"Siapa dia? Sepertinya aku belum pernah melihatnya dalam pertemuan keluarga." Batin Marisa sambil melangkah memasuki ruang tamu. Bude Chusnul tersenyum lebar ketika melihat Marisa dan berkata dengan gembira, "Nah ini Marisa sudah datang." Marisa menjadi canggung ketika semua pasang mata di ruang tamu rumah Bude Chusnul menatapnya. Dengan ragu-ragu dia melangkah mendekati budenya dan meraih tangannya untuk dicium. Marisa melakukan hal yang sama kepada pakdenya. Kakak dari ayahnya itu mengelus puncak hijab Marisa ketika dia menunduk untuk mencium tangan pakdenya. "Apa kabar Bude, Pakde. Maaf Risa baru sempat berkunjung," ucap Marisa lalu tersenyum rikuh. "Iya, gak apa-apa. Kami paham kok dengan kesibukan kamu. Iya, kan, Bu?" sahut Pakde Hari sambil melirik Bude Chusnul yang segera membalas dengan mengangguk. "Nggak apa-apa, Nduk ayu. Bude ngerti kok kalau kemarin-kemarin kamu masih repot. Cuma hari ini bude kok kangen banget sama kamu. Makanya bude minta ibumu untuk ke sini dengan
"Ada apa ini? Kenapa kalian berduaan saja di ruangan ini? Marisa tolong kamu jelaskan siapa lelaki ini? Dan apa yang kalian lakukan di rumahku?" Suara menggelegar yang dilontarkan oleh sosok lelaki tinggi dan kekar membuat terkejut kedua orang yang duduk di ruang tamu. Mata Marisa terbeliak menatap lelaki yang langkah lebarnya segera membuat dia berdiri menjulang di depan Marisa. "Ma-mas Rian kamu membuatku kaget. Kenapa, sih, kamu itu suka sekali berteriak? Bikin orang jantungan aja. Biasa aja dong nadanya kalau ngomong."Rian melotot mendengar omelan Marisa. Dia menjadi semakin kesal melihat tegurannya tadi tidak ditanggapi oleh sepupunya dan lelaki yang tidak dikenalnya itu. "Kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Ris. Mas tanya ngapain kamu di sini? Dan mengapa kamu berduaan dengan lelaki asing ini." "Aku nggak mengalihkan pembicaraan, Mas. Aku cuma nggak suka dengan caramu yang datang-datang marah. Oke aku akan jelaskan, tapi kamu duduk dulu. Capek leherku kalau harus tengadah te
"Entahlah, Bu. Sebenarnya Risa juga ingin segera move on dari masa lalu yang menyedihkan. Tapi rasanya masih sulit. Lubang di dada Risa masih cukup besar dan dalam. Jadi, tidak mudah untuk ditutup kembali." Marisa menelungkupkan wajah di kemudi mobil. Posisi kendaraan yang tengah berada dalam antrian lampu merah membuat Marisa leluasa untuk sedikit meratapi nasib. Bu Rahmi menatap anaknya yang sedang bersedih di sebelahnya. Tangannya terulur dan sedikit merangkul pundak Marisa. Dengan gerakan perlahan dia mengelus bahu putri sulungnya itu dan berkata, "Lampunya sebentar lagi hijau, loh. Kamu harus siap-siap jalanin mobil biar tidak diklakson terus dari belakang." Melihat putrinya belum mengangkat wajah, Bu Rahmi kembali melanjutkan, "Atau kamu butuh waktu? Setelah dari lampu merah ini kita menepi dulu, ya di depan. Kita cari taman atau cafe dan ngobrol-ngobrol sebentar." Marisa mengangkat kepalanya yang tadi menelungkup di kemudi mobil. Dia menoleh ke kiri dan memandang ibunya, kem
"Loh … dia? Apakah dia adalah Om-nya Amanda?" Mata marisa terbeliak ketika melihat orang yang turun dari mobil itu. Dia mengamati gerak gerik lelaki yang tampak gagah dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung di siku. Tak berbeda dengan Marisa, sosok yang baru turun dari mobil itu juga tampak terkejut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh dari keponakannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu. "Loh, Bu Marisa kok ada di sini?" "Assalamualaikum, Dokter Harun. Apa kabar?" Marisa memberikan salam tanpa menjawab pertanyaan sang dokter. Wajah Dokter Harun memerah. Dia tampak salah tingkah karena terlalu terburu-buru sehingga dia lupa memberikan salam. Padahal selama ini dia tidak pernah melupakan adab itu ketika bertemu dengan seorang muslim atau muslimah. "Waalaikumsalam … alhamdulilah baik. Semoga Bu Marisa juga baik-baik saja." "Aamiin." Marisa menyahut pelan karena tiba-tiba saja dia menjadi grogi berdiri di dekat Dokter Harun. Padahal d
