Share

BAB.3

"Mungkin ini permintaan yang mengejutkan, tapi sebenarnya sudah sangat lama Oma, Danar dan Mutia membahas hal ini. Juga ada alasan khusus mengapa Oma meminta kamu Ingga untuk menjadi pasangan Bagas."lanjut Oma menjelaskan.

" Maaf Bu Lia tapi kenapa Ingga yang Bu Lia lamar sebagai calon Bagas? Bukan bermaksud menyinggung, akan tetapi masih banyak pilihan yang lebih baik dari anak saya Ingga Bu,"jawab Papa dengan penuh kesopanan.

"Ya, betul itu Bu, belum lagi Ingga ini masih kuliah Bu, jangankan berpikir untuk menikah, mengajak teman Laki laki spesial saja belum pernah,"sahut Mama.

Oma menatap lembut kepada kami dan juga tersenyum tipis paham maksud perkataan Papa dan Mama. Tapi sepertinya beliau juga sudah memperkirakan kondisi seperti ini. 

"Ya..Ibu paham maksud kalian nak Yuda dan juga Ines, tapi memang saat ini kondisi Bagas sangat prihatin, mungkin kalian berdua mengerti bagaimana kondisi Bagas pasca kejadian waktu dulu."mata Oma memandang jauh seolah sedang mengingat kejadian lampau, namun aku tidak begitu tau kejadian apa yang di maksud oleh Oma Lia.

"Ibu tidak meminta Ingga dalam waktu dekat, cuma Ibu mohon pertimbangkan lamaran Ibu. Dan untuk kalian kalau berkenan,bolehkah Ingga mengenal Bagas terlebih dahulu?"tanya Oma sambil menatapku sendu.

"Ehmmhh maaf sebelumnya Bu Lia, bukan maksud saya untuk langsung menolak lamaran ini, namun kami sebagai orang tua Ingga tidak berhak sepenuhnya atas keputusan ini,"terlihat Papa sedikit menarik nafas.

" Kami malah merasa tersanjung mendapatkan lamaran dari orang terpandang seperti keluarga Ibu."lanjut Papa menerangkan.

Aku hanya diam mencerna apa saja yang baru terjadi, tak pernah terbayang akan lamaran Oma. Apalagi melamar sebagai calon istri Bagas yang orangnya saja baru dua atau tiga kali aku melihatnya itupun hanya sekedar tau tidak pernah berbicara satu patah katapun ke dia.

"Ingga maaf kalau Oma membuat kamu merasa terbebani perihal lamaran Oma, tapi Oma berharap walau sedikit kamu mau mempertimbangkan permintaan Oma ya nak,"ucap Oma lembut kepadaku.

" Tidak perlu terburu buru memutuskan, cobalah untuk berteman dahulu dengan Bagas bahkan menunggu sampai kamu selesai kuliahpun juga tidak masalah bagi kami. Oma minta tolong kepada kamu Ingga jadilah teman untuk Bagas, cuma kamu harapan Oma satu satunya untuk menolong cucu Oma,"nampak mata Oma mulai sedekit berkaca kaca.

Ku pandangi Oma, masih bingung untuk berbicara apa kepada beliau, lidah ini terasa kelu untuk berucap. Tapi untuk menghargai Oma aku hanya bisa mengangguk pelan kepalaku lalu tersenyum tipis kepada Oma. Untunglah Oma tidak terlalu menuntut jawaban dari bibir ini, beliau mungkin sudah cukup mengerti dengan melihat raut wajah terkejut dan bingung dari mukaku. Untuk beberapa menit terasa hening,semua terenyuh dalam pikiran masing masing.

"Ibu..mbak Selly silahkan di minum dulu dan di cicip kuenya," Mama mencoba memecah keheningan diantara kami. Oma dan asistennya mbak Selly menyeruput minuman dan memakan sedkit kue buatan Mama. Sesaat aku tau bahwa Mama dan Papa sempat melirikku sekilas, mereka tau aku pasti sangat kebingungan saat ini.

"Ahh baiklah mungkin ini saja yang ingin Ibu sampaikan kepada kalian, maaf sekali lagi kalau permintaan Ibu ini seperti mendadak dan membuat kalian menjadi tidak enak. Tapi Ibu merasa lebih baik, mencoba lebih dahulu daripada Ibu tidak berbuat apa apa sekarang."

"Ingga mungkin ini sangat sangat membuat kamu terkejut nak, tapi yakinlah ini bukan sesuatu yang buruk. Harapan Oma ada padamu, Oma percaya kamu bisa membuat keputusan yang baik. Boleh Oma minta nomor telepon mu nak? Kalau berkenan Oma akan memberikan nomor kamu kepada Bagas. Nanti izinkan Bagas meneleponmu untuk kalian bertemu di rumah Oma, boleh sayang?" Oma bertanya lembut dan penuh harap kepadaku.

Sekedar bertemu bukanlah hal yang sulit semestinya apalagi bertemu di rumah Oma. Namun belum tau kapan akan bertemu jantung ini sudah berdetak lebih cepat, entah mengapa rasa gugup menyeruak kembali, membayangkan akan bertemu dengan Bagas. Setelah menunggu beberapa saat aku memberanikan diri untuk berbicara, rasanya kalau hanya diam saja seperti tidak menghormati orang tua yang sedari tadi mengajakku berbicara.

" Baiklah Oma, Ingga terlebih dahulu akan memikirkan hal ini baik baik bersama Mama dan Papa tentunya."lalu aku memberikan nomor handphoneku kepada Oma.

Tak lama mereka berpamitan untuk segera pulang karena sudah menyampaikan hal yang ingin di sampaikan. Tidak lupa Oma memelukku sebelum beliau keluar pintu rumah. Ku lihat sopir pribadi Oma sudah menunggu di depan pagar rumah kami, Oma kembali menoleh kepadaku melempar senyum ramah dan melambaikan tangannya.

Setelah masuk dan mengunci pintu rumah, Mama,Papa dan Aku kembali duduk di sofa ruang tamu. Sudah terduga apa yang akan di bicarakan selanjutnya.

"Ingga..Papa tau permintaan Oma barusan hal yang membuat kita sama sama terkejut. Tidak pernah terbesit di pikiran kami bahwa Oma akan melamar kamu," Papa sedikit mengernyitkan dahinya.

"Walaupun dulu almarhum Kakekmu dan Opa Jun masih hidup tidak pernah ada pembahasan perjodohon baik untuk anak ataupun cucunya, mereka membebaskan anak anaknya untuk menuntukan pilihan hidup mereka."lanjut Papa berbicara.

" Namun Papa juga tidak tega dan merasa segan untuk langsung menolak permintaan Oma. Seperti hanya kamu yang bisa di harapkan menjadi menantu cucunya."

"Tapi..Papa juga tidak bisa menerima lamaran ini karena kamu saja masih kuliah, apabila nanti menikah pastilah sudah sibuk mengurus suami dan rumah karena Papa tau kamu ingin membangun bisnis property perumahan, Papa sangat mendukung impian kamu Ngga. Haahhh..kamu juga pikirkanlah perlahan saja lanjutkan saja tugasmu tadi." Papa berlalu dan masuk kamar kembali.

"Ngga..sudah jangan dipikirkan dulu, kalau kamu memang mau menolak biar Mama dan Papa saja nanti yang bicara sama Oma Lia." Mamapun berlalu kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan yang terjeda tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status