Jika semua orang berlomba untuk menjadi cantik, maka bagiku kencantikan itu sebuah kutukan.
Aku---Delisha Makara, seorang gadis cantik bagi orang lain dan semua orang yang dengan visualnya memandangku secara fisik.
Jika, ada di sebuah keluarga anak tercantik menjadi sebuah anugerah yang disanjung oleh anggota keluarga dan menjadi mahkota dan emas di keluarganya, dan itu tidak terjadi padaku. Kecantikanku membawa kutukan bagiku. Aku dibenci keluargaku sendiri, hanya karena fisikku sempurna jika dilihat orang-orang padahal aku hanyalah gadis cacat yang penuh kekurangan kasih sayang.
Aku adalah anak yang lahir tanpa direncanakan. Papa dan Mama berencana hanya memiliki satu putri di kerajaan mereka dan aku hadir tanpa ada yang menunggunya. Saat aku sudah mengerti dengan keadaan sekitar, aku sadar bahwa perlakukan Mama dan Papa terhadapku dan Kak Geisha Sakara sangat berbeda. Kak Geisha sangat cerdas, dan banyak mempunyai bakat. Sedangkan aku ... aku hanya dipandang sebagai gadis pembawa sial yang tidak diinginkan sama sekali.
Aku sedang mengintip di balik jendela Mama dan Papa yang sedang bermain bersama adikku Meisha Nakara. Jika aku gadis yang tidak dinginkan maka kelahiran Meisha ke dunia sangat disambut baik oleh mereka.
"Papa ... Memei mau makan apel."
"Lisha ... ambil apel untuk adikmu. Cepat! Kupas kulitnya." teriak Mama. Terkadang teriakan ini aku abaikan, dan berpura-pura tidak mendengar tetapi Mama akan masuk ke kamarku dengan membanting pintu sekuat mungkin dan menjambak rambutku, dan membantingku berkali-kali ke lantai.
"Lisha!! Kamu dengar ... cepat!" aku yang memandang keluarga itu iri dan bergegas ke dapur sebelum rambutku botak karena dijambak bahkan ditampar.
Aku membuka kulkas dan mengambil tiga butir apel merah dan mulai mengupasnya.
"Kak Lisha ... pake mayonaise." teriak Meisha dari luar. Kebiasaan ia dimanja, Meisha jadi tidak sopan padaku dan jadi anak yang bossy. Sedangkan Geisha dengan sifat cuek dan sinisnya, tapi sekali berbicara mulutnya sangat tajam.
Aku yang sedang mengupas dengan terburu-buru, tanpa sengaja mengiris tanganku dan melihat ke bawah piring sudah ada beberapa gumpal darah di aple tersebut. Aku mencuci tanganku di sink dan kembali mengupas apel dengan cepat. Karena jika satu teriakan lagi dari Meisha maka giliran Mama masuk ke dalam dan memaki-maki aku.
"Lisha ... kenapa apelnya sampai ada darah! Nggak ikhlas kamu kerja? Baru juga segitu aja. Anak tak tahu terima kasih!" teriak Mama aku hanya meringis karena saat sadar, rambutku sudah ditarik kuat dan Mama menyeretku mendekat ke tembok.
"Anak sialan! Kenapa nggak mati aja? Kerja segitu aja nggak becus!" aku hanya meringis ketika berkali-kali Mama membenturkan kepalaku ke tembok.
"Selalu aja kerja tak ikhlas! Kalau nggak mau kerja bilang! Tidur di luar sana. Jadi pelacur ... ngangkang dapat banyak duit. Banyak yang muji cantik, dan kamu bisa tidur sama om-om perut buncit!" tubuhku sudah melemah dan merosot ke bawah. Dalam sekali tarikan rambut Mama membantingku lagi ke belakang. Aku bisa memastikan kepalaku benjol sekarang karena dorongan Mama yang begitu kuat. Aku benci memangis sebenarnya, tapi tak ada yang bisa kulakulan selain mengeluarkan cairan bening tersebut.
"Makan nih!"
Prang!!!
Piring kecil yang aku pakai untuk mengupas kulit apel tadi berhamburan seketika.
"Bereskan semuanya." Mama pergi dengan mengambil apel baru di kulkas dan membawa pisau dan juga mayonaise seperti pesanan Meisha.
Aku melihat pecahan piring berwarna putih tersebut, tanganku terulur untuk memungutnya tanpa sadar, tanganku tergores lagi. Tapi kali ini, tak ada rasa sakit dan perih yang kurasakan. Mataku menangkap pecahan yang lebih besar, aku mendekati pecahan tersebut dan menggenggam dengan begitu kuat. Melihat darah yang mengalir lebih deras dan kental ada kepuasan tersendiri, setelah darahku habis aku bisa mati secepatnya.
Aku membawa belingan tajam itu ke atas lenganku yang putih dan mulus. Awalnya aku mengores sedikit, darah mulai mencuat. Ahhh ... puas sekali.
Aku mulai mengaris lebih panjang lagi dan darah yang mengalir lebih deras. Kali ini, aku menancapkan lebih dalam dan menariknya lagi. Puas! Mungkin, ini bisa aku lakukan di saat aku sedang butuh pelarian.Aku sudah menemukan kebahagianku sekarang. Aku sama sekali tak merasakan kesakitan saat beling itu mengores lengan kiri. Karena, rasa sakit yang kuterima setiap saat membuat tubuhku mati rasa.
Setelah darah berhenti mengalir, aku mulai membersihkan kekacaun yang Mama buat. Dan aku akan mengurung di kamar, jika aku hanya di kamar aku akan dikatai pemalas. Anak tak tahu diuntung, jika aku di luar kamar. Mereka semua akan membenciku! Apalagi melihat wajahku. Katanya, wajah pembawa sial.
Setelah membuang pecahan beling di tong sampah, aku tetap membawa pecahan beling yang tajam untuk bermain-main dengan tubuhku. Agar tak lagi merasakan kesakitan.
Ahhh ... aku menemukan kebahagianku sendiri.
______________________________________Tentu kalian masih ingat, kecantikan ini musibah bagiku. Maka, itu berlaku itu berlaku bukan hanya di rumah tapi di sekolah.
Jika seorang gadis cantik menjadi idola dan disanjung maka, aku dijauhi. Hanya para laki-laki di sekolah yang terang-terangan menyukaiku atau ada yang hanya melihatku dengan terpana.
Jika semua berusaha merawat diri agar secantik mungkin, aku membenci semua yang ada pada tubuhku. Aku hanya ingin biasa aja, diterima keluargaku dan mempunyai teman. Tapi ... tidak ada yang memihak padaku. Nasibku begitu sial!
Aku hanya duduk di kursi paling pojok, sambil memandang orang-orang di luar yang mempunyai teman masing-masing dan membentuk koloni masing-masing, maka aku akan berteman dalam sepi.
Perutku terasa melilit. Kualihkan pandanganku ke jam dinding di atas papan tulis bergambar president sedang tersenyum. Pak President ada nasib rakyatmu yang sangat menderita sekarang.
Pukul 10.40. Sudah istirahat sepuluh menit berlalu, tapi aku enggan mengangkat bokongku untuk mengisi perutku. Karena jika di kantin yang rame, para lelaki memandangku kagum dan perempuan yang memandangku tak suka, iri, bahkan ada yang jijik. Entah apa masalahnya. Jika sudah sepi kantin dan guru sudah masuk ke dalam kelas, aku akan pura-pura ke toilet sekalian ke kantin untuk makan. Jika kalian bertanya apa kau tidak sarapan? Ya ... aku jarang ditinggalkan sarapan di atas meja. Jika ada, hanya sisa. Roti gosong, atau bubur sisa Meisha.
Aku dan Meisha dan Kak Geisha satu sekolah. Kakakku sudah kelas sebelas. Sedangkan aku baru memasuki kelas sembilan tahun ini. Usiaku masih 14 tahun, jika kalian mempertanyakan kehidupan berat yang aku jalani dengan usia semudah ini. Meisha baru kelas tujuh. Dan kami seperti bukan saudara kandung. Bahkan, mungkin tidak ada yang tahu. Jika Meisha yang mempunyai segalanya dan perlengakapan dan previlege yang diberi orang tua kami.
Aku tak pernah diberi uang jajan. Biasanya nenek yang rajin memberi uang jajan, dan dari sana aku bisa berhemat untuk jajan dan kebutuhan sekolah mendadak, seperti tugas kelompok, beli buku atau kebutuhan pribadi lainnya.
Gedung sekolahku bergabung dengan SMA Nano-Nano. Jadi ... aku satu gedung bersama dua saudariku yang membenciku lahir-batin.
"Anjerr ... ini kelas lo kak?" aku mengalihkan pandanganku dari pohon jambu di samping kelas dan memandang adikku. Penampilannya begitu rapi dan anggun. Walau fisikku lebih unggul dari mereka semua. Di rumah, Meisha akan berkelakuan seperti anak TK dan dimanja sedemikian rupa. Jika di sekolah, ia akan berteman dengan kakak kelas famous. Anak-anak terkenal di sekolah. Walau kecantikan mereka tak bisa mengalahkan fisikku yang lebih unggul. Tekstur ototku begitu pas di wajahku.
"Eh, kalian punya kacung juga di kelas." ujar Meisha memandangku dengan tersenyum usil.
"Oh. Si kacung emang sih. Entah dari lubang goa mana. Tapi herannya ada aja cowok yang suka. Crush lo si Jovan pun." sindir Meti. Aku sering menyebutnya jambu mete, buah kesukaan monyet. Kelakuannya seperti monyet. Tapi aku malas, untuk berurusan dengannya jadi memilih diam.
"Anjim gitu. Bangsat si Jovan! Lagian dia emang lonte sih pasti!" aku biasa saja mendengarnya. Sudah terlalu kebal orang menyebutku kata itu. Padahal aku tidak melakukan apa-apa. Hanya karena kelebihan fisik dan semua laki-laki mengejarku lantas aku mendapat gelar ini. Bahkan, ibu kandungku sendiri mengatai kata laknat itu.
Malas berdebat, aku merebahkan kepalaku di atas meja. Dan sambil menunggu semuanya masuk kelas, dan giliranku untuk makan. Perutku semakin merintih. Aku tidak bisa menyiapkan sarapan untukku. Pertama, Mama akan sibuk menyiapkan sarapan di dapur, jika aku di dapur Mama akan mengamuk dan membuat yang lain gagal sarapan. Kedua, jarak sekolah dan rumah lumayan jauh membuatku harus menunggu angkot sepagi mungkin agar tidak terlambat. Jadi, aku sudah terbiasa tidak sarapan.
"Jadi satu kelas bersyukur sekelas sama si kacung?"
"Males! Pintar juga kaga." aku termasuk siswa rata-rata. Tidak pintar, tidak juga bodoh. Aku hanya siswa standar pada umumnya yang terlalu menonjol. Jikapun, aku tahu jawabannya aku memilih diam, karena akan mengundang semua perhatian. Padahal, aku benci semua mata tertuju padaku. Aku tak suka jadi pusat perhatian. Terbiasa diabaikan dan tidak dianggap sejak kecil, membuatku tak suka dipandangi banyak mata dengan berbagai pandangan.
___________________________________Aku sedang meminum minuman teh dalam satu gelas yang dingin sambil mencubit roti dengan buru-buru karena gurunya sudah masuk dan giliran aku keluar. Walau harus diomeli oleh Pak Abdul, bahwa kenapa aku tidak ke toilet saat istirahat.
Dua bungkus roti ada di depanku. Walau sudah masuk, masih ada siswa bandel sepertiku yang tetap pergi ke kantin.
Tiba-tiba aku melihat banyak gerombolan anak laki-laki dengan seragam khasnya SMA. Oh, anak gedung sebelah. Aku hanya menunduk, tak ingin jadi pusat perhatian. Aku menutupi wajahku dengan rambut panjangku.
"Bude ... rokok sumsa satu bungkus." aku ingin termuntah. Tak menyangka, jika Bude kantin kong-kalikong bisa menjual rokok di sekolah. Apa tidak ketahuan guru? Tapi, sejak awal aku malas berurusan dengan orang lain. Aku tak ingin ribet, hidupku sudah runyam saat pertama kali aku diberi nyawa.
"Sepi nih. Boleh duduk sini. Kalian awasin aja si bodat. Sama baling-baling bambu." sumpah! Aku langsung menelan roti itu bulat-bulat. Apa katanya? Bodat? Baling-baling bambu? Aku tahu siapa gurunya. Aku hanya menggeleng. Bisa-bisanya mereka tidak sopan seperti itu. Aku masih menunduk.
"Pergi dek." usir seorang laki-laki tinggi sambil mengembuskan asap rokok. Aku mengangkat wajahku dan melihat sekitar lima orang remaja laki-laki memandangiku. Seperti makhluk visual yang lain, semuanya pasti terpana dengan kecantikan fisik yang aku miliki. Mulutku masih penuh dengan roti, sayang jika tak dihabiskan.
Aku menatap cowok yang berdiri dengan mendekap dadanya. Ada yang rambutnya keriting. Cowok yang bersedekah dada memandangku lekat, kulihat jakunnya naik turun. Sejujurnya, aku sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Tapi tatapan matanya beda.
Aku berbalik memandang cowok yang mengembuskan rokoknya. Akhirnya, aku harus bangun karena bisa-bisa aku dipalak.
"Misi." aku masih berusaha sopan, sambil menunduk. Tak ingin berurusan dengan para preman ini.
"Jangan dulu Nona manis." aku menatap cowok yang sedang merokok itu dengan menantangnya.
