Dila menyentuh kalung di lehernya sambil mendesah pelan. Wajahnya terlihat cemas dan gusar, tidak seperti biasanya.
Tarno yang menyadari kerisauan Dila, langsung bertanya padanya.
“Ada apa Dil? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Tarno sambil memandang Dila dari kaca depan.
“Eh, tidak papa, Yah.” Dila menjawab pelan sambil melempar pandangan keluar jendela.
Gadis kecil itu mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memandang kesibukan di pinggir jalan. Meskipun pikirannya tetap terfokus pada pesan ibunya tadi sebelum ia berangkat dengan ayahnya.
“Ingat Dil, pokoknya Kamu harus tetap bersikap tenang dan jangan pernah menunjukkan rasa gugup sama sekali. Kamu harus yakin dan percaya diri agar mereka tidak bisa membantah perkataanmu nanti,” pesan Susanti pada Dila sebelum berangkat tadi.
Dila menarik nafas panjang dan terus meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja jika ia mengikuti dan mel
Lastri dan Tarno berjalan menaiki tangga dalam diam. Suasana tegang menyelimuti sekitar sehingga tidak ada yang berbicara satu pun di antara mereka. Sungguh kontras dengan suasana saat di ruang makan tadi, yang ceria dan penuh kehangatan.Dila berjalan di belakang Tarno dengan perasaan cemas. Ia menunduk sambil meremas ujung kaos untuk menenangkan debaran jantung di dada yang berdetak tidak karuan. Tangannya berkeringat sangat banyak dan terasa dingin saat ini. Ujung-ujung jarinya bahkan sampai memutih karena cengkeraman tangan yang cukup kuat.“Bagaimana ini? Bagaimana kalau ketahuan nanti. Ayah pasti akan sangat marah padaku.” Dila sibuk menenangkan pikirannya yang kacau.“Tidak. Aku tidak boleh gugup. Seperti kata ibu, Aku harus bersikap tenang dan terus mengelak apa yang mereka tuduhkan nanti. Pokoknya Aku harus bisa menyangkalnya,” batin Dila sambil menggigit bibir bawahnya cukup kuat.Dila menarik nafas panjang. Lalu menghemb
Susanti sedang beristirahat di ruang tamu sambil menonton televisi saat mendengar suara mobil dari halaman. Ia langsung mengintip lewat jendela untuk melihat siapa yang datang.Saat melihat mobil sedan hitam yang tampak tidak asing, Susanti tampak kaget dan panik.“Itu kan mobilnya Lastri. Baru jam segini kok sudah datang. Biasanya juga sore. Apakah rencanaku gagal?” batin Lastri dalam hati.Saat melihat Tarno bersama anak-anak bergegas masuk ke rumah, Susanti langsung kembali duduk di ruang tamu. Berpura-pura menonton televisi dengan wajah datar dan menyembunyikan rasa panik dalam hati.“Assalamualaikum,” ucap Dila dan Dinda saat masuk ke dalam rumah.Tidak seperti biasanya yang langsung balik ke rumah setelah mengantar anak-anak, kali ini Tarno mampir terlebih dulu dan masuk ke rumah. Ada hal penting yang ingin dibahasnya dengan Susanti.“Waalaikumsalam,” jawab Susanti dengan memasang wajah berpura
Lastri menunggu kepulangan Tarno dengan perasaan tidak karuan. Ia merasa tidak enak karena sudah membuat Dila marah dan mengacaukan rencana mereka hari ini. Namun ia tetap yakin kalau kalung yang dipakai Dila tadi adalah kalung milik mendiang putrinya.Kini Lastri sudah ikhlas sepenuhnya meskipun harus kehilangan kalung itu selamanya. Mungkin ini teguran untuknya agar tidak terus terpaku pada masa lalu dan berfokus pada masa depan.Ada Dila dan Dinda serta Tarno yang kini akan selalu menemani hari-harinya. Meskipun ia tidak bisa bertemu dengan anak-anak setiap hari, tapi ia tidak pernah tidak memikirkan mereka berdua setiap hari.Dalam setiap doa yang ia panjatkan setelah habis salat, Lastri tak pernah lupa selalu menyebut nama Dila dan Dinda. Berdoa agar mereka berdua dilembutkan hatinya dan menerima kehadirannya secara tulus apa adanya.Lastri tidak berharap besar dan muluk-muluk. Ia ingin dipanggil dengan panggilan ibu atau bunda oleh Dila dan Dinda su
“Mau ke mana, Mas?” tanya Susanti saat melihat Joko bersiap-siap pergi dengan dandanan yang cukup rapi.Susanti baru saja selesai mempersiapkan dagangan untuk jualan sore ini. Ia sudah menata dengan rapi di meja dapur agar mempermudah mengangkut ke depan. Ia berniat merebahkan tubuh sejenak di atas kasur sebelum mandi saat melihat Joko menyemprot parfum ke baju.“Keluar,” jawab Joko singkat tanpa memandang Susanti. Ia mematut diri di depan kaca dengan tatapan puas setelah memastikan penampilannya sudah paripurna.“Sebenarnya kamu ke mana saja akhir-akhir ini, Mas? Kenapa kamu jadi sering sekali pergi keluar dan jadi jarang di rumah?” Susanti akhirnya tidak tahan lagi memendam perasaannya dan meluapkan semua rasa kesal dari hati.“Bukan urusanmu,” ketus Joko sambil memakai jaket kulit kesayangannya.“Mas, aku itu istrimu. Jadi aku berhak tahu kamu mau pergi ke mana atau dengan siapa,” keluh
Belum ada seminggu sejak Lastri menerima pesan notifikasi dari rekening yang dipegang Tarno terakhir kali, siang ini ia menerima pesan itu lagi. Sejumlah uang yang jumlahnya cukup banyak telah ditransfer Tarno ke Susanti.Diembuskannya nafas pelan sembari memandang layar ponsel yang masih menyala di tangan. Lastri memutuskan untuk membicarakan perihal ini secepatnya dengan Tarno. Dengan mata terpejam, ia memijit kening pelan sambil memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan suaminya nanti.Rupanya ini hal yang dilakukan Tarno saat mengatakan mau keluar tadi. Lelaki itu sempat menawari Lastri apakah ada sesuatu yang hendak dibeli karena mau keluar.Lastri hanya menggeleng karena memang tidak membutuhkan apa pun dan sedang tidak ingin makan apa-apa. Perutnya masih kenyang karena baru saja makan siang dengan semangkok bakso yang ia beli dari penjual bakso keliling.“Aku harus membicarakan masalah ini dengan Mas Tarno secepatnya,&rd
Susanti membanting ponsel yang dipegang ke atas kasur dengan kasar saat membaca pesan balasan dari Tarno.“Sialan. Kenapa jadi seperti ini,” umpat Susanti kesal.Tadi Susanti mengirim pesan pada mantan suaminya tersebut. Meminta padanya untuk mengirimkan uang dengan alasan untuk membeli sepatu sekolah Dinda yang sudah kekecilan dan tidak muat lagi dipakai. Ia sudah tersenyum membayangkan jumlah uang yang akan dikirimkan Tarno padanya.Saat ponselnya berbunyi, ia mengira bahwa Tarno mengirim foto struk seperti biasanya. Namun ternyata perkiraannya meleset.[Besok Minggu biar kubelikan sendiri sepatunya sekalian jalan-jalan ke mall. Sudah lama aku tidak pergi belanja bersama anak-anak] balas Tarno.Setelah berpikir sejenak, Susanti segera mengambil ponsel yang dibanting di kasur lalu mengetik pesan balasan.[Tapi Dila besok minggu ada acara, Mas. Dan sepatunya butuh cepat karena kaki Dinda jadi terluka karena memakai sepatu kekecil
Awalnya Dila sempat menolak saat mengetahui rencana Susanti. Ia sudah kapok dan berjanji tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.“Tidak, aku tidak mau. Ibu tahu sendiri kan? Bahkan untuk menginap di rumah wanita tersebut aku masih takut,” tolak Dila setelah mendengarkan permintaan Susanti.“Dil, ibu terpaksa melakukan ini. Kamu nggak kasihan sama ibu? Mau kita jualan gorengan lagi?” Suara Susanti yang memelas menggetarkan hati Dila yang lembut. Ditambah wajah memohon yang ditampakkan Susanti dengan mata berkaca-kaca. Membuat gadis kecil itu tidak berkutik dan tidak bisa menolak lagi.Dila terdiam sejenak. Menimbang-nimbang lagi rencana yang disebutkan Susanti, baik dan buruknya.Dila sudah cukup dewasa, ia sudah paham mana perbuatan baik dan buruk. Namun, saat terdesak oleh keadaan, gadis kecil itu bisa apa.Apalagi saat melihat orang yang dikasihi dan disayanginya terlihat menderita dan putus asa. Mendengar perkataan berj
“Apakah Kamu butuh sesuatu? Atau sudah lapar?” tanya Lastri sambil berjalan mendekat pada Dila.“Eh ... Aku baru saja dari kamar mandi,” jawab Dila dengan gugup. Ia berbalik untuk melihat Lastri yang tengah tersenyum menatapnya.“Aku mau ke kamar dulu,” imbuh Dila lirih.Tidak ingin berlama-lama berdua saja dengan Lastri, Dila segera berjalan menuju kamar yang ditempatinya karena Lastri tidak mengatakan apa pun setelahnya.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum dan membatin dalam hati, “Apakah Dila masih marah padaku? Kenapa dia tidak mau menatap mataku saat berbicara denganku.”“Sepertinya wanita itu tidak melihatku keluar dari kamarnya. Buktinya dia diam saja, tidak mengatakan apa pun tadi. Atau ada sesuatu yang direncanakannya?” pikir Dila sambil berjalan dengan cepat.Ternyata hal yang ditakutkan Dila tidak terjadi. Lastri tidak membahas atau menanyakan apa pun mengenai ia yan