"Ma-maksud Dokter … tadi Dokter Harun bertemu dengan Mas Irawan? Apakah Dokter juga mengajak Mas Irawan berbicara?" Wajah Marisa memucat. Dengan suara bergetar dia bertanya kepada Dokter Harun."Hanya menyapa sekadarnya saja. Memangnya kenapa Bu Marisa?" selidik Dokter Harun. Mata hitam sang dokter menatap Marisa dengan tatapan heran. "Tidak … tidak ada apa-apa, Dok." Marisa menjawab cepat agar Dokter Harun tidak curiga. Dia lalu membuang pandang agar tidak perlu bersitatap dengan sang dokter. Sebenarnya di hati kecilnya Marisa bertanya-tanya alasan dia khawatir Dokter Harun berbicara dengan suaminya. Apakah karena dia takut Dokter Harun mengetahui statusnya sebagai seorang janda? Memangnya apa yang harus dia cemaskan kalau benar Dokter Harun tahu status yang disandangnya sekarang?"O saya kira ada apa. Kalau melihat dari raut wajahnya, sih, Pak Irawan tampak makin cerah, ya, Bu. Semoga dengan rajin terapi, suami Bu Marisa bisa pulih seperti sedia kala." "Aamiin Yaa Robbal'aalaami
"Loh bukankah Anda dokter yang pernah merawat mantan suami anak saya?" Marisa terkesiap dan wajahnya memucat mendengar kata-kata ibunya. Dia sama sekali tidak menyangka Bu Rahmi akan berkata seperti itu. Sementara itu Dokter Harun tidak kalah terkejutnya. Mulutnya ternganga mendapat pertanyaan tidak terduga dari ibunya Marisa. Namun, bukannya menjawab, Dokter Harun justru balik bertanya, "Mantan? Bu Marisa sudah berpisah dengan Pak Irawan?" "Iya, Pak Dokter," jawab Bu Rahmi. Dia menatap curiga kepada lelaki yang berdiri di depannya ini. Kenapa lelaki ini harus se terkejut itu? Kenapa pula dia yang mengantar Marisa ketika mobilnya mogok? Apa mereka berdua mempunyai hubungan? Berbagai pertanyaan berkelindan di benak Bu Rahmi. Membuat perempuan separuh baya itu menatap bergantian wajah anaknya dan Dokter Harun. "O begitu," jawab Dokter Harun singkat.Dokter Spesialis Jantung itu lalu berdeham untuk menghilangkan suara seraknya. Dia kemudian menatap Marisa dan berkata, "Saya ikut p
"Apakah kira-kira orang yang akan kamu pilih itu Dokter Harun?" tanya Bu Rahmi sambil tetap mengelus punggung Marisa. Suara isak tangis putrinya sudah mulai berkurang seiring elusan tangannya. Mendengar pertanyaan Bu Rahmi, Marisa seketika melonggarkan pelukannya. Dia kemudian duduk tegak sejajar dengan ibunya. Matanya menatap lekat wajah Bu Rahmi mencoba menyelami maksud pertanyaan ibunya. Namun, tak secuil informasi pun yang bisa dia dapatkan karena ibunya hanya diam dan balik menatap. Jadi, Marisa akhirnya tidak tahan, "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Loh memangnya salah kalau ibu menanyakan hal itu?" "Nggak salah, sih, Bu. Risa cuma merasa heran aja Ibu bisa kepikiran nama Dokter Harun." Bu Rahmi tertawa kecil sambil memandang wajah putri sulungnya. "Kamu boleh percaya boleh nggak, Nduk. Seorang Ibu itu peka. Punya firasat yang jarang sekali salah." "Waktu Risa dijodohkan dengan Mas Irawan apa ibu nggak mempunyai firasat?""Entahlah. Ibu sedikit lupa karena sudah lama
"Oo jadi Dokter Harun itu sebenarnya mau menikah tapi batal, ya? Amanda tahu alasannya apa?" Marisa memiringkan tubuhnya ke kanan dan menatap lekat Amanda. Dia benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita muridnya itu. "Saya nggak tahu, Bu. Kejadiannya udah lama dan waktu itu saya masih kecil. Kata mama Itu urusan orang dewasa." Amanda menjawab dengan santai tanpa tahu perasaan orang yang sudah bertanya. Marisa mengerjapkan bulu matanya. Desah lirih pertanda kecewa meluncur dari bibirnya. Rasa penasarannya menemui jalan buntu dan tidak menemukan jawaban. Amanda menoleh ke kiri. Dia mendengar desah lirih yang keluar dari bibir gurunya dan menjadi penasaran. "Kenapa, Bu?" "Oo enggak apa-apa, kok," jawab Marisa dengan cepat. Dia menjadi salah tingkah karena tatapan lekat Amanda seolah-olah menyelidikinya. "Bu Marisa ternyata aneh juga. Sama seperti Om Harun." "Dokter Harun juga aneh? Kenapa?" tanya Marisa yang dibalas anggukan Amanda. "Mirip Bu Marisa tadi. Om Harun juga sering n