"Aldi, bagaimana bisa kau bisa mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah pena?” tanya Rayhan sambil melirik MonteGrappa di tangan Aldi yang baru saja dia pakai untuk menandatangani tagihan RS. “ Dimana Sasha?” lanjut Rayhan saat tersadar kalau pena Aldi telanjang karena body nya masih dipegang Sasha saat menolongnya untuk bernafas.
“Aku akan mencarinya,” kata Aldi “Simpan ini, jaga-jaga kau terlalu banyak bicara.” Sambil tertawa, Aldi memberikan penanya pada Rayhan.Di Luar ruangan Aldi melihat Sasha seperti kebingungan karena gagal mendapatkan penerbangan buat hari itu. Berkali-kali Sasha menelepon maskapai penerbangan, mencari jadwal hari ini, tapi selalu gagal. Dia langsung menghampirinya untuk menawarkan bantuan. “Aku sungguh minta maaf, kau ketinggalan pesawat gara-gara kita. Jika kau izinkan, aku bisa membantumu kembali ke Indonesia hari ini,” ujar Aldi dengan santun.
Sasha menyambut tawaran Aldi dengan suka cita. “Silahkan…” jawab Sasha.
Aldi mengajak Sasha untuk kembali ke Indonesia menggunakan jet pribadi nya. Tentu saja hal ini disambut baik oleh Sasha karena dia sangat ingin pulang dan tak mau mengecewakan Emir.
Pesawat hanya ditumpang Rayhan, Aldi dan Sasha. Aldi yang duduk tepat di depan Sasha sekilas melirik tas belanja yang dia bawa. Sedikit kaget juga bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana bisa buku yang ingin dia beli di toko buku bisa ada di tas Sasha. Aldi masih sungkan bertanya, dia tidak mau wanita cantik yang sudah menyelamatkan nyawa sahabatnya ini menjadi canggung, karena diberi pertanyaan yang aneh.
Sebelum pesawat berangkat, Aldi menerima telepon dari Nisa, asisten pribadi sekaligus psikiater Feyza Erlangga, adik perempuan Aldi.
“Pak, apakah kau sudah mendarat?” tanya Nisa.
“Tidak, kita belum lepas landas. Kurasa kita akan sedikit terlambat hadir makan malam ini…” Aldi mengabarkan kondisi terakhirnya di Italia kepada Nisa.
“Jangan bilang kau tidak bisa datang. Sudah begitu banyak persiapan, aku bekerja sangat keras…”
Praaang…
Aldi dengan jelas mendengar suara barang pecah di seberang sana. Membuat Nisa berhenti bicara. “Nisa, apakah kamu di sana?”
“Pak Aldi, bisa saya hubungi nanti? disini ada masalah kecil tentang adikmu, seperti biasa. Tapi tolong coba datang makan malam nanti ya.” Dari parkiran, Nisa menatap jendela di kamar lantai dua dimana baru saja sebuah vas bunga hampir mengenai dia, pecah berserakan dihadapannya. Teriakan Feyza jelas terdengar di dalam rumah, sesaat setelah Nisa menyimpan tas nya lalu naik ke lantai dua. “Aku tidak tahan lagi ... aku tidak mau!”
“Bu Feyza, tenanglah…” Marini, pelayan kepercayaan keluarga mereka mencoba menenangkan tuannya yang sedang mengamuk di dalam kamar.
Tn. Farouk Erlangga...ayah Aldi dan Feyza ikut khawatir. Dia takut Feyza melakukan hal yang membahayakan dirinya karena mengunci kamarnya sendirian. Telepon dari sekretaris kantor nya tidak terlalu menjadi perhatiannya.
“Kita akan bicara nanti, Agus,” ujar Tn. Farouk sambil mondar mandir di depan kamar Feyza.
“Tapi ini sangat penting, Pak!” Agus memaksa berbicara.
“Sebentar Agus!” Tn. Farouk menggedor kamar anaknya. “Feyza! apa yang sedang kamu lakukan?”
“Cukup! Aku tidak tahan lagi!” teriakan Feyza makin terdengar lebih keras bersamaan dengan suara pecahan barang-barang yang dia lemparkan.
“Pak Farouk…” suara Agus di telepon memanggilnya. “Ada apa, Agus?” bentak Tn. Farouk. “Tidak bisakah kau menunggu sebentar?”
“Pak, Tn. Aldi seharusnya bertemu dengan calon pbeli dari Inggris. Tapi…”
“Tidak ada yang dibatalkan! Aku akandatang, aku akan menelponmu sebentar lagi!” Tn. Farouk menutup telponnya.
“Tuan, tak apa...aku akan mengurus Feyza.” ujar Nisa sambil menghampiri kamarnya. “Feyza tolong buka pintunya.” Nisa mengetuk pintu kamar Feyza.
“Tolong, Tinggalkan aku sendiri,” jawab Feyza sambil melemparkan gelas ke pintu kamarnya.
“Feyza dengar, kau tahu aku bisa membuka pintu ini jika aku mau. Tapi aku ingin kau membukanya!”
Terdengar dari dalam, Feyza membuka kunci kamarnya. Dia membiarkan Nisa masuk ke kamarnya.
Feyza duduk saja di atas ranjangnya, sedangkan Nisa mulai membereskan pakaian Feyza yang berserakan.
“Aku tidak tahu mengapa aku melakukan apa yang kamu inginkan.”
“Karena aku dibayar untuk itu. Feyza, kenapa kamu bertingkah seperti ini? apakah kita akan kembali ke awal?” dengan sabar Nisa bertanya pada Feyza.
“Kita dimana?” Feyza malah balik bertanya. “Tidak ada yang berubah untukku. Tidak akan ada.” Sebuah foto bergambar anak laki-laki berusia 6 tahun kini si genggamannya.
Nisa berjalan menghampiri meja di sudut kamar. Lantas membuka tempat obat, dia mendapati obatnya masih utuh. “Jika kau tak meminum obatnya, kau akan terus merasa seperti ini.” Ujar Nisa.
“Obatnya membuatku pusing.” Feyza berkilah. Sebenarnya obat itu membuatku tidak merasakan apa-apa. Aku bahkan tidak bisa mengingat rasa sakitku. Kehilanganku...Bagaimana aku bisa melupakan kejadian itu?” air mata Feyza mulai meleleh di pipinya.
“Feyza, cukup. Dengar, jika kau ingin aku membantumu, kau harus berusaha. Tidak ada dokter yang memiliki tongkat ajaib. Jika kau bilang bahwa kau bahagia seperti ini, aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali.” Nisa segera berdiri lalu berjalan ke arah pintu.
“Berhenti!” Teriak Feyza “Tolong jangan pergi.”
Nisa berbalik lantas merangkul Feyza. “Feyza, tolong singkirkan psikologis menjadi korban. Kamu bukan satu-satunya wanita yang kehilangan anaknya. Jika kau minum obat, obat itu akan membantumu. Ayo, berdiri, siap-siap, cari udara segar...kau akan merasa lebih baik.”
***
Aisya, ibu Sasha sedang berkunjung ke rumah anaknya. Dia ingin menyambut kepulangan Sasha dengan membuat masakan kesukaannya. Di dapur dia dibantu oleh Fatima. Ibu Emir yang tinggal bersama mereka. “Sasha kan punya piring panjang. Aku tidak bisa menemukannya,” kata Aisya.
“Saya meletakkannya tepat di sebelah piring lainnya,” jawab Fatima sambil menunjuk lemari di dapurnya. Aisya duduk di meja makan mempersiapkan peralatan makan, Fatima mengikutinya dari belakang.
“Nyonya Aisya..”
“Iya.”
“Apakah ada perkembangan mengenai hal pekerjaan saya?” Fatima mengharapkan jawaban yang menyenangkan dari besannya.
“Sayangnya Fatima, belum ada kabar sampai saat ini. Maksud saya itu sangat sulit di kondisi anda. Apa masalahnya? apakah pekerjaan Emir belum membaik?” tanya Aisya.
“Mereka bisa bertahan. tetapi dengan biaya kuliah Joyce…” Fatima tidak melanjutkan ucapannya.
“Kau seharusnya tidak mengirimnya ke sekolah swasta, Fatima. Sulit untuk terus seperti ini. Sasha sangat sibuk, kamu sakit dan kau sedang mencari pekerjaan.
Emir tiba-tiba datang lalu duduk di meja makan. “Ada apa? kenapa ibu tampak sedih?” tanya Emir pada ibunya.
“Bagaimana kau bisa masuk begitu tenang seperti pencuri?” Aisya mencoba mengalihkan perhatian Emir dari kekalutan yang Fatima perlihatkan. “Apa yang kamu lakukan di rumah sepagi ini?”
“Aku lelah, aku pulang untuk tidur, apa yang sedang ibu lakukan?” Emir mempertanyakan kedatangan Aisya ke rumahnya.
“Kami sedang mempersiapkan sesuatu untuk kepulangan Sasha…”
“Ini sedikit rumit. Sasha ketinggalan pesawat,” jawab Emir dengan wajah kecewa lalu dia segera pergi ke kamarnya.
