"Ibu dan ayah kuatir kamu kenapa-kenapa, jadi Mas cari kamu. Kalau ada apa-apa, bilang, jangan dipendam sendiri!"Sepeduli ini Mas Dika padaku. Maafkan aku, Mas.Ia berusaha melihat wajahku yang tak juga kuangkat. Isakanku meledak begitu saja. Aku ini kenapa?"Istighfar Dek, ingat sama Allah ... . Astaghfirullahal'adzim … astaghfirullahal'adzim."Ia berusaha membimbingku mengucap kalimat istighfar berkali-kali. Tapi aku masih saja terisak. Mas Dika meniup puncak kepalaku setelah membaca entah apa. Aku merasa lebih tenang sekarang.Tak bisa kutolak lagi saat ia memaksa mengantar aku berangkat kerja. Rasa bersalah menerpaku, saat aku telah sampai, dan memegang satu kantong bekal yang dibawa Mas Dika."Banyak-banyak istighfar ya, Dek, usahakan sambil dzikir saat kerja. Atau kamu ijin saja hari ini?" pintanya saat telah sampai di depan pintu gerbang.Aku hanya menggeleng, kemudian menyalami Mas Dika. "Sampai di dalam, kamu a
Kuperhatikan lagi rumah tersebut. Rumah yang terasa sejuk, dengan banyak bunga mawar yang terlihat cantik dan terawat."Kamu, tadi pagi mau ke sini, kan?" tanya Mas Dika, masih di atas motor.Sekali lagi aku dibuat terkejut oleh Mas Dika. Meski terhalang oleh masker, tapi terdengar jelas pertanyaan yang ia lontarkan.Semalam, saat aku berada di kamar seorang diri, tiba-tiba saja terlintas hendak mencari tau mengenai Bu Ndari. Berbekal alamat yang pernah beliau beri saat kunjungan pertama kali, aku mencari alamat tersebut menggunakan google earth.Sedikit banyak aku ingin tau, siapa Bu Ndari sebenarnya. Tak hanya melalui google earth, akun sosial media juga tak luput dari penelusuranku. Menganggap diri sebagai detektif, begitulah kira-kira. Tak banyak info yang kudapat, selain gambaran alamat yang tertera."Bagaimana Mas bisa tau?""Ayo jalan."Pertanyaanku tak ia jawab. Sepeda motor kembali melaju. Aku sibuk sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang
Rasa ingin tahu, membuat aku berkali-kali memeriksa ponsel. Nyatanya itu malah membuat aku tak nyaman. Akhirnya kesal sendiri, saat sore menjelang, tak juga muncul pesan atau apa pun di ponselku."Itu, kenapa mukanya gitu?" tanya Mas Dika keheranan saat aku bergabung menyaksikan acara televisi."Tau ah!" jawabku malas, sambil memencet tombol remot, mencari alternatif acara."Makan dulu sana. Es krimnya masih kan?""Masih. Iya deh, boleh juga. Mas mau?""Enggak, buat kamu aja," diacaknya rambutku yang kubiarkan tergerai. Gegas aku berdiri, mengambil sebungkus es krim dan mulai menikmati isinya."Mas!""Apa, Dek?""Kenapa nggak Mas Dika aja yang duluan nikah?"Ia tak segera menjawab, malah ngeliatin aku yang lagi asyik menikmati es krim."Yah, dia nanya gitu. Gampang kalau Mas Dika.""Beneran gampang? Emang udah ada calonnya? Kenalin dong!"Kuhentikan sejenak dari mengunyah es krim, melihat Mas Dika hingga ia tergagap."Ya … ya
Rasanya sudah lama aku nggak tidur sama ibu. Kulihat ibu memindai wajahku, sepertinya sedang bertanya, kenapa tiba-tiba aku minta ditemani tidur. Detik berikutnya kulihat ibu tersenyum."Mau, Nak, ayo ibu temani. Mumpung kamu belum punya suami, iya, kan? Nanti kalau sudah bersuami, mana bisa tidur bareng ibu, hehe … .""Ibu ada-ada saja. Memangnya kalau sudah punya suami, kenapa nggak boleh tidur sama ibu? Husna kan tetep anak ibu?"Kuletakkan kepalaku di pangkuan ibu. Damai sekali rasanya di sini. Sehat-sehat ya, ibu, supaya aku bisa berbakti lebih lama lagi."Oh, iya, tentu saja karena kamu harus sama suami kamu. Kalau mau tidur sama ibu ya harus ijin dulu.""Gimana, apa anaknya Bu Ndari sudah menghubungi kamu?" tanya ibu setelah terdiam beberapa saat."Mm … sudah, Bu.""Jadi, gimana? Sudah kenalan?" tanya Ibu ingin tau."Sudah, Bu. Tapi, sudahlah, nanti saja ya, Husna nggak mau buru-buru. Husna masih senang b
."Aku nyari kamu ke mana-mana, Na. Ternyata kita malah ketemu di sini. Apa sudah lama kamu kerja di tempat Hanan?""Maafkan aku, Kak," tertunduk aku saat berkata. Rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti perasaanku kali ini."Husna, bisakah, kita mulai dari awal lagi?"Kutelisik wajah pria di depanku. Ia terlihat lebih dewasa kini. Wajah itu kini terlihat bersinar cerah. Wajah dari pemilik badan tinggi tegap, yang pernah kukagumi pada masanya.Degup jantungku masih bertalu-talu, menghadapi ia yang pernah kutinggalkan demi sebuah perjodohan, yang akhirnya kubatalkan. "Maaf Kak, aku, masih butuh waktu untuk memulai. Aku terlalu terkejut dengan pertemuan kita yang tiba-tiba kali ini," ujarku kemudian.Belum ada juga niatku untuk menjalin hubungan dengan lelaki dalam waktu dekat ini. Termasuk dengan Kak Dirga sekali pun.Aku masih ingin menikmati masa-masa lajang. Bebas bergerak ke sana ke mari, mengumpulkan tabungan dan merancang masa depan.
Mas Dika tak lagi berangkat bekerja setelah kecelakaan yang menimpanya, demi menuruti permintaan ibu. Luka yang ada di wajah dan tangannya telah pulih, menyisakan bekas luka yang belum pudar.Ia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai tour guide. Padahal aku pengen banget kerja seperti Mas Dika, eh dia malah milih resign. Kini, ia justru membeli sebuah mobil bak terbuka dengan tabungan yang ia kumpulkan selama bekerja. Tak ia pedulikan komentar miring dari kiri kanan."Apaan, beli mobil masak kayak gitu, yang keren dong, yang ada ACnya! Alpard misalnya."Padahal kalau dipikir-pikir, mobil bak terbuka kan justru full AC. Niatnya saja buat kerja, bukan buat gaya."Anak muda kok di rumah saja, nambah-nambah jumlah pengangguran saja!"Ada saja yang berkomentar dan tak enak didengar. Tapi Mas Dika cuek aja. Justru aku yang gemas, tapi menanggapi juga malas. Apa bedanya sama mereka, kalau aku ikut menjawab cibiran yang dilontarkan?"Apa nggak sayang,
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, beradaptasi dengan cahaya lampu. Di mana aku? "Alhamdulillah, sudah bangun kamu, Dek," sapa Mas Dika, membuat aku mengalihkan pandang padanya."Mas, aku ada di mana?""Di sini, di rumah Pak Gani," jawab Mas Dika seraya tersenyum. "Bisa bangun? Yuk, sholat Maghrib dulu, ya, setelah itu kita makan," tambahnya lagi."Bisa, Mas."Oh, iya, baru teringat kalau tadi sepulang kerja aku dibawa ke sini oleh Mas Dika. Jika tak salah ingat, terakhir tadi aku sempat muntah. Apa itu penyebab badanku selemas ini?Aku berusaha bangun, tapi ternyata badanku terlalu lemah, hingga Mas Dika mengulurkan tangan membantuku duduk.Seorang wanita membantu aku ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan mengantar ke tempat sholat. Alhamdulillah aku merasa lebih baik sekarang. Gegas aku menyusul di mana Mas Dika berada, dengan ditemani oleh Mbak tadi."Mari, kita makan dulu, ya, ini sudah disiapkan sama i
."Jadi, saya dipe-cat, Pak?" tanyaku memastikan. Harap-harap cemas aku menunggu jawaban dari Pak Hanan yang masih anteng duduk di kursinya. Perasaan dibuang dan tak dibutuhkan, menyelinap begitu saja. Rasanya aku hilang harga diri jika sampai itu terjadi. Aku sudah sepenuh hati mengerjakan tugasku, memaksimalkan waktu untuk menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan padaku. Tapi, kalau takdirku bekerja di sini hanya sampai hari ini, aku bisa apa selain menerima?"Tidak, Mbak Husna," Pak Hanan nampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.Kuhembuskan napas perlahan begitu mendengar jawaban Pak Hanan. Duh, lega rasanya mendengar kata tidak. Biar bagaimana pun, pabrik ini sudah seperti rumah kedua bagiku, meski banyak sekali cobaan akhir-akhir ini. Teman-teman yang baik selama bekerja di sini, sudah seperti keluarga bagiku. "Hanya saja, untuk sementara, Mbak Husna bisa ngadem dulu di rumah, atau mau liburan ke mana juga bisa. Mbak Husna bisa kan