Aku terbangun di ruangan serba putih dengan tekstur empuk dan lembut. Seperti permen kapas. Bukan. Seperti kapas. Ruangan apa lagi ini? Apa ada orang yang repot-repot membuat ruangan seperti ini? Membersihkannya akan makan waktu, tenaga dan emosi.
Tapi yang lebih mengherankanku, tubuhku. Tubuhku jauh terasa ringan dari sebelum-sebelumnya. Aku ingat aku merasakan sakit yang luar biasa sebelum pingsan tadi. Ah, maksudku kemarin. Bukan, sepertinya lusa. Argh! Persetan! Sejak Putra Mahkota menculikku, orientasi waktuku jadi benar-benar buruk!!!
Okay, jadi, dimana ini? Dan kenapa tubuhku terasa sehat dan baik-baik saja?
Tunggu! Aku…. Mati? Tapi kenapa tidak ada yang datang menemuiku? Seingatku sepasang malaikat akan menemuiku saat terbangun dari kubur dan….
“Karena kau be
Richard's Mira masih belum bangun juga. Pak tua sudah sempat berada di sini, dan sebelum dia bertemu dengan dokter dan mendengar langsung apa yang akan katakan tentang keadaan putrinya, Aku tidak punya pilihan lain selain berkata jujur pada Pak Tua. Kukira, setelah mendengar hal tersebut, dia akan histeris dan meradang marah hingga memakiku atau mungkin meraung sedih meratapi nasibnya yang seperti bermain - main dengan anak - anaknya, tapi yang kutakutkan sama sekali tidak terjadi. Dia menerima berita tersebut dengan amat tenang. Hal itu justru malah membuatku semakin tak enak karena sudah menyembunyikan fakta tersebut. Dia datang tak lama kemudian setelah aku sampai malam itu dengan menggendong Mira yang tak sadarkan diri. Dia datang bersama dengan Cedric. Berdiri diam di samping ranjang puterinya, menatao dengan pandangan mata yang tak mudah diartikan. He indeed loves her. Tidak peduli bagaimana Mira tumbuh, terlebih karena dia adalah anak dari perempuan yang amat
Aku memandangi langit - langit kamar rumah sakit. Belum genap setahun sejak aku datang ke sini, tapi sepertinya aku sering sekali menghabiskan waktu di tempat ini.Dokter sudah melepas respirator yang awalnya terpasang di mulutku. Dadaku sudah tidak sesak lagi, dan aku bernafas dengan normal. Aku lelah. Tubuhku seperti telah melakukan perjalanan panjang tapi aku tidak ingat apapun. Hal terakhir yang aku ingat adalah suara - suara dari balik pintu rumah itu. Apa si Putra Mahkota itu yang membawaku ke sini? Jadi akhirnya aku bebas?Mereka melakukan beberapa tes singkat padaku sebelum akhirnya keluar dan meninggalkanku sendiri. Tatapan matanya terlihat puas saat mengisi kuisioner di clipboard yang dibawanya. Jadi, bisa kusimpulkan kalau aku tidak terkena sesuatu yang serius."Mira."
“Aku belum… ehm, baiklah. Bonne nuit, Richard.” Aku tak menyelesaikan kalimatku saat sadar mungkin Richard tak ingin lebih lama di sini bersamaku. Bodohnya aku hahaha. Aku menggulingkan badanku menghadap ke samping memunggungi Richard. Aku tak ingin tertidur. Dari kemarin aku memohon pada dokter untuk diperbolehkan pulang. Aku sudah merasa pulih. Tidak se fit seperti sebelum - sebelumnya, tapi sudah merasa fit. Tapi tentu saja ide tersebut langsung ditolak oleh Daddy dan Granny. Meskipun selalu ditemani, karena tempatnya asing rasanya masih seperti sendirian. Apalagi, aku tak bisa kemana - mana, hanya bisa di atas tempat tidur saja dan itu mengingatkanku pada kamar di mana aku di sekap saat diculik. Aku tidak menyukainya. Aku ingin berada di tempat yang familiar, di kamarku, misalnya? Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak di malam hari. Sering terbangun tiba - tiba dengan perasaan cranky yang yak menyenangkan. Entahlah, rasanya seperti masih berada di ruangan itu. Pera
“Ada apa, Mira?” Aku bertanya karena sejak aku masuk, dia hanya melihatku sekilas saja. Dia bahkan berbicara tanpa menoleh padaku. Saat dia berbicara, dia akan menatap lawan bicaranya intense dengan mata indahnya itu. “Anything wrong?” “No, nothing. Tidak apa - apa." Dia menggeleng. Matanya masih menerawang ke luar jendela. Lalu dia menunjuk baki yang masih kubawa dan akan kutaruh di samping tempat tidurnya. "Terima kasih, Richard.” “Untuk?” “Itu." Dia menunjuk pada baki makanan yang masih berada di tanganku. "Dan Terima kasih karena sudah menjagaku.” “Tidak perlu, itu memag sudah tugasku, ingat?” *** “Tidak perlu, itu tugasku, ingat?” Benar. Baginya, aku hanya sebatas tugas. Mungkin jika aku beruntung, aku bisa menjadi teman, dan jika mungkin dia tertarik lebih jauh, dia bisa bermain - main sebentar denganku seperti ciuman saat itu, aku yakin, baginya itu hanya sekedar bonus. Sama sekali bukan hal yang serius, seperti yang aku
