"Bapak aja yang ngajarin Mbak Husna," ujar Yoga. "Pak Hanan bisa, kok, iya kan, pewangi pakaian?""Pewangi-pewangi. Namaku Doni ya, bukan pewangi," ujar Doni, pura-pura mendelik sambil menyikut Yoga.Gelak tawa kembali memenuhi ruang ini."Ya udah, saya tinggal dulu, ya. Yo, ajarin," ujarnya seraya memberi kode pada Yoga."Siap, Pak.""Selamat belajar Mbak Husna, nanti kalau sudah agak-agak pusing, istirahat aja, oke. Biasa kalau pertama suka gitu. Mau bikin kopi biar melek, apa mau cemilan, boleh ke pantry. Oke, udah ya, saya pergi dulu."Detik berikutnya, derap langkah sepatunya bergerak menjauhi ruangan ini, hingga sosoknya tak terlihat lagi. Kembali Doni sama Yoga berbisik-bisik. Ah, sudahlah, lebih baik aku mulai mempraktekkan catatan-catatan kecilku sejak kemarin.Kedatangan Pak Hanan di ruang desain seperti menjadi aktivitas rutin. Hampir setiap hari, beliau mengunjungi kami bertiga di sini. Dengan telaten ia memeriksa hasil kerja, supaya hasi
Sebenarnya, perasaan ini masih sama, seperti dulu saat awal aku mengaguminya, aku merasa kalau ia terlalu tinggi untuk kuraih. Kulihat lagi nama dan nomer ponselnya, hendak menghubungi, tapi ragu. Akhirnya kuletakkan lagi, seperti halnya kemarin.Lelah mulai menyapa. Kuputuskan ikut berbaring di samping Ibu, setelah mengadu pada Sang Pencipta Jagat Raya.Keesokan harinya, secara tiba-tiba, ia yang semalam menjadi bahan pembicaraan ibu dan aku, muncul di depan pintu, dengan banyak oleh-oleh, dan dengan senyum khasnya, tanpa berkabar lebih dulu.Memang uniklah Kak Dirga ini. Suka pergi dan datang tiba-tiba. Membuat hati berdebar-debar, sebab mendapatkan banyak kejutan."Alhamdulillah, anak lelaki ibu sudah pulang," sambut ibu dengan semangatnya."Yah, ini lho, anaknya sudah pulang," ujar ibu, memanggil ayah yang masih bersandar di teras belakang.Ya, Allah, sebahagia itu ibuku menyambut kedatangan Kak Dirga. Beliau bahkan tak segan menyebut sebagai anak le
Ada hal yang tak bisa kusampaikan dan hanya sampai di ujung lidah. Melihat kedua orang tuaku yang terus mengukir senyum, bagiku itu sudah cukup. Melihat kedekatan dua keluarga yang begitu akrab, rasanya semua sudah lengkap.Tak peduli aku harus menikam perasaanku sendiri. Biarlah kujalani, jika ini memang takdirku. Saat ini, yang bisa kulakukan hanya menerima dan menghadapi yang ada di depan mata.Melintas lagi, pesan ibu semalam, "akan lebih baik jika kita yang dicintai oleh pasangan, dari pada kita yang mencintai pasangan. Sebab kita akan diratukan, oleh orang yang tepat, yang mencintai kita."Ingin sekali aku menjawab, akan lebih baik kalau saling mencintai, Bu. Namun kalimat tersebut hanya bisa kutelan lagi. Kusimpan untukku sendiri.Menunjukkan wajah bahagia, meski di hati terasa tak sama. Semua kulakukan demi mereka. Biarlah kukubur rasa ini, di dalam hati, karena hati wanita ialah sedalam samudera."Terima kasih, ya, Nak, sudah ber
"Eh, sudah bangun, ya? Jam berapa sekarang, Dek?" tanyanya sambil berusaha membuka lebar kedua matanya."Nggak tau. Jam berapa, Bu? tanyaku pada ibu."Sudah mau setengah enam. Ayo, bangun. Sudah kesiangan ini Subuhnya."Gegas Mas Dika beranjak dari duduknya, lantas ke kamar mandi. Aku menyusul kemudian.."Mas, makasih, ya?" ucapku, saat Mas Dika mulai melajukan mobilnya di jalan beraspal, bergabung dengan kendaraan lain."Makasih buat apa, Dek?""Buat, selimut, sama nemenin di belakang," ucapku lirih. Ada rasa takut sebenarnya, takut diinterogasi sama Mas Dika."Oh, iya, nggak apa-apa."Tumben nggak nanya kenapa, Mas?"Maaf ya, Mas ... .""Maaf buat apa?""Maaf kalau, aku, melangkahi Mas Dika lagi," ujarku, lantas menunduk."Sudah, nggak usah dipikirin. Mas nggak apa-apa, malah seneng lihat kamu, bentar lagi ada yang jagain. Iya, kan?""Iya, Mas. Makasih, ya Mas.
