“Berhenti!”
Lima orang pria bertopeng melompat dari pepohonan yang berdiri di kedua sisi jalan, mengadang kereta kuda yang dinaiki Kuranji dan Puti Tan.
Dua di antara mereka menyerang Kuranji dan Puti Tan. Tiga sisanya menghentikan laju kereta kuda.
“Aakh!” Kuranji jatuh terjengkang akibat tendangan yang menghantam dadanya.
Puti Tan, dengan kemampuan bela dirinya yang mumpuni, melesat tinggi dan mendarat di atas atap kereta.
“Siapa kalian!” hardik Puti Tan. Matanya yang bulat memancarkan hawa dingin.
“Hehe … cantik! Aku akui kau cukup hebat—”
“Berhenti basa-basi! Katakan, siapa kalian?! Dan apa mau kalian mengganggu perjalanan kami?!”
“Wah, wah! Jangan galak-galak, Nisanak!” Lelaki yang menyerang Puti Tan berdiri di atas punggung kuda dengan bersedekap tangan, seolah-olah ia tegak di atas permukaan datar. Matanya memicing, memindai sekujur tubuh Puti Tan. “Kelihatannya Nisanak bukan dari keluarga sembarangan. Kami tidak akan cari masalah, asal … kalian menyerahkan semua perbekalan itu kepada kami.”
Lelaki itu menunjuk tumpukan barang dalam kereta, kemudian mengalihkan jari telunjuk pada Kuranji. “Juga dia.”
Bias kekagetan dan kekhawatiran beriak dalam manik mata terang Puti Tan tatkala menyaksikan kedua lengan Kuranji dicekal oleh dua lelaki bertopeng yang bertubuh kekar. Mereka bukan lawan yang seimbang untuk Kuranji.
Tatapan khawatir itu hanya bertahan sekilas, lalu kembali tenang dan dingin, terarah pada pria di atas kuda.
“Apa hak kalian merampas milik kami?” Puti Tan melirik sesaat pada Kuranji. “Dia … manusia, bukan barang yang bisa kalian minta seenaknya.”
“Persetan dengan apa pun alasanmu, Nisanak!” tegas lelaki di atas kuda, menahan jengkel. “Kami akan mengambil semua yang kami inginkan. Kalau kau masih ingin hidup, sebaiknya kau bersikap patuh.”
Puti Tan berpikir sejenak, kemudian sampai pada sebuah keputusan. “Baiklah. Terserah kalian. Bawa saja tumpukan barang tak berguna itu! Tapi … tidak dengan dia.” Puti Tan menunjuk Kuranji dengan ayunan dagunya. “Langkahi dulu mayatku!”
Bersamaan dengan berakhirnya kalimat di bibirnya, Puti Tan mengibaskan selendang berwarna emas miliknya kepada dua lelaki yang mengapit Kuranji. Gerakannya cepat dan tak terduga.
Pemuda di atas kuda bahkan tak sempat melihat kapan Puti Tan melepaskan selendang yang membelit pinggangnya, atau mungkin dia yang terlalu tenggelam dalam pesona kecantikan Puti Tan hingga luput mengamati gerakan tangan gadis itu.
Dua lelaki bertopeng terpaksa melepaskan Kuranji demi menghindari serangan mendadak Puti Tan.
Melihat Kuranji nyaris tersungkur karena dorongan dua pria yang menyanderanya, Puti Tan bertindak gesit. Namun, sebelum jemarinya berhasil menyambar tubuh Kuranji, lelaki yang semula berdiri di atas kuda telah lebih dahulu menarik Kuranji dan melemparkan pemuda malang itu ke arah komplotannya.
“Bawa dia! Cepat!” titah lelaki itu sambil melompat tinggi, menghindari kibasan selendang emas Puti Tan.
“Lepaskan dia!” teriak Puti Tan, mengalihkan serangan pada dua orang lelaki yang siap membubung tinggi dengan mengapit Kuranji.
“Tidak semudah itu, Nisanak!” Kilatan kuning kemerahan dari ayunan cambuk memapas kibasan selendang emas Puti Tan, memaksa gadis itu untuk menarik mundur serangannya.
“Cambuk api,” gumam Puti Tan, mengenali senjata lawan.
“Ternyata kau berwawasan luas, Nisanak. Aku merasa tersanjung kau mengenali senjataku,” kekeh lelaki itu. Jemarinya bergerak membuka topeng yang menutupi wajahnya. “Kurasa … topeng ini sudah tidak berguna di hadapanmu.”
Seraut wajah bersih menampilkan seringai tipis. Sepersekian detik Puti Tan seakan terhipnotis oleh pesona lelaki itu. Rupa nan menawan dengan hidung yang mancung. Mata yang berwarna cokelat pekat dinaungi oleh helaian bulu mata yang panjang dan lentik, serta barisan alis yang hitam dan tebal, bak semut beriring. Bibir yang menampilkan seringai itu sungguh tipis, merah merona. Rahang yang kokoh dan tulang pipi yang menonjol tegas menampilkan fitur wajah 3D yang sempurna di mata setiap orang yang memandangnya.