"Saya mau masuk kelas." bantahku.
"Tidak semudah itu manis."
"Siapa namanya?" laki-laki itu mencolek pipiku. Aku menepisnya. Aku boleh dikatai murahan. Tapi untuk action, big no!
"Jingan! Sombong bangat asu..." mami cowok itu. Aku tak gentar. Aku menatapnya tak suka.
"Udah-udah, bubar." laki-laki tadi yang menatapku dalam tiba-tiba menarik tubuhku dan menjauhkan dari temannya.
"Ini cewek gue. Jadi, jangan ganggu lagi." laki-laki itu memeluk lenganku dan meremas lenganku kuat dan menuntunku keluar dari sana.
"Terima kasih." ujarku lirih.
"Jumpa lagi. Aku Ayden." cowok itu tersenyum begitu manis, dan menepuk-nepuk kepalaku dengan sayang.
Aku hanya menatap punggungnya menjauh dan sadar, dia seperti pelindungku.
_______________&&&_______________Heyho, welcome to the club. Ini adalah prequel I Was Never Yours. Kalau belum baca, boleh baca deh.
Bagaimana perasaan kalian baca ini?
Petualangan Delisha dan Ayden akan dimulai🥰🥰🥰.
See you
Aku melangkahkan kakiku keluar dari pintu, dan terduduk di balkon ditemani oleh udara dingin dan juga suara nyamuk. Aku hanya tersenyum karena hal remeh, bisa melihat bintang bersinar di atas sana. Rasanya ingin menjadi bintang saja, bisa membuat hati yang lain bahagia, dan juga bisa menyinari, betapa bergunanya Tuhan menciptakan bintang. Tidak denganku.Aku memeluk lututuku sendiri, ditemani kesepian seperti biasa. Memangnya apalagi yang aku harapkan? Aku hanya memperhatikan para semut di bawah, hanya melihat pergerakan semut saja, sudah membuatku bahagia bukan main. Mungkin karena faktor tak ada kawan dan juga tak tahu bagaimana itu bercanda, aku mudah tertawa pada hal receh seperti ini.Aku memeluk lututuku sendiri dan tersenyum. Ya hanya tersenyum. Jika orang rumah mendapatimu seperti ini, mereka pasti mengiraku sudah gila. Biarlah, toh mungkin jiwaku memang sudah gila dari sana.Aku menendang-nendang kecil kakiku, dan
"Ssshhhhhttttt!!"Tubuhku ditarik, aku tak bisa berontak. Badanku juga dikunci, mulutku ditutup. Aku bergerak-gerak memberi perlawanan tapi si pelaku tak ingin melepaskanku.Tubuhku didorong untuk bersembunyi dibalik tembok, karena berada dalam posisi lemah, aku akhirnya terdiam dan bernapas lega, ketika akhirnya si pelaku melepaskan tangannya.Hufh ... Akhirnya."Kamu kenapa sih?" tanyaku tak senang."Shhhttt! Tadi tuh ada Jovan. Dia beneran nyari kamu, jadi lebih baik kamu sembunyi.""Anjing, mana sih tuh perek kecil? Kayaknya dia udah tahu deh." Mataku lamgsung melotot, sialan si buas itu. Harusnya aku keluar dan menyobek mulutnya, agar dia tidak sembarangan bicara seperti itu padaku. Memangnya aku gadis open BO? Ugh ... Aku benci, jika hidupku terus disudutkan, padahal aku tidak tahu menahu urusan mereka."Anjing! Besok harus kesini lagi. Pokokny
"Lishaa ... Yuhu.." aku yang sedang membaca buku di bawah ranjang menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Meisha. Mau apa dia? Malas melayani, aku tetap melanjutkan membaca cerpen di buku pelajaran bahasa Indonesia. Aku suka membaca, ya memang apalagi yang bisa aku sukai?"Woi setan, dipanggil juga." tegur Meisha gondok, setelah sadar aku tidak menggubrisnya."Apa?""Besok sekolah?""Ya.""Besok sama aku ke sekolah.""Kenapa?""Ngikut aja sialan! Bagus ada teman." sungut Meisha. Aku meletakan buku pelajaran bersampul biru di atas kasur, sambil merenggangkan tanganku dan memandang Meisha malas. Ah, punya saudara tidak menarik dan tidak seru. Atau aku yang tidak seru? Mungkin, aku tidak pandai dalam memilih teman, karena aku selalu kesepian setiap saat. Bisa makan, tidur, menghirup oksigen gratis dan sekolah, sudah lebih dari cukup buatku.
"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang."Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana."Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya.""Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan a
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini."Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial."Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata