Richard's
Ternyata Madame Louisa menghampiriku ke taman. Aku menunduk memberikan hormatku pada wanita ini.
Keadaan Madame Louisa juga tal terlalu baik.
Aku mengetahuinya setelah beberapa saat kembali kr istana untuk mengawal Pak tua. Perempuan ini bisa saja dijatuhi hukuman berat dengan tuduhan menyembunyikan keturunan raja. Hal yang dilakukannya untuk menolong seorang sahabat. Hukum kadang memang dibuat dengan pertimbangan yang matang, tapi dalam prakteknya, terkadang malah jadi lucu dan tak tepat guna. Tak berperasaan juga.
Dia memintaku untuk mengikutinya ke sebuah bangku di teras rumah sakit. Di sini lebih manusiawi dinginnya karena lebih terlindung dari terpaan angin akhir musim gugur. Musim dingin sebentar lagi akan tiba. Entah bagaimana caranya, in
Malam itu Daddy tak kembali ke istana dan menemaniku di rumah sakit hingga keesokan harinya. Ada Richard juga. Tapi pria itu lebih sering berada di luar daripada bergabung dengan kami di dalam kamar.Corrine sempat masuk lagi tadi ditemani Granny Louisa. Matanya masih bengkak dan sembab. Aku tak menyangka dia akan menangis seheboh itu hingga membuatnya terlihat kacau.Dia masuk untuk meminta maaf. Tentu saja aku memaafkannya. Dia terlihat benar - benar menyesal. Aku juga meminta maaf karena bersikap terlalu sensitif. Aku tau, kedengarannya picik menjadikan kondisiku saat ini sebagai alasan. Tapi aku biasanya tak terlalu peduli dengan omongan macam itu. Jadi satu - satunya yang mungkin bersalah atas tindakannya tadi adalah pasti karena kondisinya.Selanjutnya, Corrine pamit. Berdalih tak ingin mengganggu waktu berdua dengan Daddy. Dan dia juga tak ingin merusak suasana lagi. Granny Louisa juga ikut pamit, beliau bilang sia ingin menemani Corrine. Mungkin hanya pe
Aku akhirnya pulang dua minggu setelahnya. Tapi seperti biasa, aku tak diijinkan untuk beraktivitas terlalu berat. Aku sempat memohon pada dokter Giuseppe agar diberi keringanan, tapi dokter berambut kelabu itu hanya menjawab,"Jangan memforsir dirimu terlalu keras. Jika memungkinkan, dalam sehari mulailah aktivitasmu sebanyak tiga puluh persen saja. Lalu jika kau tak merasa kepayahan, kau bisa menambahnya sedikit demi sedikit secara bertahap." Aku mengangguk, meskipun masih sedikit bingung dengan bagian aktivitas sebanyak tiga puluh persen itu seperti apa. Tapi kemudian Dokter Giuseppe menepuk pundakku dan melanjutkan. "Tapi di sini kami perlu kau untuk bersikap amat supportive dan jujur, Mira. Kita semua di sini tak ada yang tahu sedahyat apa rasa sakit yang sedang kau alami selain dirimu sendiri. Untuk itu, kami ingin kau bekerja sama. Tetaplah pada koridor aman. Kami semua ingin kau tetap bersama kami untuk waktu yang lama, oke?"Dan semua perkataan Dokter Giuseppe
Richard'sAku menatapnya datar setelah dia mengatakan kalimatnya itu. Dia masih skeptis dengan posisi barunya, insecure apakah dia bisa melakukannya atau tidak. Dia memang terliha. Jauh lebih tenang sekarang, tapi bukan karena dia menerima, dia sedang menimbang dan mengukur kemampuannya.Itu bukan hal bagus. Dia seharusnya tak memikirkan hal itu. Bisa - bisa pemulihannya terhambat. Dia harus fokus pada kesehatannya saja."Kenapa kau menanyakannya?" Aku yang jengah kemudian berusaha mengalihkan pembicaraan."Ah iya. Kapan itu?""Setelah kau sembuh tentu saja.""Aku ingat aku meminta Daddy untuk memberikan tanggal pastinya agar aku punya jadwal untuk ditepati. Dan Daddy setuju. Daddy bilang, kau akan memberi tahuku hasilnya?"Aku menghela nafas dalam sekali. Sebenarnya Pak Tua itu sudah memberikan tanggal padaku. Tapi aku masih keberatan dan meminta untuk mempertimbangkannya lagi. Selama pelatihan, dia harus tinggal di istan
