'Ternyata kamu tetap telepon ke rumah di jam yang sama seperti biasanya. Aku kira kamu bakalan melewatkannya karena sudah ada Alena di sana,' batin Zahera menatap layar ponselnya yang berdering dengan menampilkan nama dan foto suaminya. Zahera menarik napas dalam-dalam sebelum menerima panggilan tersebut. Menyiapkan diri sebaik-baiknya supaya tidak terlihat mencurigakan. Jika Sanjaya bisa berakting di depannya selama ini, maka Zahera pun pasti bisa menyamainya. "Halo, Pa," sapa Zahera dengan ramah seperti biasanya. "Halo, Mama sayang. Kamu lagi apa, Ma?"'Masih bisa ya, Mas. Kamu panggil aku sayang-sayang, setelah apa yang kamu lakukan di belakang aku,' batinnya lagi. Zahera semakin yakin jika selama ini dia terlalu bodoh karena meyakini ketulusan suaminya sampai tidak tahu sedang dicurangi di belakangnya."Lagi siapin sarapan buat Abi, Pa. Kamu sendiri lagi apa, Pa?""Jalan pagi sekalian cari sarapan juga, Ma. Kamu masak apa? Abi sudah bangun kan, Ma?" "Abi udah bangun kok, Pa.
"Maaf, kamu udah nunggu lama ya?"Sanjaya baru pulang dari luar dengan membawa dua bungkus nasi uduk untuk sarapan bersama Alena. Padahal saat di warung makan tadi, Sanjaya sudah makan di tempat karena Zahera yang memintanya, dengan alasan ingin makan bersama Sanjaya meski hanya tersambung melalui video call saja. Karena tidak mungkin video call sambil sarapan di rumah saat ada Alena, maka Sanjaya menurut untuk makan di tempat sambil video call dengan anak istrinya. "Ayo sarapan dulu," ajak Sanjaya pada Alena. "Makasih banyak ya, Mas. Aku jadi keenakan dong. Udah numpang tidur, masih dikasih sarapan juga," ucap Alena sambil memamerkan deretan gigi rapinya."Jangan dipikirin. Katanya mau jadi sugar baby aku? Masa dikasih sarapan nasi uduk aja mau sungkan?" godanya lebih berani dari biasanya. Alena tersipu sampai wajahnya memerah. 'Ah, sepertinya benar. Perangai aslinya mulai kelihatan begitu ada kenaikan level status hubungan seperti ini,' batin Alena dalam diam. 'Tapi kenapa bawa
"Beruntung tadi di jalan macet, jadi sampe sini udah gelap. Makin bagus pemandangannya.""Baru ini aku dengar orang habis kena macet tapi malah bilang beruntung," kekeh Sanjaya menanggapi ucapan Alena. "Setiap hal baik maupun hal buruk yang kita alami, pasti ada hikmah yang bisa disyukuri, Mas. Sekecil apapun itu," jelas Alena. Sanjaya mengangguk tanda setuju. Diam-diam menyukai cara berpikir Alena yang sangat bijak. Alena dan Sanjaya baru saja sampai di Sky Bar. Restoran yang terletak di lantai paling atas tepatnya lantai 8 dari Hotel Gran Senyiur, Balikpapan. Alena dan Sanjaya disambut ramah oleh pelayan restoran. Seperti biasanya, Sanjaya sudah bersiap dengan melakukan reservasi untuk mereka berdua. Sky Bar memiliki tempat yang strategis di tengah kota. Selain itu juga menarik karena berada di ketinggian. Dari tempat ini mereka bisa menikmati pemandangan malam Kota Balikpapan yang indah. Tempatnya juga nyaman dan menyenangkan. Penataan furniturnya sangat baik dan tertata rapi.
