"Katakan!" pinta Arumi dengan menahan napas. Dia terlihat sangat gugup karena baru kali ini berani menghampiri Randika.
"Apanya," ujar Randika menekuk dahi.
"Katakan semua perasaanmu padaku. Aku ingin mendengarnya," desak Arumi.
"Bukankah Aku sudah mengatakanya waktu kita di bukit."
Arumi melongo. Dia tidak mengira semua yang di katakan Randika waktu di bukit adalah benar. Meski sebenarnya waktu itu, dia sempat berfikir keras hingga membuat kepalanya pusing.
"Aku pikir kau hanya bercanda waktu itu. Karena kau menimbang-nimbang saat mengatakan akan menikahiku, makanya tidak aku perdulikan," ujar Arumi dengan nada suara yang semakin turun.
"Apa! kau bilang aku bercanda!" teriaknya tidak percaya. Randika benar-benar merasa malu. Ternyata ungkapan perasaanya di anggap candaan oleh Arumi.
"Itu karena kau yang selalu berbuat sesuka hatimu."
"Kenapa kau selalu salah paham dengan kata-kataku."
"Memang apalagi yang harus
"Hallo Tampan." "Evanya!" "Kau mengenali suaraku." "Tentu saja. Siapa yang tidak hafal dengan suara merdu Pianis cantik sepertimu, semua orang pasti langsung tahu saat mendengarnya." Evanya terkekeh, tentu saja yang di katakan Brian itu tidak benar, dia pasti akan tau karena satu-satunya orang yang memanggilnya tampan hanya Evanh.ya. "Tapi dia tidak mengenaliku," ujarnya sendu. "Apa kau menghubungi Randika?" "Aku menghubunginya berkali-kali. Bahkan mengirimkan pesan mesra untuknya." "Apa!" "Kau tahu, dia tidak merespon semua panggilan dan pesanku. Apa dia sudah melupakanku?" "Untuk apa kau bertanya seperti itu padaku, bukankah kau yang telah meninggalkannya," decak Brian. "Aku menyesal Tampan, tidak ada yang bisa meluluhkan ku seperti pria dingin itu. Dia bisa membuat ku melayang hanya dengan sekali sentuhan." Pipi Evanya bersemu saat mengatakan kata-kata itu. Dia membayangkan, bagaimana Randika memperla
"Bicara dengan siapa tadi, sepertinya serius?" "Tidak! hanya salah satu pelangganku. Dia ingin memesan tempat untuk berpesta," ujar Brian berbohong. "Wow ... jadi kita akan berpesta gratis di sini." "Dasar!" "Ah yah, kita sambung lagi nanti ada hal penting yang harus aku bahas dengan sahabatku. Sampai nanti," ujar Brian untuk seseorang di seberang teleponnya. "Jangan matikan teleponnya Brian. biarkan saja. aku mohon, sebentar saja. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Letakkan ponselmu dengan hati-hati agar dia tidak tahu," pinta Evanya. "Ada apa? kau terlihat aneh sejak aku datang. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku," tanya Randika dengan raut wajah penasaran. "T-tidak, tidak ada apa-apa," jawab Brian cepat. Dia benar-benar gugup sekarang. Evanya membuat dia harus berbohong lagi kepada Randika. "Dan sendiri, Sedang apa di jam seperti ini datang ke tempatku," tanya Brian mengalihkan pembicaraan. "Suasana hatiku sedang
"Selamat pagi Tuan Muda." Claudia menyapa Randika dengan begitu sopan. Dan kali ini tidak di dampingi Minora dan Grassy. "Selamat pagi Clau, buatkan Aku sarapan seperti biasa. Oh yah ... apa Arumi sudah bangun?" "Sudah Tuan." "Lalu di mana dia?" tanya Randika. matanya tidak berhenti melihat di sekitarnya untuk mencari sosok gadis yang baru saja resmi menempati separuh ruang di hatinya. "Nona sedang berjalan pagi bersama Minora Tuan," kata Claudia menunduk. Dia takut Tuan mudanya akan marah ketika mendengar Nona Arumi keluar tanpa ijin darinya. "Beri tahu Minora, kembali sekarang juga." "Baik Tuan Muda." "Beraninya dia membawa Arumi setelah kesalahan yang dia buat semalam," gumam Randika pelan. "Apa yang bocah bengal itu perbuat hingga Tuan Muda terkihat sekesal itu." batin Claudia di dalam hati. "Lebih baik aku segera menghubungi mereka. Jangan sampai Tuan Muda semakin marah." Tuuttt ... tuuttt ... tuutt
Tokyo Jepang 20.42 Di dalam Gedung Apartemen mewah yang bertempat di tengah-tengah Kota Tokyo Jepang, terlihat seorang gadis dengan rambut hitam lurus tengah berkemas. Dia mengepak semua barang yang bisa dia bawah. Evanya Mastaw. Dia adalah Gadis berkebangsaan Jepang Prancis yang dulu pernah mengisi hati Randika Garret. Kilas balik kisah Evanya dan Randika. Evanya dan Randika kenal sejak bangku kuliah. mereka tumbuh dewasa bersama hingga akhirnya saling jatuh cinta. Sebelum Arumi datang dan tinggal di Keluarga Garret, Evanya sering keluar masuk Mansion dan sering bercengkerama dengan Amirta dn Jennny selaku orang tua Randika. Jenny, ibu Randika sangatlah kagum dengan kepribadian Evanya yang tenang. Namun itu sebelum dia tahu bahwa Evanya adalah putri seorang mucikari. Randika tahu seperti apa pekerjaan Ibu Evanya. Namun dia tidak pernah mempermasalahkan nya. Dia menyukai Evanya apa adanya dan sangat ingin menjadikan Evanya pendamping hidupnya. N
"Apa kau akan tetap di sini dan melihat kami sarapan Minora?" Randika menatap kesal pada Minora sekan ingin menelannya. Minora menggelang dengan wajah yang menunduk "Maaf Tuan." Minora terlihat sangat gugup. Dia selalu bergidik setiap kali Tuan Mudanya menatap dengan tajam tanpa senyuman sedikitpun. Itu Seperti sebuah jiwa pembunuh yang bersembunyi di balik wajah tampan. Dan seperti yang selalu di ajarkan Claudia, bahwa dia harus tetap diam. Tidak ingin di marahi ole Tuannya Minora pun bergegas pergi. Namun setelah beberapa langkah dia kembali. "Ma-maafkan Aku Tuan. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Semalam Nona Clau menyuruhku untuk menanyakan apakah Tuan Mudah dan Nona akan kembali makan atau tidak, Tapi Aku malah melihat adegan itu," ujarnya menunduk. "Tunggu ... Maksudmu seseorang yang terdengar menutup pintu semalam itu Kau mino?" tanya Arumi. "Iya Nona." Arumi tersedak, wajahnya memerah seketika saat mendengar pengakuan
"Aku sedang menyiapkan hukumanmu." "Apa salahku," ujarnya dengan tertawa kecil. Randika tidak mengindahkan pertanyaan Arumi, tangannya mendekap pada pinggang mungil milik Arumi. Menarik botol kaca kecil berisikan selai di atas meja dan melumurinya pada bibir tipis Arumi. "Ah hentikan! Itu jorok," pekik Arumi bergeliat. "Kau yang memulainya bukan." "Hentikan Ran! Jangan! itu tidak enak," teriak Arumi memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan agar terhindar dari colekan tangan Randika yang penuh dengan selai nanas. "Tidak! Kau harus menerima hukumannya karena melempari sisa makanan padaku." "Jangan! Aku tidak menyukai selai nanas, itu asam. Hentikan Ran! Aku tidak suka!" "Baiklah. Kalau begitu aku ganti dengan selai stroberry yang manis ini," ujar Randika dengan lirikan menggoda. Dia lalu menekuk wajah Arumi dan melumurinya dengan ciuman bertubi-tubi. Tidak ada yang bisa Arumi lakukan mulutnya di bungkam oleh bibir y
"Maaf menunggu lama." Rilan tersenyum tipis. Dia menyambut Tuannya yang sedang kasmaran. "Adegannya sangat menggoda," ujarnya dengan menyenggol Randika. "Tidak sopan mengintip orang seperti itu." Rilan terkekeh dia melaju bersama Tuannya dengan Honda civic putih milik perusahaan yang selalu dia gunakan untuk menemani tugasnya sebagai seorang sekretaris. Mobil itu membela jalan Kota Quebec tanpa hambatan hingga sampai dengan manis pada salah satu perusahan terkuat di Kanada itu Amirta Grouper. Dulu perusahaan itu bernama Garret Company. Namun setelah ayahnya mengambil alih semua aset perusahaan di ubah menjadi Amirta Grouper. "Apa kau akan ikut Acara reuni nanti?" tanya Randika saat keduanya sedang berjalan menuju ruang kebesarannya. "Tentu saja kawan." jawab Rilan berbisik. Randika menatap Rilan dengan senyum di ujung bibirnya. Sudah sangat lama dia tidak berbicara secara formal dengan sahabatnya. Dia menetapkan aturan yang mengharuska
"Kita harus pergi Tuan, ini waktunya anda bertemu dengan Klien." Rilan Pria yang dengan setia menunggu Tuannya selesai melepaskan sesak di hatinya itu menyeru. Tatapan mata hitam Randika masih terpaku pada foto Evanya. Baru saja Randika menyuruh Clarisa membersihkan semua barang peninggalan Evanya yang masih tersisa di ruang kantornya. "Tuan." Randika mengambil tas dan map di atas meja dan berjalan tanpa berkata menuju mobil. "Di mana tempat pertemuannya?" "Restaurant Taniere." "Kenapa mereka memilih Restaurant gelap itu," ujarnya sedikit tidak menyukai. Butuh 30 menit untuk sampai ke tempat yang di maksud. Pria dengan manik mata hitam itu turun begitu Rilan membukakan pintu. begitu Pria itu mendongak dengan posisi tubuh berdiri sempurnah, matanya sudah di sambut dengan gaya tampilan Restaurant ala kontemporer yang menyajikan bebatuan tanpa warna tapi sangat berkelas. Namun tetap saja dia tidak menyukai tempat ini