"So what are you saying, Princess?" Secara garis besar, dengan kalimatnya igu, Richard sudah mengatakan semuanya. Dia tertarik padaku, ya. Tapi apakah dia memiliki perasaan khusus untukku? Dia sendiri pun tak tahu. Dia hanya ingin menikmati waktunya denganku saat ini. Melakukan apa yang ingin dia lakukan bersamaku. Pikiranku masih kabur dan tak terlalu jernih. Dengan nafas terengah, jantung berdebar kencang dan wajah memanas seperti terbakar bara api. Aku berakhir tak mengatakan apa pun untuk menanggapinya. Kami masih terus bertatapan, membuat kondisi jantungku semakin tak karuan. Hingga akhirnya akulah yang pertama kali memutuskan kontak mata kami. Banyak sekali hal yang aku rasakan secara bersamaan saat ini. Senang, takut, sedikit kecewa, berharap dan banyak lainnya bercampur menjadi satu sehingga aku sendiri p
"Putusan untuk Madame Louisa dari Pengadilan Parlemen sudah turun, Monsieur." "Apa kata mereka?" Tanyaku. Pengawal tersebut tampak ragu - ragu, dan itu malah membuatku semakin tak sabar. Entah kenapa insting kuat yang sudah kuasah sejak dulu hari ini begitu tumpul. Melihat tatapan mata yang tampak tak fokus dan bergetar itu, kenapa aku tak memikirkan apa pun tentang sesuatu yang buruk sudah terjadi? "Katakan." Kataku lagi dengan nada tak sabar. Dia tampak menolah noleh ke sekitar rumah dan masih saja ragu - ragu. Itu membuat kesabaranku yang sedang tidak dalam kondisi primanya tersodok dan runtuh. Tepat sebelum amarahku meledak, pengawal itu berkata dengan nada menyesal yang sepertinya sungguh - sungguh, “Pardonnez
Kabar mengejutkan yang tiba - tiba itu membuat suasana maison jadi semakin mencekam. Tak ada yang pulang ke rumah. Daddy yang beberapa hari terakhir tak terlihat di rumah, semakin tak ada kabar. Begitupun Corrine dan Tante Milgueta.Aku memang jarang bertukar pesan dengan Daddy saat sedang bekerja. Aku tak terbiasa. Dengan Mama, aku diajarkan untuk mandiri dan membiarkan Mama menyelesaikan pekerjaannya di jam kerja, sehingga menghubungi saat seseorang sedang bekerja, konsep tersebut masih asing bagiku. Apalagi saat ini ponselku sedang disita sehingga aku tak mungkin bisa mengaksesnya.Untuk sekarang, tak adanya alat komunikasi bersamaku seperti ini mungkin adalah hal yang bagus. Jadi aku tak terlalu fokus pada hal - hal buruk yang sedang terjadi hari ini.Sepertinya seluruh karyawan dan pengawal yang ada di ru
Richard'sKabar yang mengejutkan. Amat sangat mengejutkan. Bahkan Brigitte sampai menangis tersedu saat mendengarnya. Mira hanya menangis sebentar, dia bahkan tak mau kupeluk untuk kutenangkan.Aku hanya berdiri di samping ranjangnya melihatnya tersedu. Dan saat dia selesai dengan tangisnya, dia memberikan ponselku dan memintaku untuk pergi dari kamarnya."Tugasmu sudah kau lakukan. Sekarang keluarlah. Aku janji tak akan melakukan sesuatu yang bodoh. Kemarilah lagi untuk menjemput saat makan malam tiba." kalimatnya yang dingin dan tak terjangkau itu yang memberi tahuku betapa hancur hatinya.Dia berusaha amat keras untuk tegar agar tak merepotkan orang - orang. Tapi tugas kami untuk menjaganya, dan bukan sebaliknya. Jadi aku lakukan sebisaku yang kupikir bisa mengh
Akhirnya tiba juga hari ini. Hari yang tak kunantikan, tapi kuharapkan cepat berlalu. Hari di mana aku akan masuk istana dan menjalani pelatihan sebagai seorang putri.Dua minggu terakhir kujalani dengan monoton. Bahkan saking monotonnya, aku seperti sedang menyetel auto pilot. Semuanya berjalan serba otomatis; bangun pagi, mandi, Richard menjemput, sarapan, membaca atau menggambar sampai makan siang, kemudian Richard akan menjemput lagi, dan aku akan makan siang di dapur bersama Richard dan Brigitte. Istirahat siang, dan sorenya aku akan bangun, membereskan tempat tidurku, sebenarnya ini dilarang Brigitte, tapi aku berdalih ini untuk melatih ototku agar tak kaku. Dan karena Brigitte tau seberapa kepala batunya aku, maka dia mengalah dan membiarkannya saja.Daddy, Corrine dan Tante Milguetta? Dua minggu ini mungkin aku hanya pernah melihat mereka tak lebi