Setelah kejadian lamaran mendadak itu, hari berlalu dengan apa adanya. Tidak semua hari berjalan dengan baik. Tapi, pasti ada hal baik di setiap harinya. Seperti halnya hari ini. Melihat Sinta yang begitu antusias mendengarkan ceritaku, itu juga satu kebahagiaan tersendiri bagiku.Ia yang belakangan sering mencemaskan kondisiku, kini terlihat tersenyum lega. Senyum yang dengan cepat menjalar padaku. Ia yang banyak mengajarkan aku cara bersyukur, sebab ia tak seberuntung aku, yang memiliki keluarga lengkap."Selamat ya, Na. Aku ikut seneng dengernya," ucap Sinta sungguh-sungguh. Ia lantas memelukku. Lama. Aku bahkan dapat melihat kaca-kaca bening menghiasi bola matanya."Makasih, ya, Sin.""Sama-sama. Terus, si Bapak ini gimana, dong?""Bapak yang mana?""Yang itu." Ia mengisyaratkan ke sebuah ruangan di mana Pak Hanan berada."Ya, nggak gimana-gimana. Emang maunya gimana?"Tadinya, aku udah seneng dan
Aku menanggapi sekedarnya. Tepatnya, lebih banyak diam dan menyimak keramaian anak-anak di depan kami."Deal, ya?" ia bertanya, sedangkan aku tak mengerti tadi ia membahas apa."Iya," jawabku singkat. Perhatianku masih tertuju dengan anak kecil yang mulai lelah naik perosotan, hingga beberapa kali terjatuh saat menaiki tangganya."Kak, ada es krim putar, beli, yuk," ujarku, saat melihat penjual es krim putar bergerak mendekat ke arah kami duduk."Boleh."Gegas ia berdiri dan melambaikan tangan, memanggil penjual es krim putar supaya mendekat.Bibirku ikut tersenyum, melihat Kak Dirga menyelipkan lembaran warna biru tanpa meminta kembalian, pada penjual es krim tersebut. Hampir selalu seperti itu jika ia membeli sesuatu pada penjual keliling, yang akhirnya aku pun meniru. Ia kembali ke bangku tempatku duduk dengan membawa dua cone penuh es krim."Terima kasih, Kak.""Sama-sama, Sayang. Kamu seneng banget sama es krim, ya?" tanyanya, sambil tangann
Apa yang terbayang, saat mendengar kata 'ibu mertua'?Ialah wanita, yang melahirkan calon suami, yang kelak akan menjadi orang tuaku juga. Ialah yang menjadi cinta pertama bagi anak lelakinya. Setidaknya, demikianlah yang ada dalam bayanganku. Tak sedikit kisah kisruh menantu dan mertua yang menjadi momok menakutkan bagi seorang calon pengantin sepertiku. Perseteruan menantu dan mertua yang tak ada habisnya, kerap kali menyapa indera pendengaranku.Tak sedikit juga, beberapa teman mengisahkan kisah pahitnya setelah berumah tangga. Beberapa ada yang merasa tertipu, sebab ia tak lagi menjadi tulang rusuk bagi suami, tapi berbalik menjadi tulang punggung. Bahkan beberapa mengaku harus bertahan dalam kepahitan demi buah hati, agar memiliki sosok orang tua yang lengkap, tak peduli ia harus mengorbankan perasaan sendiri.Beberapa yang lain, memilih berpisah, lantas kembali menjalani hidup tanpa sosok seorang suami, demi menjaga kesehatan jiwa dan mental. Sedangkan bu
Melihat bunga yang tumbuh subur, membuat hatiku ikut mekar juga saat berada di tempat ini. Mau berlama-lama juga aku bakalan betah kala kondisinya begini."Iya, Kak. Pasti tangan yang terampil dan telaten yang telah merawat mereka, hingga tumbuh subur dan berbunga sangat cantik.""Calon mertua kamu itu, ngeliatin," bisiknya, sambil memberi kode ke arah pintu masuk.Kedua mataku membesar, sebab tak menyadari keberadaan beliau. Detik berikutnya, aku segera beranjak untuk memangkas jarak dengan orang tua Kak Dirga. Beliau terlihat tersenyum senang, serta kedua matanya berbinar."Assalamu'alaikum Bu, maaf, tadi saya khilaf," ujarku. Duh, bicara apa aku ini?"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah, syukurlah kalau kamu suka berada di sini. Tidak apa-apa, ibu malah senang kalau kamu menikmati apa yang ada di rumah ini. Mau masuk, apa di sini dulu, Nak?" ucapnya penuh dengan keramahan.Sekilas aku melirik Kak Dirga