Sebelum pesawat lepas landas, ponsel Sasha kembali berbunyi. Alvin kembali menghubunginya berkenaan dengan Diva, pasien kecil Sasha yang menderita kelainan ginjal. Menurut Alvin, demam Diva sudah diatas normal hingga 41 derajat dan mengharuskan dia diselimuti selimut dingin. Sasha menyuruh Alvin mencari luka di tubuh Diva dan membuangnya.Setelah selesai memberi pengarahan pada Alvin. Sasha menghubungi Emir dan mengabarkan berita gembira bahwa dia akan pulang hari itu juga.“Aku harap itu tidak mendesak.” Rayhan berkomentar setelah Sasha menutup teleponnya.“Semoga kita tidak terlambat,” cetus Sasha dengan wajah yang sangat khawatir.***Disaat Aldi sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Agus, sebagai orang kepercayaan keluarga Erlangga, dia mencoba meyakinkan klien besar nya untuk bersedia bertemu dengan Tn Farouk sebagai ketidakhadiran Aldi. Untung saja hari itu Mr. William menerima kehadiran Tn Farouk dan negosiasi pun berjalan
Makan malam yang sudah dipersiapkan Aisya untuk anaknya telah terhidang di atas meja. Sementara itu di ruangan lain, Fatima sibuk bertanya pada Joice darimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli tas barunya. Sasha yang tidak langsung ke rumah tapi malah pergi ke RS melihat kondisi Diva, kembali menelepon Emir, menyuruh dan ibunya nya agar makan malam duluan karena Sasha masih harus memastikan keadaan Diva baik-baik saja.“Aku mengerti, akung...Tapi hanya karena kau datang, mereka telah melakukan banyak persiapan...itu tidak sopan.”“Apa yang terjadi?” tanya Aisya pada menantunya.“Dia harus pergi ke rumah sakit,” singkat Emir menjawab. “Ayo mulai. Ayo, Bu….” Emir mengajak ibu, ibu mertua nya makan malam duluan.***Suasana persiapan makan malam keluarga di rumah keluarga Erlangga juga tampak tidak terlalu menyenangkan. Sementara semua asisten rumah tangga mempersiapkan makanan. Tampak mereka sedikit
Sebelum kembali ke rumahnya tak lupa Nisa juga mampir ke tempat Aldi Erlangga. Dia mencoba meyakinkan Aldi untuk tidak mundur dengan usahanya menjalin lagi kedekatan bersama Feyza dan Ayahnya.“Pak Aldi, aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa bantuan Anda,” tutur Feyza.“Lihat, kamu bersikeras dan aku datang ke makan malam itu. Apakah ada yang berubah?,” Nada suara Aldi sedikit putus asa.“Tetapi Anda tidak boleh menyerah begitu saja. Dengar, kita rayakan ulang tahunmu. Ini adalah kesempatan besar untuk keluarga berkumpul. Anda dapat berbicara dengan Feyza di sana.” Nisa memberi usul agar Aldi mau merayakan ultahnya yang hanya beberapa bulan lagi.“Merayakan ulang tahun dan konfrontasi. Dua kata yang tak berarti dalam hidupku,” sanggah Aldi.“Mungkin Anda harus menghadapi diri sendiri terlebih dahulu.”“Maaf tapi aku tidak butuh terapi. Jika aku membutuhkannya, aku akan memberitahumu.”“Sebaiknya aku pergi….” Nisa beranjak dari sofa mewah di kediaman Aldi. “Teri
ruDea baru saja selesai mempersiapkan makanan untuk anaknya. Buah potong yang diberi susu adalah cemilan favorit Kevin disela-sela waktu makan dia.Kevin merasa keheranan karena beberapa minggu ini ibunya selalu berada di rumah. Dia langsung bertanya. “Apakah kau tidak akan bekerja lagi, Bu?”“Tidak, ibu tidak kerja lagi sayang,” jawab Dea.“Hore! Kita selalu akan bersama terus,” teriak Kevin kegirangan.” Dea tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Kevin meneruskan makan cemilan buahnya dengan sangat lahap. Dea kemudian dia berdiri mengambil ponselnya. Diam sejenak karena ragu dengan apa yang akan dia kerjakan. Dia pandangi lagi kontak yang akan dia hubungi. “Baba” seketika air mata menetes di wajahnya yang pucat. Akankah ayahnya mau bicara dengannya? Bagaimana jika Baba masih marah padanya? Tanpa berfikir lagi Dea langsung menghubungi Baba.Terdengar suara seorang laki-laki tua, suara yang begitu Dea kenal. Karena laki-laki itu teramat dia cintai dan dia hormati.
Sasha masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit Emir juga menyusul masuk ke dalam rumah. Raut wajah Emir sudah tidak bagus. Sasha tetap menyambut Emir dengan suka cita.“Selamat datang sayang. Bagaimana malammu? kau mabuk ya? tahan, biarkan aku membuatkanmu kopi dan menyadarkanmu,” sahut Sasha“Siapa pria yang mengantarmu pulang?” pertanyaan dengan nada suara yang tinggi Emir langsung to the poin.“Aku sudah memberitahumu tentang dia. Dia adalah teman dari orang yang jatuh sakit di Italia. Jika kau sudah melihat kami tadi diluar kenapa kamu tidak menyapa?” Sasha balik bertanya sambil mengernyitkan dahinya.“Mengapa aku harus datang dan menyapa?” Emir mengelak “Apa yang dilakukan teman pria itu saat makan malam?”“Dia adalah temannya, dia mengundangnya juga. Haruskah aku bertanya mengapa dia mengundangnya?” Sasha merasa Emir terlalu memojokkan dia.“Iya!” cetus Emir.“Kamu serius?” mata Sasha yang bulat kini terbelalak seakan tidak mengenal pria yang kini berdi
Dor…Terdengar suara letusan senjata dari dalam gedung hotel. Tak berapa lama kemudian mobil polisi dan ambulans berdatangan. Kevin yang sempat ketiduran di dalam mobil Aldi terbangun dan mulai keluar mencari ibunya.“Ibu? Ibu … “ Kevin memanggil manggil Dea.Ibrahim yang berdiri tak jauh dari sana. Langsung menggendong Kevin dan kembali masuk ke dalam mobil.“Ayo ayo.” Ibrahim menenangkan Kevin.“Biarkan aku pergi! Aku ingin bersama ibuku!” Teriak Kevin“Tidak, ayo, ayo pergi.” Bujuk Ibrahim pada Kevin.“Ibuku sedang bermain game di dalam,” rengek Kevin.“Mari sini… Setahuku kau suka mobil, lihat ini mobilku,” Ibrahim berusaha mengalihkan perhatian Kevin yang terus-menerus menanyakan ibunya.“Apakah ini milikmu?” Kevin mulai tertarik pada mobil Aldi.“Ya, ini mobil ku. Ayolah mari kita pergi melihatnya.” Ibrahim menahan Kevin agar tidak mengetahui tubuh ibunya sedang dibawa ke ambulans.“Ibuku menyuruhku untuk tinggal di mobil ini,” ujar Kevin.“
Hasan masih kebingungan kenapa dia bisa dipanggil ke kantor polisi. Kali ini dia dipanggil masuk untuk berbicara langsung dengan kepala polisi.“Silahkan duduk pak, saya Kompol Irawan. Apakah benar anda ayah dari Dealina Yilmaz?“Ya, petugas.” Jawab Hasan. “Apa yang terjadi? katakan saja.” Hasan balik bertanya.“Sayangnya, saya punya kabar buruk. Putri anda telah meninggal dunia. Saya sangat minta maaf. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi ... saya ingin anda mengidentifikasi foto-foto ini. Apakah ini anak perempuanmu?” Kepala polisi memberikan foto Dea pada Hasan dengan posisi yang masih sama saat dia menembak dadanya sendiri. “Tubuhnya ada di rumah sakit untuk otopsi. Besok dia bisa dibawa olehmu,” lanjut kepala polisi. “Ngomong-ngomong, ada seorang anak. Cucumu. Anda juga perlu merawatnya. Saya akan membuat laporan resmi. Dan kemudian saya akan membawa anak itu kepada anda.”Lamunan Hasan kembali ke saat dia mengusir Dea dan Kevin dari rumahnya. Bibirnya bergetar, hati
Setibanya Sasha di rumah Hasan, Kevin yang kebetulan sudah tertidur lelap digendong oleh Emir yang membawanya ke dalam mengikuti langkah Hasan. Hanum, istri Hasan langsung mempersiapkan sofa depan untuk tidur Kevin. Dengan perlahan Emir merebahkan Kevin diatas sofa itu. Setelah yakin Kevin sudah nyaman di rumah Hasan. Sasha langsung berpamitan untuk pulang.“Sekali lagi, saya sangat menyesal atas kehilangan anda. Biarkan saya memberikan kartu nama saya. Jika anda butuh sesuatu, atau jika ada sesuatu yang anda pikirkan, silakan hubungi saya.” Sasha memberikan kartu namanya pada Hasan.“Terima kasih,” ucap Hasan.Sesampainya di rumah, Sasha dan Emir langsung mandi dan duduk bersantai sejenak di ruang keluarga. Tiba-tiba Aisya yang rumahnya memang bersebelahan dengan rumah mereka datang melihat keadaan Emir dan Sasha.“Wow. Wanita itu meninggal, kan? Dan semua ini terjadi di depan matamu?” kepo Aisya mulai kumat.“Bu, kami mengalami waktu yang sangat buruk malam ini. Dan