"Dia sudah makan?"
Salah satu penjaga di dalam ruangan itu mengangguk khidmat.
"Sudah, Permaisuri."
Dewi Amarawati melanjutkan langkahnya. Ia membuka salah satu pintu menuju sel rahasia yang ada di dalam. Setelah mendapati orang yang dituju Dewi pun membuka sel penjara tersebut. Disana seorang lelaki berkulit putih duduk me
Seorang perempuan melintasi petak sawah di tengah malam. Kakinya telanjang dengan rambut yang urak-urakan. Dia nampak begitu tergesa-gesa hingga lebih terlihat setengah berlari. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Tangannya memegang perut yang sudah membesar.Sret"Akh!" pekik perempuan itu tertahan. Sebuah anak panah menembus lengannya yang hanya ditutupi selendang. Dia mempercepat langkah, namun puluhan anak panah kembali datang menerjang tubuh ringkih itu."Kinara!"Perempuan itu kini berlari. Dia menembus perkebunan tebu yang bersebelahan dengan persawahan. Derap kaki di belakang sana semakin menghujam. Kinara--nama perempuan yang menjadi buruan itu tertarik oleh sebuah tangan yang tiba-tiba muncul di balik rimbunnya batang tebu. Mulutnya di bekap dan pergerakkannya benar-benar dikunci."Aku tidak akan melepaskanmu. Sampai kapan pun, sampai aku bisa melindungimu dan mengenalkanmu kepada rakyatku."***"Dia tidur lagi?"
Keadaan Istana terbilang cukup damai dengan datangnya tamu dari Ampeldenta. Dua orang tersohor itu menyambangi Raja Brawijaya yang baru saja tiba dari pemukiman penduduk. Ia baru saja melakukan pengecekan terhadap komoditi beras dan beberapa rempah yang akan dikirim ke luar kerajaan Majapahit.Raja begitu bergembira melihat dua pemuda di hadapannya yang memajang senyum sarat akan kerinduan. Bukan tanpa alasan. Dua orang pemuda itu ialah Sunan Kalijaga yang merupakan sahabat Raja Brawijaya dan Raden Patah, anak kesayangan. Tidak membutuhkan basa-basi bagi Raja untuk memeluk dua orang yang begitu berarti. Ia sedikit menumpahkan tangisan ke bahu Raden Patah. Kendati demikian, Raden tetap menerima ayahandanya dengan tangan terbuka."Menangislah, tidak apa. Tumpahkan semua." Raden Patah tertawa kecil diakhir. Brawijaya menepuk pundak anaknya sejenak, lalu melepas pelukan. "Ayahanda tidak berubah sama sekali. Tetap tampan dan masih cengeng," komentar Raden, disambu
Sunan kalijaga meneguk teh bersama Raden Patah di salah satu warung milik penduduk di Demak. Dia baru saja bertemu dengan Raden Patah malam tadi dan berencana berkunjung ke pelabuhan Demak sore harinya. Siang ini usai melaksanakan solat dzuhur bersama santri mereka menyambangi warung dan berbincang di sana."Bagaimana pertemuanmu dengan Gusti Brawijaya?""Ayahanda menyerahkan seluruh niat itu kepadaku, tapi tidak diberikan untuk Majapahit. Anggaran pembangunan pelabuhan mungkin berasal dariku. Inilah yang masih kupikirkan Sunan. Apakah aku sanggup membangun rencana besar itu?""Insya Allah, jika niatmu sudah bulat, dan kau bersunguh-sungguh untuk melakukannya, Allah akan memudahkan niat baikmu."Raden Patah masih tampak ragu dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana luasnya Demak dan besarnya pelabuhan yang akan menjadi dermaga pusat pemberhentian kapal dari seluruh wilayah ke Demak."Menurut Sunan, apakah Ayahanda memiliki rencana yang begitu b
Ling Yie menunduk dalam. Suaminya berulang kali memanggil namanya namun ia hanya diam. Kini Ling sudah tertangkap basah oleh Chan. Dia bersekongkol dengan Zahra dan membiarkan perempuan itu pergi dari persembunyian. Padahal beberapa hari yang lalu Brawijaya telah memberikan perintah agar Zahra tidak pergi kemana pun."Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padanya." Chan berjalan menarik pedang yang selama ini ia simpan rapi di sudut ruangan. Melalukan kegiatan bersih-bersih kini dialihkan kepada para pelayan yang beberapa bulan belakangan didatangkan Brawijaya."Chan, kumohon!" Ling menarik tangan Chan--menghentikan pergerakan suaminya yang berniat pergi dari pondok di tengah hutan itu. "Biarkan Zahra merasakan kebahagiannya sejenak saja, Chan.""Kebahagian Zahra adalah siksaan bagi kita!" Chan berbalik, memegang bahu Ling lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar milik Zahra. "Aku akan menguncimu di kamar ini sampai aku kembali membawanya.""Chan!"
