"Wah dasar! Ini namanya tukang selingkuh teriak orang lain yang selingkuh!" Wajah Bu Rahmi merah padam menahan amarah."Sabar, Bu. Risa sudah omelin Mas Irawan, kok. Dokter Harun kan juga tidak terima kalau dia dituduh bertemu istri pasien di saat pasiennya koma." "Syukurlah kalau begitu. Memang orang seperti Irawan itu kudu dilawan biar dia nggak seenaknya sendiri kalau ngomong. Biar dia juga tahu kesalahannya." "Iya, Bu itu yang Risa pikirkan kemarin. Risa nggak mau difitnah dan dituduh selingkuh. Apalagi kalau mereka yang ngerekam kejadian kemarin itu nyebarin videonya. Jadi, Risa luruskan aja biar nggak ada tuduhan macam-macam. Mas Sandhy juga membantu klarifikasi dan meminta siapa pun yang sudah merekam video tidak menyebarkannya." "Loh siapa yang merekam? Aduh gimana kalau itu jadi viral, Nduk? Ibu jadi takut kejadian yang dulu terjadi ke suamimu akan menimpa kami juga." Bu Rahmi meremas-remas tangannya pertanda dia sedang gelisah."Tenang aja, Bu. Insya Allah nggak terjadi.
"Maaf, Mas Sandhy. Aku meminta waktu untuk berpikir," jawab Marisa. "Masih kurangkah waktu yang sudah kuberikan?" "Iya. Ini adalah keputusan seumur hidup. Itu sebabnya aku harus berhati-hati dalam memutuskan. Aku pernah gagal dalam mengarungi rumah tangga, jadi aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama." Marisa dengan tegas menyampaikan keinginannya. Dia menatap Sandhy untuk melihat reaksi lelaki itu. Namun, Sandhy hanya terdiam dan memandang Marisa menanti kata-katanya selanjutnya. Marisa menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kalau waktu pertama kali Mas Sandhy menyatakan perasaannya, aku tidak meminta agar Mas Sandhy menunggu. Karena aku tahu rasa trauma yang kumiliki entah kapan hilangnya. Namun, justru Mas Sandhy yang bersikeras untuk menunggu. Jadi, kemarin itu tidak bisa dihitung sebagai memberikan waktu menunggu, Mas. Beda dengan sekarang. Aku memang meminta waktu, tapi kalau Mas Sandhy tidak mau memberikannya juga tidak apa-apa." "Maafkan aku Marisa.
Sepeninggal Sandhy, Rian menatap Marisa lekat hingga Marisa merasa risih. Lalu Rian bertanya, "Kenapa kamu masih memikirkannya? Kenapa tidak langsung menolaknya?""Memangnya kenapa harus ditolak, Mas? Mas Sandhy orangnya baik dan perhatian. Kenapa aku nggak bisa terima dia?""Dia bukannya penyanyi itu, kan? Profesinya masih sama atau dia sudah ganti pekerjaan?""Ya betul, Mas. Dia penyanyi. Sepertinya Mas Sandhy penyanyi tetap sebuah cafe di Surabaya Pusat yang lagi viral itu." Rian mengangguk dan kembali menatap Marisa. "Aku jujur aja ngerasa aneh sama pola pikirmu. Kok bisa kamu mempertimbangkan seorang lelaki sebagai calon suami kamu, padahal kamu tahu istri lelaki itu selingkuh dengan suamimu. Kalian mau balas dendam ke Irawan?""Balas dendam gimana, sih, Mas? Tuduhan Mas Rian itu mengada-ada." Marisa menatap marah kakak sepupunya itu. "Terus apa namanya? Pasangan kalian berselingkuh. Suamimu selingkuh dengan istrinya. Terus setelah istrinya meninggal, kalian mau menikah satu sa
Tak lama kemudian ada sebuah pesan masuk di aplikasi Marisa yang berlogo telepon warna hijau. Marisa segera membuka pesan dari Rian yang berbunyi. "Sudah kamu buka foto-foto dan video yang kukirim? Bagaimana, Ris? Sudah tahu ulah Sandhy selama di cafe ini?" Marisa menarik napas berat membaca whatsapp dari Rian. Dia tidak segera membalas chat tersebut, melainkan kembali melihat tiga buah foto dan satu buah video yang dikirim oleh kakak sepupunya itu. Foto pertama memperlihatkan Sandhy tengah bernyanyi dan di dekatnya ada tiga perempuan berbaju seksi. Entah apa yang mereka lakukan karena di foto hanya tampak mereka berdiri mengelilingi Sandhy yang sedang duduk sambil bernyanyi. Foto kedua dan ketiga posenya hampir mirip, tetapi dengan dua perempuan yang berbeda. Dalam foto kedua Sandhy merangkul bahu perempuan yang mempunyai rambut pendek. Sementara itu di foto ketiga tampak Sandhy merangkul pinggang perempuan yang memiliki rambut bercat kemerahan. Sementara itu, adegan dalam vide
"Tentang perasaanku setiap dekat atau bersama Mas Sandhy, aku selalu teringat dengan istri Mas Sandhy. Aku tidak bisa menghilangkan wajahnya dari benakku. Itu salah satu alasan aku menolak lamaran Mas Sandhy." "Kamu jangan bercanda, Ris!" "Siapa yang bercanda, Mas? Aku sangat serius. Memang seperti itu yang kurasakan. Setiap kita bertemu dan mengobrol seperti sekarang ini, pikiranku tidak bisa dilepaskan dari almarhum istrimu. Aku selalu ingat dia dan bagaimana hubungannya dengan mantan suamiku. Apalagi sekarang aku sudah melihat sendiri bagaimana kamu menyanyi. Bayangan itu tidak bisa lepas bahkan semakin erat menggayuti pikiranku." Marisa menatap Sandhy yang duduk di depannya. Namun, lelaki itu hanya terdiam. Bahkan sekarang dia cuma menunduk saja. "Akhir-akhir ini aku bahkan sering merasa takut. Aku tahu Mas Sandhy beda dengan Mas Irawan. Namun, perasaan takut Mas Sandhy melakukan kesalahan sama itu tidak mudah kuhilangkan dari diriku. Dunia entertainment yang menyeret Mas Iraw
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa