Malam kian beranjak tinggi. Kak Dirga telah pamit sejak tadi. Ibu dan Ayah juga telah pamit untuk istirahat di kamar. Mas Dika masih asyik main game di ponselnya, menemani aku menonton televisi.
Meski duduk bersisian, tapi tak ada suara kami yang keluar sejak tadi. Hanya suara dari ponsel Mas Dika, serta suara dari dalam televisi yang memenuhi udara di ruang ini."Dek," tiba-tiba terdengar suara Mas Dika, setelah tak terdengar lagi suara game di ponselnya."Iya, gimana, Mas?"Volume televisi kuperkecil lagi, demi mendengar apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Mas Dika."Tadi, habis ke mana? Kenapa nggak minta antar Mas Dika?""Oh, itu, ada urusan kerjaan sedikit. Maaf ya, Mas, tadi pagi aku juga lupa, pas udah pergi semua baru ingat, itu aja diingatkan sama alarm," jawabku apa adanya."Oh, ya udah. Kirain ke mana, Mas kuatir waktu tau kamu pergi sendiri, mana jauh lagi.""Nggak apa-apa, kok, Mas. Makasih, y"Eh, ini ada undangan, siapa yang mau mantu? Oh, Fikri. Cepet juga anakmu ketemu jodoh."Tanpa basa-basi, undangan itu dibuka, kemudian dibaca isinya. Sungguh ajaib kamu, Lek. Wajah Lek Lastri makin terlihat kalau sedang serba salah. Ia hanya menanggapi dengan senyum kecut, seraya mengangguk. Mungkin Lek Lastri sudah paham dengan Lek Darmi, jadi tak mau menanggapi. Ibu sudah mendelik ke arah Lek Darmi, tapi yang dipendeliki malah cuek bebek."Oiya, Lastri, apa kamu dengar kabar, kalau ponakanmu ini, suka teriak kalau malam?" ujar Lek Darmi sambil mengarahkan gerak wajahnya ke arahku. Berani sekali ngrasani aku di depanku, Lek!Kamu ngapain to, Lek ... Lek, pakai nanya kayak gitu sama Lek Lastri? Lek Lastri justru mengernyitkan kening, kemudian melihat aku dan ibu bergantian. Mungkin dalam hatinya bertanya, ada apa? Sementara ibu sudah ancang-ancang mau berdiri, tapi kutahan dengan tetap memegang lengannya."Maksudnya teriak gimana, Yu?" tanya Lek Lastri kem
Aku tak mengindahkan, meski tau kalimat ini ditujukan padaku. Aku tak habis pikir, kenapa ada orang yang begitu sukarela mengurusi kehidupan orang lain, lantas membuat kesimpulan sendiri."Cing ... Kucing, makanya to, jangan sok-sokan nolak laki-laki, jadi nggak laku-laku kan, kamu? Masa depan nggak jelas, diduluin mantan pula. Mantannya udah mau nikah, eh, kamu masih saja nggak punya pasangan. Nggak punya kerjaan, nambah-nambah pengangguran. Jadi sampah masyarakat!"Terdengar dengan sangat jelas, tertangkap oleh indera pendengaranku apa yang diucapkan oleh Lek Darmi. Meski ia menyebut kucing, tapi aku tau kalau kalimat tersebut ditujukan padaku.Ibu yang sudah masuk, mulai beranjak hendak ke pintu. Melihat gelagat akan terjadi perang antar tetangga, gegas kuajak ibu masuk setelah kututup rapat pintu depan."Ibuku sayang, anterin Husna ke pasar, ya, nanti kita beli gelang yang cantik buat ibu. Mau, ya?" ucapku mencoba merayu ibu. Siapa t
"Aku nggak apa-apa, Mas, Bu, Yah. Anggap saja Mas Fikri saudara jauh yang akan menikah. Ia akan menjemput bahagia bersama pasangan hidupnya kelak. Kita sudah diundang, maka kita wajib datang.Mendo'akan mereka yang akan menempuh hidup baru tak ada salahnya bukan? Bukankah do'a baik akan kembali pada diri kita sendiri? Insya Allah aku kuat, ikhlas. Jadi tak usah khawatirkan aku."Kini mereka bertiga melihatku setelah saling pandang beberapa saat. Kulanjutkan lagi bicaraku, nampaknya mereka masih menunggu jawabanku."Sudah ya, jangan berdebat lagi. Kita jalani saja yang ada di depan kita. Yang sudah terjadi ya sudah, jadikan pelajaran, jangan diungkit-ungkit lagi. Bikin capek hati dan pikiran. Oke?"Dan mereka semua setuju. Ibu bahkan memelukku lama sekali.Aku pamit ke kamar setelah merasa tak ada yang perlu dibahas lagi. Lagipula, entah kenapa terasa capek, padahal di rumah saja seharian. Eh, enggak ding, sempat ke pasar juga sama ibu, se
"Bukan kangen aku kali, tapi kamu. Kan kamu yang ada di sana, otomatis dia ngeliatin kamu yang lagi kerja. Iya, nggak?""Enggak! Lihat, ini buktinya," kembali ia menunjuk kotak tersebut."Ya udah, kita buka aja kalau gitu, biar sama-sama tau apa isinya." Kedua tanganku baru akan mengeluarkan kotak tersebut dari plastik, saat terdengar suara salam dari depan rumah. Seketika gerakanku terhenti untuk melihat siapa yang datang. Rupanya Mas Dika sudah pulang. Saking asyiknya ngobrol sama Sinta, sampai nggak dengar suara mobilnya datang."Eh, lagi ada tamu ternyata, ya?" tanya Mas Dika begitu melihat keberadaan Sinta di depan televisi. Ia tersenyum ramah sembari mengangguk seperti biasa. "Ya udah, lanjutkan ngobrolnya, Dek, Mas mau langsung mandi," tambahnya lagi.Mas Dika sudah berlalu ke belakang. Kini aku beralih melihat Sinta. Yah, dia malah bengong lihat mas Dika yang menghilang di balik gorden."Woi, awas lalat masuk k
Bukan hanya sekali dua kali terjadi. Kadang pas lagi ngelamun, dapat ide, terus mau dituangkan ke kertas, eh keburu mengerjakan yang lain. Akhirnya idenya menguap deh, dan mesti bertapa lagi buat mencari ide. Masih bagus sambil bertapa, kadang mesti jalan dulu keliling rumah, lihat-lihat tanaman biar pikiran lebih fresh, sehingga ide pun mengalir lancar, dan ini tak bisa dipaksakan. Mesti pinter ngatur waktu sajalah kalau kubilang."Ya bener juga, tapi kan nggak baik kalau sering terjaga sampai larut begini, kalau siang juga jarang tidur, kan?" tanya Ibu sambil sesekali memijit pundakku. Membuat aku merasa tak enak, bukankah seharusnya aku yang memijit ibu, ini malah terbalik. Anak macam apa aku ini?"Lihat ini, sampai teraba tulangnya, mbok ya, badan itu dijaga, waktunya istirahat jangan dipakai kerja," lanjut Ibu lagi."Enggak juga, Bu, tidur juga kok, apalagi kalau di rumah sendirian, pasti tidur, meski sejam dua jam. Ibu nggak usah kuatir, ya? Ini mumpung idenya
Masih ada waktu sehari, bisa dipakai buat ngebut bikin desain gaun yang cantik..Dering ponsel membuat aku terjaga. Melihat jam di dinding, ternyata sudah hampir jam satu siang. Kedua mataku membesar, menyadari betapa lamanya aku tertidur pulas sejak pagi. Melihat sekeliling, masih terlihat pensil warna serta kertas berserakan di atas meja kamar. Sementara aku terbaring di atas dipan. Suara murotal yang kusetel sejak pagi masih menyala, kini melantunkan surat Ar Rahman.Gegas kuraih ponsel, sebelum panggilan berakhir. Sebuah nama tertera di sana. Kak Dirga?"Ya, hallo, assalamu'alaikum ... ," ucapku membuka percakapan."Wa'alaikumsalam ... . Itu suaranya kayak orang baru bangun, ya?" terdengar suara dari seberang, disertai suara bising kendaraan."Iya Kak, hoammmh ... ," jawabku, kemudian menutup mulut begitu sadar aku kembali menguap."Masih ngantuk banget, ya? Maaf, ya, Kakak nggak tau kalau kamu lagi istirahat."
Aku menurut apa yang disampaikan. Sementara ia segera berlalu ke dalam untuk mengabarkan kedatanganku. Dari tempat dudukku, aku bisa melihat isi butik ini. Sesekali aku mengangguk, mengagumi betapa indahnya gaun-gaun yang terpajang di sana. Tentu tangan-tangan terampil telah sangat telaten dalam mengerjakan tiap detailnya."Maaf Mbak, Ibu masih melayani klien, jadi Mbak Husna diminta menunggu sebentar di sini. Tidak apa-apa, ya?" ujar Mbak Sofia, begitu ia kembali."Iya, Mbak, tidak apa-apa," akan menjawab dengan jawaban singkat.Mbak Sofia mulai mengajakku mengobrol ringan. Kesan ramah semakin terasa saat berbincang dengannya. Menunggu selama hampir lima belas menit, terdengar suara yang tak asing bagiku. Bu Lutfi terlihat berbincang dengan sang tamu menuju pintu ke luar.Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu, serta dress selutut, memperlihatkan betisnya yang putih seperti kaca. Namun, bukan ia yang membuat aku terpaku di
Perbincangan berlangsung beberapa lama. Hingga harus terhenti karena ada tamu yang hendak bertemu dengan Bu Lutfi. Dirasa cukup, aku segera undur diri.Jarum jam di tangan kiriku telah menunjuk angka tiga kurang sepuluh menit, ketika aku melangkahkan kaki meninggalkan butik milik Bu Lutfi. Tak henti aku berucap syukur, atas nikmat dan rejeki hari ini. Berjalan kaki selama sepuluh menit, sampailah aku di sebuah outlet es krim yang tampak menggoda untuk dicoba. Tak menunggu lagi, aku segera memesan satu porsi untuk dinikmati. Kursi di sudut ruangan menjadi pilihanku, sebab dari sini, aku bisa melihat pemandangan di luar sana."Silakan, Mbak," ujar seorang pramusaji, membawa satu mangkuk berisi es krim yang terlihat lezat."Terima kasih," jawabku yang dibalas dengan anggukan, kemudian ia berlalu dari hadapan."Oke, mari senangkan diri, setidaknya dengan es krim ini," gumamku.Perlahan aku mulai menyuapkan es krim ke mulut. Alhamdul