Untuk pertama kalinya seumur hidupku, akhirnya aku merasakan juga dimarahi oleh Daddy. Marah yang benar - benar marah. Dia merepet tentang aku yang tidak boleh pesimis, tak boleh putus harapan harus percaya bahwa aku akan sembuh dan segala macam lainnya. Dia memberiku alasan untuk sembuh dari a hingga z dan mehakinkanku bahwa aku akan segera sembuh. Meskipun aku sempat murung, sedikit takut dan kembali menangis saat dia mengomel, tapi dalam hati, Aku senang sekali. Amat sangat. Meskipun aku masih mempertahankan raut wajahku yang murung, bahkan sesekali masih sesunggukan sisa menangis tadi, di dalam hati aku sedang menari bersuka cita. Rasanya kali ini aku benar - benar punya Ayah. Ayah sungguhan, bukan cuma sosok yang hanya ku panggil Daddy. Ini adalah sosok yang benar - benar membuatku ada di dunia ini. Selama ini, aku memang merasa, meskipun hubungan kami kian dekat, tapi masih ada jarak yang tersisa antara aku dan Daddy. Bahkan setelah penculikan itu, entah
"Kenapa Putra Mahkota menculikku?" Segera setelah kalimat tanya tersebut terlontar, wajah Daddy yang awalnya rileks berubah tegang seketika. Perubahannya terlihat amat jelas sehingga tidak mungkin aku tak menyadarinya. Ada apa? Kenapa reaksinya seperti itu? Apa kali ini pertanyaanku terlalu sudah untuk dijawab? Walaupun hampir mustahil memang jika seorang Putra Mahkota menginginkan sesuatu dariku. Aku yang hanya seorang Mira Kirana. Aku punya apa memangnya yang dia tidak punya? Aku tidak punya apa - apa. Keluarga? Aku bahkan baru tau aku punya keluarga komplit setelah sembilan belas tahun berlalu. Itupun setelah Mama meninggal, jadi setelah yakin aku adalah seorang anak tanpa Ayah, sekarang aku adalah seorang piatu. Anak tanpa Ibu. Harta? Tahta? Ya Ampun, membayangkan saja sudah terasa menggelikan.
Keadaanku membaik dengan cepat. Tidak terlalu cepat, tapi dengan semua keterbatasan yang aku punya secara tiba - tiba saat ini, menurutku itu sebuah prestasi. Yang lambat itu adalah kembalinya kebebasanku. Sejak insiden penculikan yang ternyata sudah berlalu hampir sebulan, aku sekarang bahkan tidak diijinkan untuk melakukan latihan rutinku di luar pagar mansion. Awalnya masih boleh, di malam hari dengan penjagaan yang ketat. Aku sampai risih sendiri karena harus berlari dengan tak hanya satu, tapi kadang sampai tiga bodyguard yang mengawal. Tapi sekarang keluar gerbang bahkan tidak diijinkan lagi. Aku juga tidak diperbolehkan bertemu dengan Sonia, padahal rumahnya bahkan tak terlalu jauh dari mansion. Dia sudah pulang dari Cebu, dan saat dia datang ke mansion, dia tidak diperbolehkan bertemu denganku! Dan yang paling parah, akses yang kumiliki ke dunia luar semuanya diminta kembali. I have no phone no internet, nothing. Selain pengawal tambahan yang ditempatkan Daddy di rum
Sudah lewat waktu makan malam. Sedari tadi Brigitte dan beberapa pengawal lainnya yang ada di rumah sibuk berusaha untuk ‘membangunkanku’. Yap, mereka mengira aku sedang tertidur. Nyatanya, aku sama sekali tak tidur. Aku mendengar mereka yang mondar mandir di depan pintu kamarku yang sengaja kukunci dari dalam.Aku hanya sedang duduk di atas ranjangku memeluk lulut, dengan semua lampu kamar terpadam, dengan gorden dan jendela terbuka. Sedang memandang nyalang pada pepohonan dan langit luar yang mulai menggelap karena senja sudah lama pergi.Ingatanku masih memutar apa yang kudengar tadi siang. Kalau Daddy adalah pewaris kerajaan yang sah, lalu aku…? Ya Tuhan, dari mana semua mata rentai ini tersambung. Kenapa jadi sampai sejaun ini? Tapi seandainya itu tidak benar, tentu saja tidak akan disiarkan di saluran berita nasional kan? Iya, kan? Kala