Sinta tak jadi main ke rumah, sebab motor mau dipake sama adiknya. Baru ke luar bangunan pabrik sudah ditelponin, jadilah ia langsung tancap gas."Lagi ada kumpulan ibu-ibu ternyata, Dek," ujar Mas Dika begitu turun dari mobil.Benar juga. Banyak ibu-ibu pengajian di rumah. Suara ceramah, samar terdengar dari halaman. Biasanya kalau ada pengajian begini, ibu suka merepotkan diri sendiri, dengan membuat penganan buat suguhan. Tapi belakangan ini, mau juga beli jadi, setelah dibujuk-bujuk, supaya badan tak terlalu lelah. "Iya, Mas. Masuk aja, yuk," ajakku.Jadilah kami memutar, masuk lewat pintu belakang. Gegas aku membersihkan diri, kemudian bergabung dengan ibu yang duduk di dekat pintu ruang tamu. Mas Dika memilih duduk di teras belakang. Ibu meminta tolong untuk diambilkan kardus berisi kotak makanan yang akan dibagikan. Bersamaan dengan itu, sang ustadz membaca do'a karena acara segera berakhir. Kotak makanan segera dibagikan, satu persatu ibu-ibu penga
Kuayunkan kaki ini menuju penjual es cendol di depan pasar. Tak sampai sepuluh menit, aku telah sampai. Setelah memesan dua bungkus es cendol, aku bergabung dalam antrian. Menunggu pesanan selesai, netraku menyapu sepanjang jalan di depan pasar ini. Pandanganku terhenti pada seorang kakek yang duduk di trotoar. Ada banyak keripik singkong serta keripik pisang, beralas karung beras, berjejer rapi di depannya. Tempatnya juga panas, tak ada atap atau apa pun yang melindungi kepala dari teriknya panas matahari jam dua siang ini. Hanya bayangan dari pohon besar di belakangnya, itu pun tak mengarah ke tempat beliau duduk."Masih banyak sekali, apa jualannya belum laku?" batinku."Ini, Mbak, pesanannya sudah siap," ucapan penjual es cendol, membuat aku menoleh ke sumber suara. Kuulurkan selembar uang kertas berwarna ungu untuk membayar.Gegas aku mendekati kakek tersebut. Rasa iba kembali hadir, saat melihat sang kakek terlihat lesu. "Kakek, saya mau beli keripiknya, berapa satu bungkusnya,
"Coba tanya hati kamu, ia pasti tau, pada siapa dan di mana ia akan berlabuh."Seketika aku menegakkan kepala, kemudian bertanya pada hati, 'hei, hati, kamu maunya ke mana, sama siapa?'Sayangnya, hati tak juga mau menjawab pertanyaan tersebut. Kuambil sebungkus keripik pisang, kemudian membukanya dengan gunting. "Udah ya, Mas? Saya ambil, ya, berapa?" suara seseorang menyapa Mas Dika, seketika menghentikan tanya yang beredar di kepala."Iya silahkan, Mbak. Semua seratus lapan puluh juta, Mbak.""Oke. Nah, ini dia. Makasih, ya, Mas.""Sama-sama. Besok beli buah lagi, ya, biar sehat."Bisa aja Mas Dika promosi. Pinter kamu, Mas. Pembeli tadi malah tersenyum senang."Iya, besok kalau sudah habis saya pasti beli ke sini lagi," ucapnya, membuat aku tergelitik untuk mengarahkan netra ini pada pemilik suara. Baru beberapa detik, belum lagi puas mata ini memindai, ia segera berlalu dan menghilang di balik pintu mobil.
"Jadi, bisa kita diskusi mengenai desain-desain ini, Mbak Husna?""Bisa, Bu."Aku mulai membahas satu per satu desain yang telah kubuat. Bu Lutfi terlihat antusias, terbukti dengan beberapa usulan jenis bahan yang akan digunakan. Tak terasa tiga jam telah kuhabiskan di rumah ini. "Beri saya nomer rekening kamu, ya."Permintaan Bu Lutfi, kusambut dengan hati bahagia. Bagaimana tidak, desainku disukai olehnya, dan ia berencana untuk segera mewujudkan menjadi sesuatu yang nyata."Baik, Bu." Aku menjawab singkat, setelah menetralkan degup jantung yang berloncatan. Ponsel kunyalakan, mencari nomer rekening yang kusimpan di colornote. Detik berikutnya, kukirim ke nomer ponsel Bu Lutfi."Sudah saya kirim, Bu.""Bagus, sebentar saya transfer dulu. Dan ini, alamat yang bisa kamu datangi untuk berikutnya. Oke?"Sebuah kartu nama ia berikan padaku yang segera kusambut. "Oke siap, Bu Lutfi."Drrt … sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Tertera
Tanpa aba-aba, Kak Dirga telah menggenggam erat tangan kananku. Selama beberapa saat kami tak bersuara. Hanya debur ombak dan desau angin yang menyapa indera pendengaran."Ayo pulang, sebentar lagi Maghrib. Tak baik anak gadis di sini, sendirian di saat menjelang malam seperti ini," ujarnya, ketika jarak kami hanya tersisa satu langkah kaki."Kuantar pulang, ya, sekalian bertemu orang tua kamu?"Sampai di sini, aku masih membeku di tempatku. "Na, kamu baik-baik saja, kan?"Kualihkan pandang pada matahari yang menyisakan cahaya jingga di sebelah barat. Terbersit tanya di hati, inikah hati yang kupilih? Sudah siapkah aku membuka pintu hati? Atau hanya kebetulankah pertemuan ini?Kutatap wajah berhidung mancung serta beralis tebal di depanku. Ia masih tetap sama seperti dulu, sebelum kutinggalkan. Ia yang beberapa kali hadir secara tiba-tiba di depan mata. Membangunkan memori yang berusaha kupendam dalam diam."Ayo pulang,
Malam kian beranjak tinggi. Kak Dirga telah pamit sejak tadi. Ibu dan Ayah juga telah pamit untuk istirahat di kamar. Mas Dika masih asyik main game di ponselnya, menemani aku menonton televisi.Meski duduk bersisian, tapi tak ada suara kami yang keluar sejak tadi. Hanya suara dari ponsel Mas Dika, serta suara dari dalam televisi yang memenuhi udara di ruang ini."Dek," tiba-tiba terdengar suara Mas Dika, setelah tak terdengar lagi suara game di ponselnya."Iya, gimana, Mas?"Volume televisi kuperkecil lagi, demi mendengar apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Mas Dika. "Tadi, habis ke mana? Kenapa nggak minta antar Mas Dika?""Oh, itu, ada urusan kerjaan sedikit. Maaf ya, Mas, tadi pagi aku juga lupa, pas udah pergi semua baru ingat, itu aja diingatkan sama alarm," jawabku apa adanya."Oh, ya udah. Kirain ke mana, Mas kuatir waktu tau kamu pergi sendiri, mana jauh lagi.""Nggak apa-apa, kok, Mas. Makasih, y
"Eh, ini ada undangan, siapa yang mau mantu? Oh, Fikri. Cepet juga anakmu ketemu jodoh."Tanpa basa-basi, undangan itu dibuka, kemudian dibaca isinya. Sungguh ajaib kamu, Lek. Wajah Lek Lastri makin terlihat kalau sedang serba salah. Ia hanya menanggapi dengan senyum kecut, seraya mengangguk. Mungkin Lek Lastri sudah paham dengan Lek Darmi, jadi tak mau menanggapi. Ibu sudah mendelik ke arah Lek Darmi, tapi yang dipendeliki malah cuek bebek."Oiya, Lastri, apa kamu dengar kabar, kalau ponakanmu ini, suka teriak kalau malam?" ujar Lek Darmi sambil mengarahkan gerak wajahnya ke arahku. Berani sekali ngrasani aku di depanku, Lek!Kamu ngapain to, Lek ... Lek, pakai nanya kayak gitu sama Lek Lastri? Lek Lastri justru mengernyitkan kening, kemudian melihat aku dan ibu bergantian. Mungkin dalam hatinya bertanya, ada apa? Sementara ibu sudah ancang-ancang mau berdiri, tapi kutahan dengan tetap memegang lengannya."Maksudnya teriak gimana, Yu?" tanya Lek Lastri kem
Aku tak mengindahkan, meski tau kalimat ini ditujukan padaku. Aku tak habis pikir, kenapa ada orang yang begitu sukarela mengurusi kehidupan orang lain, lantas membuat kesimpulan sendiri."Cing ... Kucing, makanya to, jangan sok-sokan nolak laki-laki, jadi nggak laku-laku kan, kamu? Masa depan nggak jelas, diduluin mantan pula. Mantannya udah mau nikah, eh, kamu masih saja nggak punya pasangan. Nggak punya kerjaan, nambah-nambah pengangguran. Jadi sampah masyarakat!"Terdengar dengan sangat jelas, tertangkap oleh indera pendengaranku apa yang diucapkan oleh Lek Darmi. Meski ia menyebut kucing, tapi aku tau kalau kalimat tersebut ditujukan padaku.Ibu yang sudah masuk, mulai beranjak hendak ke pintu. Melihat gelagat akan terjadi perang antar tetangga, gegas kuajak ibu masuk setelah kututup rapat pintu depan."Ibuku sayang, anterin Husna ke pasar, ya, nanti kita beli gelang yang cantik buat ibu. Mau, ya?" ucapku mencoba merayu ibu. Siapa t