Alena berjalan perlahan menuju toilet sambil menundukkan pandangannya. Pikirannya sedikit kacau membayangkan malam ini akan tidur sekamar dengan Sanjaya di sebuah hotel mewah. Jika saat di kontrakannya semalam Sanjaya memilih untuk tidur sendiri di sofa, kali ini Alena yakin Sanjaya tidak akan berlaku demikian. 'Jelas Mas Jaya bakal perlakukan aku sebagai sugar baby sebagaimana status pura-pura ini. Terus aku harus gimana ini?' Alena merogoh ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Zahera saat di dalam toilet nanti. Tapi begitu di depan toilet khusus wanita itu, Alena dikejutkan dengan papan pengumuman jika toilet sedang rusak. Alena sudah akan berbalik badan dan mencari toilet lain tapi tangannya ditarik seseorang untuk masuk ke bilik kamar mandi tersebut. Alena terkejut hingga hampir saja berteriak untuk minta tolong. Namun setelah melihat siapa yang menariknya, Alena tidak jadi berteriak. "K-kamu? Kamu kok bisa ada di sini? Terus, kamu ngapain juga bawa aku ke toilet yang rusak
"Kok lama banget di toilet? Kamu beneran gak kenapa-kenapa kan? Takut kamu sakit perut karena gak cocok makanan di sini.""Gak kok, Mas. Aman. Yaudah yuk." Sanjaya menggandeng pinggang Alena supaya berjalan di sampingnya. Sejak hari ini, Sanjaya mulai terlihat agresif dan posesif. Alena yang sempat baper mendadak menjadi sedikit khawatir karena sudah tahu watak Sanjaya dari Zahera. 'Sekali buaya, tetap aja buaya. Bego banget aku sempat pikir dia tulus dan sayang beneran. Ternyata tetap saja nafsunya yang dinomorsatukan.'Menggunakan lift, Sanjaya membawa Alena menuju kamar dimana mereka akan menginap. Sebuah kamar hotel dengan fasilitas yang lengkap menyambut keduanya. Level waspada Alena meningkat setelah mereka berada di kamar hotel dengan pintu yang sudah dikunci oleh Sanjaya. Alena memutar kepalanya melakukan identifikasi pada ruangan mewah tersebut. Ada sebuah dispenser dengan perlengkapan membuat minuman seperti kopi, teh dan susu. Alena menjadi teringat akan obat yang dibe
Alena berjalan mondar mandir seperti setrikaan setelah bertelepon dengan Zahera barusan. Dia menjadi tidak tenang lagi karena usulan Zahera yang jelas menggelikan untuk dilakukannya. "Ya kali aku harus bikin tanda merah di badan Mas Jaya," erang Alena dengan suara lirih. "Tapi bener juga kata Mbak Zahera, kalau gak ada bekas apa-apa, gimana Mas Jaya percaya kalau semalam aku tidur sama dia." Alena memukuli kepalanya sendiri meski tidak sampai membuat kepalanya sakit. Itu dilakukan untuk menghalau rasa khawatir juga berharap dengan begitu kepalanya bisa memunculkan ide lain yang lebih ramah lingkungan. "Kalau tanda merahnya aku bikin dari make up, pasti bakalan ketahuan. Lagian pasti akan hilang kan waktu dibuat mandi." Entah dimana bagian otaknya yang biasanya sangat kritis dan kreatif. Alena yang biasanya cerdas dan cepat tanggap merasa bodoh untuk hal semacam ini.Suara ketukan di pintu kamarnya membuyarkan lamunan Alena. Berdiam sejenak memperkirakan siapa yang datang ke kamarny
Alena berdiri di depan cermin besar yang ada di kamar hotel Alvino. Ya. Setelah kejadian menyebalkan beberapa saat yang lalu, Alvino menariknya ke dalam kamar sebelah untuk bertukar tempat. Alena diminta tidur di kamar yang dia sewa, sedangkan Alvino sekamar dengan Sanjaya. "Arrrgh, Vino rese!" raungnya lagi. Jari Alena masih sibuk menyentuh satu persatu tanda merah yang dibuat Alvino di sekitar lehernya. Rasa gelenyar yang ditinggalkan pria dingin tersebut juga masih bertalu-talu di dalam dadanya. Ah, benarkah Alvino masih pria yang dingin itu? Setelah beberapa saat yang lalu sukses membuat panas seluruh saraf tubuh Alena. Alena jadi meragukan Alvino masih seperti Alvino yang dulu. Apalagi mengingat sebrutal apa saat Alvino mencumbunya tadi.Alena kembali memijat dahinya dan berjalan mundur hingga terduduk di tepi ranjang. Alena masih tidak percaya dengan apa yang baru saja Alvino lakukan padanya. Lebih tidak percaya lagi pada dirinya sendiri yang justru tidak menolak keberadaan A
Alena terjaga saat tangannya terasa kebas. Salah, bukan hanya kebas, tapi juga terasa basah. Alena membuka matanya yang terasa agak berat karena sebenarnya masih mengantuk. Dan pertama kali yang dilihatnya saat membuka mata adalah wajah Alvino yang tertidur berbantalkan telapak tangannya yang berada di dalam genggaman pria tersebut. Dahi Alena mengernyit. Dia tidak berani bergerak karena takut Alvino terbangun. Meski rasa kebas dan kesemutan sudah menjalar hingga bahu di kedua tangannya. 'Dia ngapain tidur di sini? Pakai bantalan tangan aku pula. Dan lagi sejak kapan juga dia ke sininya?' Alena melirik jam tangan yang dipakai Alvino. Dia teringat jam tangan itu adalah jam tangan yang pernah diberikan Alena sepuluh tahun yang lalu saat Alvino ulang tahun. Sedikit terkejut karena tidak menyangka Alvino masih memakainya. Apalagi saat itu Alvino terlihat cuek saja, seakan tidak menghargai pemberian darinya. Siapa sangka jika Alvino justru memakainya hingga sekarang. 'Kamu gak semiskin