Zahra melesat ke dalam hutan menghindari keramaian. Ia mencari keberadaan kudanya yang terikat di tepi sungai. Beruntung kudanya masih mendengar isi hati Zahra sehingga ia setia menunggu majikannya pulang."Apakah aku membuatmu bosan?""Tidak," kata kuda itu, singkat. Zahra tersenyum kecil dan menunggangi kudanya. Namun, belum lama ia naik segerombolan prajurit penjaga mengepung dirinya. Zahra turun dari atas kuda. Ia mengetahui jika saat ini kebohongannya telah terendus suruhan Kerthabumi, sang Gusti Brawijaya V."Aku akan kembali." Zahra berusaha untuk tenang. Namun ketenangannya tidak bertahan lama karena sosok yang ia hindari tiba-tiba datang memakai busana rakyat biasa. "Kau--""Aku menemukanmu," lirihnya, diimbangi dengan senyum sarat kelegaan. Brawijaya mendekati Zahra. Ia menarik tangan perempuan itu dan memeluknya erat. Zahra memberontak, ia jelas tidak menyukai kehadiran Raja Majapahit tersebut."Apa yang kau lakukan?!"
Hamparan bunga tulip membentang bak permadani mewah beraroma wangi. Diantara bunga beragam warna itu Raden Patah menemukan wanitanya. Raden terdiam agak lama usai melihat wajah tanpa cadar yang selama ini berlalu lalang di dalam mimpi. Wanita itu hanya menatapnya."Zahra?" Raden menerka. Namun wanita itu justru tersenyum dan mencoba untuk mendekat. "Kau ... siapa?"Wanita bergaun putih dengan syal tebal itu menangkup pipi Raden. Dia tersenyum--membelai pipi Raden Patah secara lembut. Nampaknya wanita itu tahu apa yang ingin dilakukan Raden kepadanya. Tentu saja Raden akan menjauh. Sinyal itu ditangkapnya dari gerak-gerik ketidaknyamanan yang dirasakannya dari Raden."Kau masih ingat?" Wanita itu memutari tubuh Raden Patah. "Dahulu kala, ketika Raja Majapahit yang berkuasa menemukan sebuah permata di tengah hamparan savana. Permata yang elok, bermanik gelap seperti laut dalam yang tak pernah dijamah."Wanita itu mengulurkan tangannya--menyentuh kelop
Sejak mimpi aneh yang dialaminya beberapa belakangan membuat Raden Patah seakan tengah dilanda teka-teki yang harus ia kuak segera. Untuk mengawali itu Raden Patah kini harus berhadapan dengan Ayahandanya. Namun mereka bukan berbicara mengenai politik dan keadaan ekonomi Kerajaan Majapahit. Melainkan sesuatu yang mengarah pada hal yang tidak selayaknya Raden ajukan."Ayahanda tidak pernah bercerita mengenai keadaan istana secara terbuka. Selalu saja kata baik, aman, damai, dan lancar saja. Saat ini aku menginginkan cerita istana dari mulut Ayahanda."Brawijaya yang sudah tiba beberapa jam lalu tersenyum simpul. Ia tahu jika anaknya saat ini mengalami kebimbangan yang berada di ambang batasnya. Dengan tenang Brawijaya mengiyakan permintaan Raden Patah.Keduanya menepi dari rombongan menuju ruang privasi milik Raden Patah. Di depan hanya dibatasi pagar yang dililit tanaman sulur hingga kesan hijau jelas memanjakan mata. Di sisi kiri terdapat kendi yang menampun
Meraih anganku, mengapa sesulit itu? Kusentuh saja dia menjauh. Apa yang buruk dari diriku? Bahkan aku tidak pernah meminta untuk diberikan karunia langka. Letih dan jenuh itu menggerayangi jiwaku. Aku lelah akan kesedihan tanpa ujung. Keputus asaan menggulat dalam pikiranku. Kenapa? Hanya aku yang sadar, kah? Atau memang dia sengaja menutup mata? Tuhan, kenapa tidak engkau izinkan saja aku pergi dari lembah ini? Beri aku tali untuk kupanjat dan kudaki tebing yang menyimpan jiwaku disini. Agar aku dapat pergi. Tidak akan ada lagi jiwa yang mati karenaku.***"Putri Zahra?"Zahra beranjak berdiri. Ia memandang ratusan prajurit yang mengelilinginya bak melihat bidadari surga turun ke dunia nyata."Aku lega dapat menjemputmu. Syukurlah, Khertabumi tidak menyakitimu sedikit pun." Prajurit yang sedang berbicara itu memasukkan pedangnya kembali ke tempat. Ia menghampiri Zahra--lalu menunduk khidmat diikuti para prajurit lainnya. Zahra tercenga