‘Bagaimana bisa lelaki setampan ini menyia-nyiakan pesonanya dengan menjadi sosok penjahat?’ Puti Tan membatin kecewa, menyayangkan pilihan hidup lelaki itu.
“Kardit Masiak, tampang dan nama besarmu sebagai Pendekar Cambuk Api … sungguh tidak sesuai dengan perilakumu,” ejek Puti Tan setelah tersadar dari lenanya.
Netra pekat Kardit Masiak berkilat kaget. Untuk menutupi keterkejutannya, ia tertawa kecil.
“Nisanak, aku mengagumi kecerdasanmu. Kelihatannya kau sangat mengenalku.” Kardit Masiak memindai sekujur tubuh Puti Tan. “Tapi … aku merasa asing denganmu.”
Kardit Masiak mencondongkan tubuh ke depan. “Katakan … bagaimana kau bisa mengenaliku?” tanya Kardit Masiak setengah berbisik, mengingat jarak wajah mereka yang kurang dari sejengkal.
Walau merasa risi, Puti Tan tidak membiarkan lawan mengetahui bahwa dia merasa terintimidasi oleh tatapan lekat itu.
“Bukan urusanmu!” tegas Puti Tan diikuti dengan hantaman kuat pada dada Kardit Masiak, yang membuat lelaki itu terjajar mundur sejauh hampir tiga meter.
Di saat bersamaan, Puti Tan melesat, memburu Kuranji yang dibawa pergi.
Seringai geram bercampur kagum terbit di wajah Kardit Masiak ketika lelaki itu mengusap dadanya, sambil menatap ke titik di mana Puti Tan menghilang.
“Lumayan tangguh. Dia bahkan mengetahui identitasku. Siapa gadis itu?” gumam Kardit Masiak, merasa sedikit terusik dengan ilmu kanuragan dan wawasan Puti Tan.
Selama melanglang buana dan berbuat onar di dunia persilatan, belum pernah ia bertemu seseorang yang langsung mengenali jati dirinya pada pertemuan pertama. Orang-orang mungkin mengetahui julukannya sebagai Pendekar Cambuk Api, tapi tidak dengan nama aslinya.
Puti Tan sama sekali tak menyadari bahwa dia telah berhasil menggelitik rasa penasaran seorang Kardit Masiak. Gadis itu terlalu fokus memburu anak buah Pendekar Cambuk Api yang melarikan Kuranji.
“Berhenti!” teriak Puti Tan begitu matanya menangkap kelebat empat orang pria berjalan tergesa-gesa. Dua di antara mereka menyeret Kuranji yang tampak kelelahan.
Napas lelaki lemah itu tidak lagi beraturan. Butiran keringat membanjiri wajahnya, bahkan membasahi pakaian lusuhnya.
“P–Puti ….” Kuranji menoleh ke belakang, membeliak tak percaya. “Lari! Lari, Puti! Selamatkan dirimu!”
Saat itulah Puti Tan menyadari kondisi Kuranji. Tubuh pemuda itu penuh dengan bekas luka memar akibat pukulan. Bibirnya bonyok. Sebelah matanya membiru dan bengkak.
Walau ilmu bela dirinya tak seberapa, ototnya juga lemah bila dibandingkan dengan badan kekar anak buah Pendekar Cambuk Api, rupanya Kuranji tidak hanya bersikap pasrah pada nasib buruknya. Dia berusaha melawan agar bisa melarikan diri dari mereka. Namun, apa daya kekuatan dan kemampuan bela dirinya tidak sebanding dengan keempat lelaki gagah itu. Kuranji menjadi samsak hidup yang terlihat sangat menyedihkan.
Empat lelaki itu serentak menghentikan langkah dan berbalik. Tatapan nakal mereka seakan menelanjangi sekujur tubuh Puti Tan, disertai seringai melecehkan.
“Relakan saja laki-laki lemah ini, Nisanak. Kami tidak ingin menyakitimu, tapi ….” Tatapan nakal yang semakin liar memancar dari sepasang manik mata kelam lelaki di sisi kanan Kuranji. “Kalau kau mau menemaninya, kami akan dengan senang hati mengajakmu serta. Bagaimana?”
Godaan itu ditutup dengan kedipan mata si pria.
Gelegak amarah mendidih hingga ke ubun-ubun Puti Tan, dan semua itu tergambar jelas pada wajahnya yang merah padam.
“Biarkan mereka pergi!”Teriakan Kardit Masiak sambil melompat turun dari kereta kuda menghentikan langkah anak buahnya yang tengah memburu Puti Tan.Gadis itu berhasil merebut Kuranji dari tangan mereka setelah melakukan pertarungan sengit.“Sayang sekali,” timpal lelaki paling depan, kemudian berbalik lesu. “Walau tenaganya tidak terlalu kuat, setidaknya pemuda itu masih berguna untuk kita.”Kardit Masiak tak menyahut. Matanya menatap lurus ke depan, memancarkan kilat misterius yang luput dari pengamatan anak buahnya. Sementara jemarinya mengelus lembut sepotong sobekan kain berwarna merah. Kain itu dipungutnya dari permukaan tanah, tempat di mana Puti Tan bertarung.“Ayo kembali! Bawa pulang semua hasil rampasan hari ini!” titah Kardit Masiak kepada anak buahnya, lalu melesat tinggi tanpa menunggu tanggapan dari mereka dan mendarat di atas sebuah cabang pohon besar.Terseok-seok Puti Tan menyeret Kuranji. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan anak buah Kardit Masiak tak lagi
“Turunkan dia!” titah Kavland. Netranya berkilat sadis.Bunyi bergedebuk segera terdengar begitu perintah Kavland berakhir. Dua lelaki yang menggotong Kuranji mengempaskan tubuh benyai Kuranji tanpa rasa belas kasihan. Mereka bahkan tertawa kala Kuranji merintih kesakitan.“Kita apakan bocah ini?” tanya salah satu penggotong yang usianya tak jauh berbeda dengan Kuranji, tetapi ia selalu merasa Kuranji hanya anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.Kavland memutar badan. Berdiri dengan kaki setengah terbuka dan bersedekap tangan, ia mengamati sebuah lubang yang menganga lebar di depannya. Matanya sedikit memicing memperhatikan rumpun tanaman rambat yang menutupi sebagian celah lebar itu.“Kau yakin ini guanya?” tanya Kavland pada si mata licik yang berdiri di sebelah kirinya.“Tidak salah lagi! Pasti ini gua yang dihebohkan oleh orang-orang di dunia persilatan.”“Kelihatannya biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” timpal Kavland. Sebelah tangannya bergerak mengusap dagu. “Tidak ada jejak o
Lantai dan dinding gua bergetar hebat. Sebagian langit-langit gua bahkan runtuh, menjatuhkan hujan kepingan batu kapur.Kuranji terhuyung, terombang-ambing seperti batok kelapa yang mengambang di lautan.Ketika guncangan itu berhenti, Kuranji tersungkur dalam posisi merangkak.“Hati-hati dengan kekuatan suaramu, Anak Muda!”Seorang kakek berjubah putih berdiri sejauh dua meter dari Kuranji. Sekilas ia melirik pedang yang tergeletak di lantai, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Kuranji. Tangan kanannya menggenggam seuntai butiran tasbih. Sementara mulutnya tak henti komat-kamit. Entah kapan kakek petapa berjanggut panjang itu muncul. Refleks Kuranji menyambar pedang yang tadi dilemparnya. Ia bangkit seraya mengacungkan pedang itu kepada si kakek.“J-jangan mendekat!”Petapa tua itu tersenyum. “Jangan takut! Akulah yang telah merawat luka-lukamu.”Suara yang hangat dan tatapan mata yang teduh mengikis kecemasan Kuranji. Perlahan ia menurunkan pedangnya.Sesaat Kuranji memindai pen
Semburat berwarna jingga mulai membias di ufuk Barat. Semilir angin senja membelai lembut helai dedaunan yang menaungi Puti Tan.Puti Tan mendesah lesu. Duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tegak menjulang di tepi sungai. Sebelah kakinya terlipat, menyokong lengannya yang sibuk bermain-main dengan sepotong ranting di ujung jari. Tatapannya kosong, menyusuri liku sungai. Arusnya yang tenang seakan enggan bermuara menuju laut lepas, sama seperti hati Puti Tan yang terasa berat untuk beranjak dari tempat duduknya.“Puti Tan!”Suara seseorang yang memanggil namanya tak digubris oleh Puti Tan.“Aku mencarimu ke mana-mana. Syukurlah kau baik-baik saja. Ayo, pulang!”Puti Tan memutar bola mata dengan malas, melirik sekilas pada sosok lelaki yang berjalan mendekatinya.“Kembalilah, Kavland! Aku masih ingin di sini.”Kavland menyembunyikan kekesalannya karena penolakan Puti Tan di balik seulas senyum ramah yang dipaksakan.“Puti, Tuan Guru memintaku untuk mencarimu walau ke ujung dunia
“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman. “Aku—” “Kau terluka dan pingsan.” “Siapa kamu? Di mana ini?” “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan. Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya. “Aku ingin duduk.” Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang. Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas per
Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya. Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji. “Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.” Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.” Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.” Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar. Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji. “Runduih Ameh! Kuranji,
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar