, Mas yang jemput." "Aku nggak banyak pikiran, Kok." "Itu buktinya sampe ke bawa mimpi. Bilang Mas jahat, memang mimpi apa, sih?" Iyakah sampe terdengar aku
Aku capek mengejar Budhe yang sudah hampir sampai di rumah Ibu. Mau berteriak, tapi malu sama tetangga. Sedari tadi aku sudah menghubungi Mas Reno, tapi tak diangkatnya."Budhe." Aku berhenti sambil mengatur napas. Pasti aku tidak bisa mengejar Budhe, kalau aku paksa hanya mencari celaka karena akan mengalami keram lagi.Pelan aku berjalan sambil memegangi perut. Jangan sampai Budhe sama ibu ribut lagi. Malu sama tetangga, masa sama mertua ramai terus.Perjuangan sekali sampai di rumah ibu. Rumah tertutup rapat, sepertinya penghuninya sedang pergi. Aku mengelus dada, dan bisa bernapas lega. Kali ini aman, entah nanti."Kamu ngapain di sini, Wid?""Mengejar Budhe," jawabku."Aduh, jangan capek-capek. Hayo pulang, mertuamu kayanya nggak ada.""Iya, Budhe."Budhe menuntunku berjalan. Memang perut sudah mulai keram, belum lagi napasku yang sedari tadi naik turun.Bersyukur sekali ibu pergi, apa dia bersama Mas Reno makanya t